Mengenal Quiet Quitting di Dunia Kerja

Mengenal Quiet Quitting di Dunia Kerja
info gambar utama

Istilah quiet quitting ramai dibicarakan, terutama di platform TikTok, pada pertengahan 2022. Menilik pada fenomena dimana istilah ini viral setahun lalu, ada video pengguna TikTok @zaidleppelin yang berujar, "Kamu tetap menjalankan kewajibanmu (dalam bekerja) tetapi tidak lagi dalam hustle culture.". Akun tersebut juga lebih lanjut mengatakan bahwa "Kamu tidak keluar dari pekerjaanmu, tetapi keluar dari gagasan untuk melampaui tugas di dunia kerja,"

Namun, kepopuleran istilah ini masih dibahas hingga saat ini. Terutama karena istilah quiet quitting erat kaitannya dengan gaya bekerja generasi millenial dan generasi Z.

Mengutip katadata.co.id, quiet quitting adalah istilah yang mengacu pada sifat atau tindakan seseorang, utamanya karyawan suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.

Baca juga:6 Rekomendasi Coworking Space di Jogja:Cocok Buat Kerja Remote dan WFA

Quiet quitting tidak berarti seorang karyawan meninggalkan pekerjaan mereka, melainkan membatasi tugas mereka hanya pada tugas-tugas yang berada dalam deskripsi pekerjaan mereka untuk menghindari adanya overworking. Quiet quitting juga sering disebut sebagai antitesis dari hustle culture. Adapun tren hustle culture mendorong seseorang untuk 'gila kerja', bahkan kadang memaksakan. Namun, quiet quitting justru mendorong seseorang untuk bekerja dengan sangat minimalis.

Quiet Quitting | Foto:CeoWorld Magazine
info gambar

Mengenal Bentuk-Bentuk Sikap Quiet Quitting

Checking Out

Checking-out dapat diterjemahkan sebagai sikap sinis yang ditonjolkan oleh seorang karyawan di tempat kerja. Survei yang dilakukan oleh katadata.co.id menunjukkan bahwa keterlibatan atau keaktifan pekerja saat ini cenderung turun.

Melakukan Pemogokan Parsial

Pemogokan merupakan strategi klasik buruh, agar didengar oleh manajemen perusahaan. Nah, cara ini juga kerap diambil dan menjadi sinyal dari quiet quitting. Bedanya, quiet quitting hanya melakukan pemogokan sebagian atau parsial. Caranya, dengan menolak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, serta menolak tugas yang di luar deskripsi pekerjaan. Tindakan ini diambil, untuk menarik perhatian pada nilai pekerjaan seseorang, dan mencari pengakuan, serta kompensasi yang sesuai.

Sikap-sikap Lain

Tanda-tanda quiet quitting dapat muncul dalam berbagai bentuk lain, seperti tidak menghadiri rapat, pengurangan produktivitas, kurang berpartisipasi dalam proyek tim, kurangnya passion dalam mengerjakan sesuatu, sering datang terlambat, hingga pulang lebih awal.

Mengapa Karyawan Melakukan Quiet Quitting?

Quiet quitting mungkin merupakan istilah yang populer, tetapi praktik ini bukanlah hal baru. Pekerja diam-diam berhenti dari pekerjaan mereka selama bertahun-tahun untuk mencari sesuatu yang baru, apakah itu karena gaji yang buruk, beban kerja yang tidak terkendali, kelelahan atau kurangnya peluang pertumbuhan.

Baca juga:Begini Jenis-Jenis PHK Berdasarkan UU Cipta Kerja, Sudah Tahu?

Hadirnya fenomena pandemi juga membuat budaya quiet quitting semakin menjadi-jadi. Dilansir dari techtarget.com, ada lebih banyak orang memiliki waktu untuk memikirkan dan mempertanyakan karier mereka dan mencari lebih banyak keseimbangan kehidupan kerja pada saat pandemi. Di media sosial sendiri, sudah banyak yang menyuarakan bahwa pekerjaan tidak harus menjadi kehidupan, dan orang harus mulai mempertimbangkan kembali kebutuhan kehidupan kerja mereka.

Bekerja dari rumah juga telah mengubah dinamika tempat kerja karena karyawan dan manajer berkomunikasi dengan cara yang berbeda melalui rapat online di platform seperti Zoom atau Teams. Interaksi ini mungkin terasa lebih formal daripada sesi obrolan yang terjadi di kantor karena perlu dijadwalkan, bukan dadakan.

Secara lebih spesifik, ada beberapa alasan yang mungkin mendorong seseorang untuk melakukan quiet quitting. Misalnya, ketidakpuasan yang mendalam dengan pekerjaan atau lingkungan kerja, konflik yang tidak terselesaikan, tekanan yang berlebihan, ketidakadilan, kompensasi yang buruk, kurangnya dukungan, komunikasi yang buruk, harapan yang tidak jelas, atau masalah personal yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang secara keseluruhan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini