Tren Deinfluencing, Tren Mengurangi Sifat Konsumtif

Tren Deinfluencing, Tren Mengurangi Sifat Konsumtif
info gambar utama

Milenial dan media sosial memberi kesan tentang dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Milenial begitu identik dengan perkembangan media sosial dan media sosial juga begitu identik dengan milenial.

Dilansir dari wearesocial.com, terdapat 265,4 juta populasi di Indonesia dan 50% di antaranya merupakan digital native. Digital native adalah generasi muda yang lahir saat internet sudah ada dan yang mempengaruhi kehidupan mereka sejak masih dalam kandungan. Munculnya generasi digital native ini menandakan era baru yang menuntut kita untuk memiliki kemampuan dasar berkaitan dengan konsep digital itu sendiri.

Adanya peningkatan terhadap penggunaan internet secara komprehensif ini telah membentuk budaya dialektika baru di kalangan masyarakat. Budaya membaca dan menulis sudah beralih menjadi komunikasi digital di tengah-tengah masyarakat saat ini. Maraknya fenomena digitalisasi ini bukan tanpa dampak negatif. Menjamurnya berita hoaks di dunia maya merupakan salah satu contoh dari dampak negatif yang bisa kita temukan sehari-hari dalam media sosial.

LRT Jabodebek Mulai Beroperasi 12 Juli, Ongkos Gratis Sebulan
Jasa Influencer Marketing | Foto: marketspace.id
info gambar

Selain itu, maraknya influencer yang bertaburan di linimasa media sosial Kawan juga menjadi salah satu dampak yang menghasilkan dua sisi dalam teknologi. Sekarang, untuk mengecek apakah barang yang diincar layak beli, seseorang kini cukup melihat ulasan dari para pemengaruh (influencer), yang dikenal memiliki kemampuan untuk memengaruhi konsumen potensial dengan mempromosikan suatu produk atau jasa di saluran media sosial mereka.

Dengan kepiawaian memengaruhi tersebut, seorang influencer dapat menjual produk secara instan, dan ikut mendulang keuntungan melalui model kerja sama pemasaran dengan pihak brand.

Tren Deinfluencing untuk Generasi Z

Menurut Marketing Dive, hampir setengah (44%) Generasi Z telah membuat keputusan pembelian berdasarkan rekomendasi dari influencer sosial. Sementara itu hanya 26% populasi umum yang membeli sesuatu berdasarkan dari apa yang disarankan oleh influencer. 70% persen Gen Z juga disurvey mengikuti setidaknya satu influencer di platform seperti YouTube atau Instagram, demikian temuan studi tersebut.

Namun belakangan, dilansir dari tirto.id, muncul tren deinfluencing, yang khususnya bisa dilihat berseliweran di TikTok. Tagar #deinfluencing sendiri bahkan sempat mencapai lebih dari 484 juta penayangan di TikTok. Awalnya, tagar ini ramai dibincangkan publik ketika Mikayla Nogueira memakai bulu mata palsu ketika ia tengah memberikan ulasan produk maskara lokal Indonesia. Hal tersebut kemudian menyebabkan banyak orang menjadi lebih mempertimbangkan apakah harus benar-benar mempercayai apa yang dikatakan dan ditampilkan oleh influencer atau tidak.

Secara keseluruhan, "de-influencing" adalah tentang mengurangi kekuatan atau dampak dari orang, tren, atau merek tertentu, dan dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti untuk mempromosikan keadilan sosial, melindungi kesehatan masyarakat, atau melawan pesan berbahaya atau tindakan. De-influencing sendiri memiliki 3 bentuk, yaitu menghilangkan pengaruh seseorang, menghilangkan tren, dan menghilangkan pengaruh merek.

Waktu Tempuh 140 Kereta Jarak Jauh Bakal Dipangkas Mulai 1 Juni

Alih-alih mempromosikan barang atau jasa, konten deinfluecing malah mencoba meyakinkan pengikut atau siapa pun yang menonton konten tersebut untuk tidak membeli sesuatu atau produk yang mereka rasa tidak sesuai dengan harapan. Sering kali konten deinfluencing juga mengajak supaya lebih bijak dalam berbelanja. Hal ini kemudian menjadikan tren deinfluencing seakan sebagai "rem" bagi beberapa orang yang terjebak dalam perilaku pemborosan dan konsumsi berlebih.

Kelahiran tren deinfluencing juga merupakan akibat dari pandemi, yakni simbol dari realitas potensi resesi ekonomi global dan juga meningkatnya inflasi serta biaya hidup. Tren ini pun dinilai positif bila dilihat dari sisi konsumen supaya mereka lebih bijak, cerdas, dan sadar tentang bagaimana mereka membelanjakan uangnya, termasuk beralih dari pembelian produk yang mahal ke lebih murah atau fungsional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini