Potret Pendidikan di Ujung Merangin

Potret Pendidikan di Ujung Merangin
info gambar utama

Petualangan menembus perbukitan Merangin Jambi, melewati jalan bebatuan, tanah kuning, arus terjal naik turun. Perjalanan kami kali ini untuk riset etnografi pada siswa sekolah terpencil. Sepanjang perjalanan kami mengakrabkan diri dengan alam, dan memotret aktivitas siswa di sekolah.

Kami berangkat dari Jambi ke Bangko Ibukota Merangin pukul 9 pagi, mengendarai mobil pribadi. Jarak tempuh Jambi ke Bangko 240 km sekitar 5 jam 30 menit. Setibanya di Bangko hujan deras diselimuti awan tebal, suara petir menyambar, kami berhenti di rumah keluarga, sejenak diskusi untuk rute perjalanan berikutnya.

Sekitar jam 5 sore kami melanjutkan perjalanan, mengendarai motor Trail sebagai kendaraan yang paling layak, karena akses ke Ngaol tak mungkin ditempuh dengan mobil.

Jarak Bangko ke Ngaol 3 jam, melewati belasan desa. Malam mulai menyapa, kami terus melanjutkan perjalanan, menyingkirkan rasa takut, dan pelan-pelan karena kondisi jalan licin.

Pentingnya Pendidikan Energi Terbarukan di Seluruh Sekolah

Jam menunjuk pukul 19.30 malam, kami berhenti di warung makan Desa Muara Kibul, dan memutuskan untuk lanjut perjalanan besok pagi. Beruntunglah di sana kami bertemu Bu Nurjani, pemilik warung makan dan kos-kosan.

Bu Nurjani dengan ramah menyapa, ngobrol dengan ceria, seolah sudah kenal lama. Bu Nurjani menghidangkan ayam goreng, rendang, dan ikan kuah yang masih panas-panasnya. “Ayo dimakan, saya masak langsung untuk kalian, nanti setelah makan yang mau mandi bisa ke belakang, malam ini tidur di sini,” ucap bu Nurjani.

Bu Nurjani sudah seperti ibu Angkat Tambo, pemandu kami dalam perjalanan menuju Ngaol dan sekaligus guru di sekolah tujuan kami. Warung bu Nurjani semacam terminal bagi guru-guru yang akan mengabdi ke desa-desa di ujung Merangin.

Suasana tenang nan menyejukkan ketika bermalam di Muara Kibul, bu Nurjani menghampar tiga kasur, memberi voucher wifi karena di sana tak ada jaringan internet. Kami tidur pulas, untuk mengecas energi esok pagi.

Dalam perjalanan dari Muara Kibul kami berangkat jam 7 pagi, melihat panorama yang permai, lembah hijau, matahari yang samar-samar ditutupi awan, Jembatan gantung di awal, pertengahan, dan akhir desa, sungai yang gemercik berwarna kecokelatan, aktivitas tambang, gembala kerbau dan kambing menemani perjalanan.

Kondisi jalan menuju Ngaol kebanyakan tanah kuning, beberapa dalam bentuk cor, beberapa titik ada genangan air setinggi mata kaki, bebatuan dari ukuran kecil hingga ukuran karung beras 5 kg, bisa dibayangkan kalau mobil pribadi lewat lalu menghantam batu tersebut.

Di ketinggian bukit kami melihat bangunan beratap merah, dinding hijau kuning di tengah lapangan yang luas, dikelilingi pohon kulit manis, kopi, karet, dan beberapa rumah warga. Suara kera yang bersahutan menyambut kami, dan kami segera turun menuju SMPN 53 Merangin.

KH Ahmad Dahlan Mendirikan Sekolah Muhammadiyah Pertama di Indonesia

SMP 53 Merangin berdiri tahun 2002, berubah status menjadi sekolah negeri tahun 2011. Pintu gerbang sekolah dilalui dengan jembatan gantung, pagar semen di depan sekolah, di sekeliling masih pagar kawat, sebagian tak berpagar, sehingga kerbau dan kambing dengan leluasa melintas di lapangan sekolah.

Di sekolah tersebut jumlah siswa 17 orang dan guru 14 orang, satu per satu menyalami kami, mempersilakan kami untuk ganti pakaian di ruang operator, dan mulai diskusi dengan guru-guru di sana.

“Siswa di sini ada yang dari Desa Ngaol, Ngaol ilir, dan Telentam. Tiap tahun kami menerima 3 sampai 5 siswa, kadang kalau pas naik kelas baru nambah 3, pindahan dari pondok pasantren. Minimnya jumlah siswa dikarenakan akses jalan dan transportasi umum yang tak tersedia,” terang Jamal Tunis, kepala Sekolah SMPN 53 Merangin.

Akses jalan dan internet vital fungsinya bagi pendidikan, akses tak hanya memudahkan perjalanan dan komunikasi, tapi juga menghubungkan satu pikiran dengan pikiran lain, menghubungkan impian dengan masa depan, menghubungan desa dengan dunia global yang bisa diakses lewat genggaman smartphone.

Di sekolah tanpa jaringan, mereka sering telat dapat informasi, susah untuk kordinasi dengan Dinas Pendidikan Merangin. Di samping itu, ruang eksplorasi ilmu pengetahuan menjadi sempit, hanya sebatas buku ajar dan perpustakaan. Terasa ada yang kurang bagi guru yang rata-rata generasi milenial yang seharusnya melek digital.

Keterbatasan akses juga berdampak pada keaktifan guru, mereka enggan untuk tinggal di dekat sekolah. Lebih memilih pulang pergi Ngaol-Bangko, pihak sekolah mengatur giliran dan shift mengajar, bisa dua sampai tiga hari guru ke sekolah, selebihnya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

Proses pembelajaran di sekolah sudah memakai kurikulum terbaru. Saat kami di sekolah sedang berlangsung ujian semester, sehingga tak bisa melihat bagaimana aktivitas pembelajaran di kelas.

Meski begitu kami tetap diperkenan mengamati ujian siswa, siswa tampak santai, tak ada kening yang berkerut, mereka menulis dengan lancar, waktu ujian satu jam, 30 menit banyak yang sudah selesai.

Seteleh selesai ujian, kami mewawancarai siswa satu per satu, mereka tampak tersenyum dan menunduk, saat pertanyaan diajukan mereka diam, saya berusaha untuk memancing respons mereka agar semakin banyak data yang bisa kami olah dan analisis.

Siswa menceritakan aktivitas di sekolah, sekolah adalah ruang belajar dan bermain, tempat menanamkan tanggung jawab kepada lingkungan, mulai dari membersih lingkungan, menanam bunga dan menjaga keasrian alam di dalam dan luar sekolah. Selain itu, sekolah mengajarkan bagaimana interaksi dengan teman, guru, dan warga.

Sekolah Bagi Anak Broken Home di Solo

Prioritas lain yang diupayakan di sini berkaitan dengan literasi, ada tiga siswa belum lancar baca dan tulis. Guru memberi perhatian dan menyediakan waktu khusus mengajar literasi dasar, mendorong kecintaan pada kata, kalimat, paragraf, dan hitungan agar bisa mengejar ketertinggalan dengan siswa lain.

Di tengah keterbatasan, siswa bertekad untuk mengembangkan diri, melawan rasa malas, belajar mengatur waktu tidur agar tidak bergadang, serta disiplin bangun dan pergi ke sekolah tepat waktu. Mereka juga punya cita-cita, ada yang ingin jadi guru, TNI, dokter, bidan, pedagang, dan buka bengkel motor.

Mereka percaya pendidikan dapat menciptakan perubahan dan menggapai masa depan. Seperti kata Plato, “Arah yang diberikan pendidikan, untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya.”

Akhir petualangan, kami berfoto bersama siswa dan guru, berterima kasih atas waktu empat jam untuk wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tepat jam 1 siang kami pamit dari sekolah. Dan langsung menuju Desa Ngaol, tempat kami menginap dan bercengkerama dengan kemurahan hati warga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini