Mengintip Budaya Cancel Culture di Indonesia

Mengintip Budaya Cancel Culture di Indonesia
info gambar utama

Digitalisasi merupakan fenomena yang tidak dapat terpisahkan dari kondisi masyarakat saat ini. Hampir semua kebutuhan sehari-hari terlibat dalam proses digitalisasi, mulai dari pendidikan, pekerjaan, infrastruktur, dan penyebaran informasi. Beragam dampak positif pun bisa dirasakan masyarakat akibat kemudahan akses serta lebih banyak waktu luang yang tersedia.

Namun, efek samping digitalisasi juga menimbulkan dampak negatif, seperti keberadaan berita hoaks yang tidak terbendung sehingga masyarakat semakin bingung dalam beretika di media sosial. Akhirnya, hal ini berdampak pada proses pengolahan informasi oleh masyarakat yang berujung pada munculnya budaya cancel culture.

Cancel culture merupakan salah satu bagian dari pop culture, yang mulai berkembang sejak transformasi digitalisasi saat ini. Influencer yang mengalami ‘cancelled’ dapat dikatakan telah mengalami ‘pengenyahan’ dari lingkungan sosial secara informal oleh masyarakat dunia maya.

Dilansir dari womensmediacenter.com, cancelling yang dilakukan oleh warganet kepada influencer di antaranya seperti melakukan boikot, tidak mendukung karya influencer tersebut, diasingkan secara sosial, serta memutuskan kontrak kerja.

Wujud aksi virtual baru ini menimbulkan pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Makna kegiatannya yang diartikan secara relatif dan permasalahan mengenai kebebasan berpendapat di ruang digital serta pengendalian diri warganet juga dipertanyakan. Ditambah, banyaknya warganet yang merasa berhak untuk beropini apapun di media sosial dengan menggunakan payung pembenaran kebebasan berpendapat. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa hak kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab khusus.

Baca juga: Tren Deinfluencing, Tren Mengurangi Sifat Konsumtif

Fenomena ini bersifat massal dan bertujuan untuk mengucilkan korbannya. Akibatnya, budaya cancel culture ini bersifat sangat destruktif dan kadang tidak melihat perspektif dari segala arah. Dampak fatalnya adalah miskonsepsi terhadap isu dan berita lebih mudah terjadi. Kemudian, penyebaran berita hoax pun menjamur di media sosial seakan menjadi mata rantai yang tak ada habisnya.

Cancel Culture sebagai Budaya Baru Sekaligus Ancaman Kebebasan

Literasi Digital | Foto: Seni Komunikasi
info gambar

Aksi cancel culture ini dapat bertahan menjadi budaya baru karena era digitalisasi yang membuat media sosial menjadi wadah alternatif baru bagi masyarakat untuk beraktivitas dan bersosialisasi. Fenomena yang terjadi di dunia nyata akan dialihkan dalam dunia virtual seperti internet, salah satu contohnya adalah aksi sosial.

Kegiatan seperti mengadakan petisi online, pemboikotan online, termasuk cancel culture itu sendiri juga merupakan aksi sosial yang beradaptasi. Selain itu, aksi cancel culture dapat dikatakan sebagai implementasi fenomena perilaku masyarakat dalam sistem demokrasi, di mana publik dari berbagai kalangan berhak berpendapat

Seperti dalam kasus Kim Seon Ho misalnya, adanya petisi untuk pembatalan kontrak iklan, program televisi, dan drama yang akan tayang. Dilansir dari kanal YouTube milik Korea Reomit, fenomena ini merupakan bagian dari dinamika sosial, di mana public figure sulit untuk berpendapat bebas karena adanya beban yang harus dijangkau dan agreeable untuk semua orang.

Dalam artian lain, seorang public figure harus siap menanggung konsekuensi ketika menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Adanya konsekuensi inilah yang kemudian memunculkan istilah baru, yakni kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.

Baca juga:Indonesia Jadi Negara dengan Pengikut Influencer Medsos Terbanyak

Cancel culture menegaskan peran kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab ini di media sosial. Pelaku yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap opini yang disampaikannya akan diberi sanksi sosial sehingga dapat membuat efek jera yang berkelanjutan.

Namun, di sisi lain, tindakan cancel culture yang berlebihan juga membuat ruang kebebasan berpendapat menyempit di media sosial. Kesimpulannya, tren cancel culture seperti pedang bermata dua dalam aktivitas media sosial. Maka dari itu, penting untuk memahami literasi digital sebagai upaya untuk menanggapi dan mengatasi bahaya dari tren cancel culture ini.

Ragam permasalahan yang muncul ini karena banyak masyarakat yang tidak handal dalam memanfaatkan pengetahuan literasi media sebagai pedoman dalam beretika di media sosial. Situasi ini semakin menggambarkan bagaimana struktur pengetahuan literasi digital menjadi penting bagi publik.

Terkait berbagai sisi positif yang dapat ditemukan apabila peningkatan literasi digital diterapkan secara sistematis dalam kehidupan media sosial, literasi digital juga akan meningkatkan self-control warganet. Peningkatan literasi digital akan memberi titik tekan pada kemampuan kritis individu yang berpijak pada pemrosesan informasi dan melibatkan kemampuan memverifikasi data agar publik lebih peka ketika menyaring informasi.

Publik yang cerdas mampu memilah mana yang baik dan benar dalam beretika di media sosial. Selain itu, kecakapan literasi digital juga bisa menunjang publik dalam menghadapi kasus-kasus yang bisa berujung ke cancel culture. Kondisi ini akan menangkal dampak buruk dari maraknya tren cancel culture saat ini karena adanya self-control warganet yang baik.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SC
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini