Sejarah Masjid An-Nawier, Ikon Kebudayaan Arab bagi Masyarakat Pekojan

Sejarah Masjid An-Nawier, Ikon Kebudayaan Arab bagi Masyarakat Pekojan
info gambar utama

Pada masa perjuangan kemerdekaan, tak sedikit tokoh nasional yang memiliki darah arab berjuang bersama. Salah satu jejak perjuangan masyarakat Arab untuk perjuangan masih terlihat di Masjid Jami an-Nawier, Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Masjid yang berada di lokasi Kampung Arab ini berdiri sejak abad ke 18, tepatnya pada 1760. Hingga saat ini, masjid tersebut masih tegak berdiri dan menjadi kebanggaan masyarakat Jakarta.

Keindahan Masjid Al Alam, Karya Megah yang Terapung di Teluk Kendari

Dimuat dari Republika, Sejarawan Betawi Alwi Shahab menyebut masjid ini dibangun Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Pada masa jayanya sang habib terkenal sebagai sosok yang kaya raya dan dermawan.

“Kiprahnya tidak hanya tampak dalam pembangunan masjid yang berarti ‘cahaya’ (an-nawi) itu,” tulisnya.

Titik pusat

Masjid Jami an-Nawier disebut sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta. Bahkan masjid ini memiliki peran sebagai tempat penyebaran syiar Islam di Tanah Betawi. Konon masjid ini adalah induk dari masjid-masjid di sekitarnya.

Kompleks tempat ibadah ini juga diyakini berkaitan dengan masjid-masjid kuno lainnya di Keraton Surakarta dan Banten. Sebagai contoh, ketika ada sanak keluarga atau alim ulama Keraton Solo yang wafat, maka berita duka cita itu disebarkan pula di Masjid Jami ini.

Wisata Religi di Masjid Kasunyatan: Hadiah Sultan untuk Para Ulama Banten

“Setelah itu, biasanya para pengurus dan jemaah masjid tersebut akan melaksanakan shalat ghaib dan berdoa bagi si fulan atau fulanah yang meninggal dunia,” ucapnya.

Masjid ini juga memiliki ikatan kuat dengan Masjid Maulana Hasanuddin di Banten. Para alim ulama Banten ini kerap berkunjung ke masjid tersebut. Di sekitar masjid ini pun terdapat makam-makam tua yang diperkirakan tempat peristirahatan ulama besar.

“Alhasil Masjid Jami an-Nawier sering mendapat kunjungan para peziarah dari berbagai daerah Nusantara,” jelasnya.

Menjaga toleransi

Ketika memasuki abad ke 18, Pekojan tak lagi didominasi warga keturunan Arab, Hadramaut, dan India. Kawasan Kampung Arab ini mulai banyak dihuni orang Tionghoa, Betawi, dan etnis lainnya.

John Laurentius, warga Tionghoa yang lahir dan besar di Pekojan mengatakan dulu ada tradisi berbagai hadiah saat hari raya. Ketika Lebaran, warga Tionghoa akan memberikan bingkisan berupa kue kering, sirup, dan sebagainya kepada warga Muslim.

Keunikan Masjid dengan Bentuk Kubah Berbentuk Kupiah Tradisional di Aceh

Hal ini sebaliknya dilakukan oleh warga Arab saat Imlek, mereka akan gantian memberikan bingkisan kepada warga Tionghoa. Walau tradisi tukar-menukar hadiah itu saat ini sudah jarang ditemukan.

“Kalau sekarang, paling hanya mengucapkan selamat,” ujar John yang dimuat Kompas.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini