Alarming! Deforestasi di Asia Tenggara Semakin Mengkhawatirkan

Alarming! Deforestasi di Asia Tenggara Semakin Mengkhawatirkan
info gambar utama

Lebih dari 30% luas daratan dunia terdiri dari hutan. Disisi lain, hutan juga menjadi habitat bagi sebagian besar spesies satwa liar di dunia, termasuk 80% amfibi, 75% burung, dan 68% mamalia. Akan tetapi, sejak tahun 1990, lebih dari 420 juta hektar hutan mengalami deforestasi akibat aktivitas manusia, terutama karena penggundulan hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian dan penebangan. Berkaitan dengan hal ini, Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia.

Tingkat deforestasi di kawasan ini sangat tinggi, dengan kehilangan hutan sebesar 1,2% setiap tahun, sebanding dengan tingkat deforestasi di Amazon yang menyumbang sepertiga dari total deforestasi tropis global. Kawasan yang memiliki hampir 15% dari total hutan tropis dunia, membuatnya menjadi area yang sangat rentan terhadap deforestasi.

Kawasan ini menghadapi tantangan besar dalam melindungi keanekaragaman hayati. Saat ini, hanya sekitar 6% dari daratan dan perairan di Asia Tenggara yang dilindungi. Padahal, angka ini harus meningkat lima kali lipat dalam delapan tahun untuk mencapai target konservasi 30% pada tahun 2030 yang menjadi tujuan global. Target ini ada dalam COP15 biodiversity summit, terkait dengan keanekaragaman hayati.

Padahal, keberadaan hutan tropis sangat penting sebagai penyerap karbon alam di dunia. Hilangnya hutan tropis akan menyumbang sekitar 10% emisi gas rumah kaca manusia setiap tahun, memperparah perubahan iklim.

Daratan dan Lautan yang Semakin Rentan

Dalam kurun waktu 2001 hingga 2019, Asia Tenggara telah kehilangan hutan seluas 610.000 kilometer persegi, termasuk 31% di wilayah pegunungan yang dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan dalam waktu kurang dari dua dekade.

Diantara beberapa negara Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan deforestasi paling tinggi pada 2019. Dengan menyumbang hampir 14% deforestasi hutan tropis global, posisinya hanya berada dibawah Brasil, Amerika Utara dan Selatan, serta seluruh Afrika. Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia yang terbagi antara Malaysia, Kalimantan Indonesia, dan negara Brunei, diperkirakan akan kehilangan sekitar 220.000 km persegi hutan antara tahun 2010 dan 2030, setara dengan sekitar 30% dari total luas wilayah daratannya.

Kemudian, di beberapa wilayah seperti pegunungan di Laos utara, Myanmar timur laut, telah terjadi kerusakan hutan yang signifikan. Penebangan hutan di wilayah ini meningkatkan risiko tanah longsor, banjir, erosi tanah, dan polusi pertanian di sungai-sungai, mengurangi kualitas dan ketersediaan air di wilayah yang lebih rendah.

Dengan tingginya angka deforestasi yang ada, Asia Tenggara telah kehilangan lebih dari separuh tutupan hutan aslinya. Ahli memperingatkan bahwa lebih dari 40% keanekaragaman hayati di kawasan ini dapat punah atau hilang pada tahun 2100 jika deforestasi terus berlanjut.

Disisi lain, negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina memiliki ekosistem laut yang penting, seperti terumbu karang. Namun, tingkat perlindungannya masih sangat rendah. Negara-negara di Asia Tenggara cenderung lebih fokus pada melindungi daratan daripada lautan, dengan salah satu alasannya adalah perairan terbuka lebih sulit untuk dipantau dan lebih sulit dalam hal regulasi. Padahal, pelestarian ekosistem laut sangat penting untuk menjaga populasi ikan dan mendukung hasil perikanan jangka panjang.

Tubbataha Reefs Natural Park, Filipina (© Marine Conservation Institute)
info gambar

Penyebab Tingginya Angka Deforestasi

Secara umum, Penebangan hutan merupakan penyebab utama deforestasi terutama di pegunungan, menyumbang 42% kehilangan hutan, diikuti oleh kebakaran hutan (29%), perladangan berpindah atau tebang-dan-bakar (15%), dan pertanian permanen atau semi-permanen (10%).

Deforestasi di daerah tropis paling utama disebabkan oleh perladangan berpindah, sedangkan di daerah beriklim sedang disebabkan oleh praktik-praktik kehutanan. Disisi lain, d daerah boreal, kebakaran hutan menjadi penyebab utama kehilangan hutan.

Praktik konversi lahan dan deforestasi ini memiliki dampak terhadap lingkungan, termasuk kemampuan hutan dalam menyerap karbondioksida dan melindungi spesies. Salah satunya adalah karena penanaman kelapa sawit. Di Indonesia, hutan primer telah berkurang sebesar hampir 10 juta hektar dalam dua dekade terakhir, dengan perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 23% deforestasi di antara tahun 2001-2016.

Pembukaan lahan kelapa sawit (© Mongabay)
info gambar

Selain kelapa sawit, penebangan kayu dan pertanian skala kecil juga berkontribusi pada deforestasi, terutama melalui pembalakan liar. Konversi lahan menjadi pertanian dan padang rumput juga merupakan faktor pendorong deforestasi di wilayah ini. Metode tebang-dan-bakar dalam pertanian skala kecil menyebabkan kerusakan lahan dan meningkatkan risiko kebakaran hutan serta emisi karbon. Kebakaran tahun 2019 di Indonesia melepaskan 708 juta ton karbon dioksida, dua kali lipat dari kebakaran hutan di Amazon pada tahun yang sama.

Penelitian juga menunjukkan bahwa ekspansi pertanian ke wilayah dataran tinggi di Asia Tenggara berperan signifikan dalam mempercepat laju kehilangan hutan di wilayah tropis. Antara tahun 2001 dan 2018, lebih dari separuh kehilangan hutan global terjadi di Asia.

Upaya dalam Menanganinya

Meskipun pemerintah di kawasan ini telah mengadopsi langkah-langkah untuk mengendalikan deforestasi, implementasi dan peraturan yang ada belum efektif. Beberapa hutan dan kawasan lindung yang masih utuh di Asia Tenggara telah terdegradasi dan dikonversi menjadi lahan pertanian atau lokasi penebangan, mengakibatkan kerusakan yang sulit untuk dipulihkan.

Brunei dan Kamboja adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah melampaui target konservasi 30%, tetapi wilayah daratan mereka hanya mewakili sekitar 5% dari kawasan ini.

Disisi lain, terkait dengan perlindungan ekosistem perairan, ada beberapa kesulitan yang menghampirinya. Ada juga perbedaan kepentingan antar negara-negara di kawasan ini yang saling bertentangan, seperti eksplorasi minyak, dan penangkapan ikan, dan jalur pelayaran. Beberapa negara masih memprioritaskan operasi penangkapan ikan di perairan terbuka. Meskipun ada beberapa langkah positif seperti pembentukan kawasan konservasi di Malaysia dan Indonesia, sebagian besar kawasan lindung belum dievaluasi secara efektif. Disisi lain, Penting untuk melibatkan masyarakat lokal dan adat dalam upaya konservasi, serta menyediakan pendanaan yang cukup untuk patroli dan penegakan hukum.

Untuk mewujudkan komitmen global dalam melestarikan 30% daratan dan lautan pada tahun 2030, Asia Tenggara harus menyelesaikan tantangan besar dalam meningkatkan upaya konservasi. Peningkatan pengetahuan teknis, kemauan politik, dan keterlibatan masyarakat sangat penting untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mengamankan warisan alam di kawasan ini untuk generasi mendatang.

Referensi:

  1. He, X., Ziegler, A. D., Elsen, P. R., Feng, Y., Baker, J. C. A., Liang, S., … Zeng, Z. (2023). Accelerating global mountain forest loss threatens biodiversity hotspots. One Earth, 6(3), 303-315

  2. Osborn, Jen Flatt. (2023). Forest Under Threat: A Comprehensive Look at The Latest Deforestation Statistics. World Animal Foundation

  3. Lai, Olivia. (2022). Deforestation in Southeast Asia: Causes and Solutions. earth.org

  4. Lei, Liang. (2022). Southeast Asia’s Biodiversity Protection Challenge, by the Numbers. Eco-Business

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini