Mas Kawin Babi bagi Masyarakat Papua yang Jadi Simbol Status Sosial

Mas Kawin Babi bagi Masyarakat Papua yang Jadi Simbol Status Sosial
info gambar utama

Apabila di tempat lain babi hanyalah hewan biasa yang sebatas dikonsumsi dagingnya, lain halnya dengan di Papua. Di tempat ini babi dijadikan hewan yang sangat bernilai tinggi bahkan dijadikan mas kawin.

Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih Dr J Mansoben di Jayapura, mas kawin bagi sebagian suku adalah ternak babi. Misalnya di Oksibil Jayawijaya, satu ternak babi dinilai antara Rp3 juta-Rp5 juta.

Tanaman Pala yang Telah Hidupi Masyarakat Fakfak dari Setiap Generasi

Satu perempuan rata-rata mendapatkan mas kawin antara tiga-lima ekor babi untuk masyarakat biasa. Anak kepala suku antara 5-10 ekor. Mendampingi babi biasanya diberikan juga kerang, kapak batu, busur, dan kuskus.

“Mas kawin tersebut harus ditanggung pihak keluarga pria secara bergotong royong,” papar KOR dalam Mas Kawin Jadi Simbol Status Sosial yang dimuat Kompas.

Jadi status sosial

Sekretaris Lembaga Adat Irian Jaya saat itu, Max Sibin mengungkapkan babi menjadi mas kawin karena sebagai binatang yang dapat dikonsumsi satu kelompok besar masyarakat dan juga bernilai tinggi.

“Ketangkasan menangkap babi di hutan juga menunjukkan ketangkasan pria mendapatkan gadis,” jelasnya.

Mansoben menjelaskan babi menjadi mas kawin karena babi adalah binatang yang sangat dekat dengan masyarakat sejak nenek moyang, bernilai sosial karena dagingnya dapat dibagi-bagi kepada semua anggota keluar dan menjadi simbol status sosial.

Kualitas Cokelat Ransiki dari Papua Barat Melanglang Buana ke Negara Eropa

Dikatakan oleh pria lulusan Universitas Leiden ini semakin banyak babi dipelihara, status sosial orang itu makin tinggi di dalam masyarakat. Sebaliknya memiliki banyak babi akan mendapatkan istri lebih dari satu.

Sementara itu besarnya mas kawin tergantung status sosial keluarga wanita. Jika dia anak kepala suku harus 5-10 ekor babi dengan berat antara 100 kg - 150 kg. Seekor babi dihargai Rp5 juta - Rp10 juta.

“Betapa sulitnya mendapatkan uang sebesar itu bagi masyarakat pedalaman. Beruntung kalau pria bersangkutan selama masa remaja telah memelihara babi dalam jumlah besar. Jika tidak, dia harus menanggung beban utang sangat besar, sampai pada anak cucu,” jelasnya.

Musyawarah mas kawin

Mahalnya mas kawin di Papua pernah mendorong diselenggarakannya musyawarah. Kegiatan yang dihadiri para pemuka masyarakat se-Sentani dan pihak gereja itu menjadi tonggak sejarah.

Theys H Eluai yang saat itu menjadi Ketua Umum Musyawarah Mas Kawin mengemukakan tujuan utama dari musyawarah itu antara lain agar menghilangkan sifat takut kawin di kalangan pemuda-pemuda Irian Barat.

“Gara-gara mas kawin itulah, banyak pemuda-pemuda kita yang tak kawin,” ujar Theys yang dimuat Kompas pada tahun 1970 an.

Kehadiran Cendrawasih dan Pertanda Sebuah Hutan yang Tetap Lestari

Dirinya menjelaskan bahwa sesuai ketentuan adat, mas kawin umumnya terdiri dari benda-benda mati yang mahal. Lagi saat itu barang seperti manik-manik, batu gelang, kapak batu sulit didapatkan.

“Saya tidak tahu pasti dari mana asalnya benda-benda tersebut dan dari apa dibuatnya, tapi yang jelas, benda-benda itu hanya dimiliki orang tua saja, sehingga pemuda praktis tidak punya kesempatan untuk kawin,” paparnya.

Karena itulah para pemuda bersepakat agar mas kawin diwujudkan dalam bentuk uang. Walay adat tidak bisa langsung diubah, maka mas kawin akan diatur tiga perempat dalam bentuk mata uang, sedang yang seperempat dalam bentuk manik-manik.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini