Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan: Bagaimana Transisi Energi di ASEAN?

Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan: Bagaimana Transisi Energi di ASEAN?
info gambar utama

Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan sedang menghadapi titik balik bersejarah dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi. Ditambah, dengan adanya permintaan energi yang terus meningkat di kawasan ini. Untuk mencapai target nol karbon, sangat penting untuk menghentikan penggunaan batu bara dan beralih ke energi terbarukan serta meningkatkan interkoneksi jaringan listrik regional. Sejumlah anggota ASEAN telah bergabung dengan upaya internasional untuk mengakhiri penggunaan batu bara di sektor ketenagalistrikan. Untuk mencapai komitmen ini, diperlukan tindakan bersama dan akselerasi yang harus dimulai dari sekarang agar berhasil.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai target iklim, ASEAN berkomitmen untuk mempercepat transisi energi. Melalui Rencana Aksi ASEAN untuk Kerja Sama Energi (APAEC) Tahap II, ASEAN bertujuan untuk mencapai pangsa energi terbarukan sebesar 23% dari total pasokan energi primer pada tahun 2025. Selain itu, cetak biru regional ini juga memasukkan optimalisasi teknologi batubara bersih sebagai salah satu fokus programnya.

Peta Jalan Transisi Energi

Artikel ini menggunakan laporan Renewable energy outlook for ASEAN: Towards a regional energy transition (2nd Edition) dari International Renewable Energy Agency (IRENA) yang bekerja sama dengan ASEAN Center for Energy (ACE), untuk mendiskusikan tantangan-tantangan dalam mencapai target-target ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) Tahap II: 2021-2025.

Target yang ingin dicapai oleh ASEAN adalah 65% pangsa energi terbarukan dalam energi final pada tahun 2050, dari hanya 19% pada tahun 2018. Target ini juga bertujuan untuk mengurangi emisi CO2 yang terkait dengan energi sebesar 75% dibandingkan dengan kebijakan saat ini.

Pada tahun 2030, penekanannya adalah pada peningkatan kapasitas tenaga surya yang terpasang menjadi lebih dari 240 GW kapasitas terpasang, menyebarkan lebih dari 13 juta kendaraan listrik baterai di jalan dengan 3,7 juta stasiun pengisian daya, dan upaya berskala besar yang difokuskan pada efisiensi energi, efisiensi material, dan ekonomi sirkular, serta meningkatkan bioenergi, tenaga air, dan panas bumi yang berkelanjutan.

Kemudian dalam jangka panjang, mengintegrasikan dan meningkatkan sistem tenaga listrik regional untuk memaksimalkan total ekspansi listrik energi terbarukan sekitar 2.770 GW hingga 3.400 GW pada tahun 2050. Selain itu, penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara harus dipercepat dalam waktu dekat, dan perluasan infrastruktur berbasis bahan bakar fosil harus dihindari sebisa mungkin untuk mencegah aset yang terbengkalai.

Di sektor transportasi, kendaraan listrik harus tumbuh menjadi lebih dari 100 juta mobil listrik bertenaga baterai dan hampir 300 juta kendaraan roda dua dan tiga pada tahun 2050. Hal ini juga menjadi alasan mengapa kendaraan listrik menjadi salah satu topik pembahasan pada KTT ASEAN 2023. Kemudian, penggunaan bioenergi dalam negeri harus meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 7,6 exajoule (EJ) pada tahun 2050. Hal ini dikarenakan bioenergi juga penting di semua sektor pengguna akhir, terutama untuk moda transportasi seperti penerbangan dan beberapa sektor industri.

Selain itu, langkah-langkah efisiensi energi dan standar teknologi harus dipertimbangkan sebagai prinsip utama. Hal ini juga harus didukung oleh investasi yang besar, yang membutuhkan lebih dari USD 5 triliun (dolar Amerika Serikat) dalam bentuk investasi selama periode hingga tahun 2050 dan investasi kumulatif sebesar USD 1.616 miliar hingga tahun 2050. Pada gilirannya, investasi ini akan memberikan dampak karena dapat mengurangi intensitas energi sebesar 45% pada tahun 2050, dibandingkan dengan tingkat 2018.

Nelayan dan pembangkit listrik tenaga angin pertama di Vietnam (AFP Photo/Duy Khoi)
info gambar

Bagaimana Perkembangannya Sejauh Ini?

Beberapa perusahaan di kawasan ini telah mulai membangun fasilitas bertenaga ET untuk mengurangi jejak karbon mereka. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di negara-negara anggota ASEAN juga telah dimanfaatkan untuk mempercepat integrasi ET di kawasan ini. Meskipun begitu, potensi energi terbarukan di Asia Tenggara masih sangat besar dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satunya adalah Indonesia, yang memiliki total potensi energi terbarukan sebesar 417,8 GW, namun baru 11,5 GW yang telah dimanfaatkan hingga tahun 2021. Meskipun begitu, pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana bisnis penyediaan tenaga listrik dengan target penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 20,9 GW pada tahun 2030 dan memproyeksikan 60% energi negara akan dipasok oleh energi terbarukan pada tahun 2060.

Negara lain seperti Laos juga telah membuat kemajuan dalam pengembangan PLTA dan ekspor energi. Faktanya, ekspor energi di Laos telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Laos lebih dari 3%. Kemudian di Malaysia sendiri, sudah ada 3 pulau yang diusulkan menjadi pulau energi hijau. Malaysia juga mulai mengembangkan potensi energi terbarukan dari laut, seperti angin, ombak, arus laut, dan pasang surut. Kemudian pada tahun 2020, Malaysia memiliki 50 pembangkit listrik tenaga biogas yang menyuplai listrik ke jaringan nasional.

Brunei Darussalam juga berencana untuk meningkatkan kapasitas EBT-nya hingga setidaknya 300 MW pada tahun 2035 melalui proyek-proyek EBT yang bersifat kolaboratif. Kemudian di Kamboja, energi terbarukan saat ini menyumbang 40% dari pangsa pasar energi. Energi terbarukan ini berasal dari tenaga air, tenaga surya, dan biomassa. Bahkan, negara ini juga mendorong operator pariwisata untuk menggunakan energi terbarukan dalam bisnis mereka. Berikutnya adalah Thailand yang telah memulai operasi komersial instalasi hibrida surya-hidro terapung terbesar di dunia dan berencana untuk memasang 24 MW lainnya.

Di sisi lain ada Singapura yang telah melakukan studi kelayakan bersama untuk energi terbarukan hibrida angin, matahari dan pasang surut. Kemudian ada Filipina yang telah meluncurkan lelang energi hijau untuk proyek energi terbarukan sebesar 2 GW termasuk 130 MW tenaga air, 1,26 GW tenaga surya, dan 380 MW tenaga angin. Vietnam juga berencana untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan mereka, termasuk tenaga air, angin, matahari, dan biomassa, menjadi 33% dari total listrik pada tahun 2030.

Selain itu, beberapa negara di Asia Tenggara telah menandatangani Global Coal to Clean Power Transition Statement (GCCPS) untuk mempercepat transisi ke sumber daya energi bersih. Anggota ASEAN juga telah memperbarui kebijakan mereka untuk menarik lebih banyak investasi internasional untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan. Beberapa negara anggota ASEAN juga bermitra dengan negara lain dan lembaga swasta untuk meningkatkan kemampuan keuangan mereka dan mempercepat proyek energi terbarukan.

Referensi:

ASEAN Energy. (2023). 2022 Recap-Renewable Energy Insight.

International Renewable Energy Agency. (2022). Renewable Energy Outlook for ASEAN: Towards a Regional Energy Transition 2nd Edition.

International Renewable Energy Agency. (2022). Press Release: ASEAN Can Cover Two-Thirds of Energy Demand with Renewables.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini