Dampak Lingkungan dari Mobil Listrik: Apakah Benar-benar Ramah Lingkungan?

Dampak Lingkungan dari Mobil Listrik: Apakah Benar-benar Ramah Lingkungan?
info gambar utama

Pada ASEAN summit beberapa waktu lalu di Indonesia, salah satu yang menjadi bahasan adalah pembangunan ekosistem EV. Bahkan, ketika pagelaran ASEAN SUmmit kemarin, banyak mobil EV digunakan oleh pemerintah Indonesia selama acara berlangsung.

Secara umum, sebagian besar mobil listrik yang tersedia saat ini menghasilkan emisi yang jauh lebih sedikit daripada mobil bensin. Namun, menurut Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore, kendaraan listrik tidak bisa dianggap sebagai bagian dari transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Proses produksi dan pengisian daya baterai kendaraan listrik masih berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca. Disisi lain, aktivitas penambangan nikel yang tetap memiliki dampak signifikan terhadap kerusakan lingkungan.

Pernyataan tersebut didukung juga oleh analis otomotif perusahaan riset Counterpoint, Abhilash Gupta yang menyatakan bahwa produksi baterai kendaraan listrik tidak mungkin mencapai netral karbon. Ditambah, peningkatan aktivitas penambangan dan manufaktur dalam industri tersebut dapat membawa resiko bagi lingkungan dan hak asasi manusia.

Ramah Lingkungan di Hilir, Masalah di Hulu

Seperti baterai-baterai lainnya, sel lithium-ion yang digunakan pada sebagian besar kendaraan listrik bergantung pada bahan mentah seperti kobalt, lithium, dan elemen tanah lain yang cukup langka. Sayangnya, seringkali bahan mentah ini berkaitan dengan masalah serius terkait lingkungan dan hak asasi manusia, dan kobalt menjadi salah satu yang paling kontroversial.

Penambangan kobalt menghasilkan limbah tailing dan slag berbahaya yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Penelitian juga menunjukkan tingkat paparan yang tinggi terhadap kobalt dan logam lainnya di masyarakat sekitar, terutama pada anak-anak. Proses ekstraksi logam dari bijih kobalt melibatkan proses peleburan, yang dapat menghasilkan sulfur oksida dan polusi udara berbahaya lainnya.

Memang sudah ada komitmen dari banyak Produsen mobil dan perusahaan lainnya untuk menghapus kobalt "artisanal" dari rantai pasokan mereka dan juga menyatakan bahwa mereka akan mengembangkan teknologi baterai yang mengurangi atau menghilangkan penggunaan kobalt secara keseluruhan. Namun, menurut Mickaël Daudin dari Pact, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja dengan komunitas pertambangan di Afrika, komitmen tersebut dianggap "tidak realistis" karena teknologi tersebut masih dalam tahap pengembangan dan adanya prevalensi tambang-tambang kobalt tersebut.

Kompleks pengolahan nikel yang dioperasikan oleh PT Vale Indonesia di Pulau Sulawesi (© Dimas Ardian/Bloomberg)
info gambar

Resiko Penambangan Nikel terhadap Lingkungan

Organisasi Hak Asasi Manusia dan Bisnis (BHRRC) telah memperingatkan tentang risiko lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan penambangan dan pengolahan nikel di Indonesia dan Filipina. Pelanggaran ini meliputi kurangnya persetujuan dari masyarakat adat untuk menambang di tanah mereka, perusakan hutan hujan, kerusakan tanaman, pencemaran air, masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan, dan penurunan stok ikan lokal.

Sektor nikel di Indonesia memiliki dampak lingkungan yang tinggi dan berkontribusi pada emisi karbon. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen mobil listrik yang dihadapkan pada tekanan untuk mengelola isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam rantai pasokan mereka, termasuk emisi karbon. Beberapa produsen mobil listrik memang telah menyatakan preferensi mereka untuk menggunakan nikel "rendah karbon", tetapi pasokan tersebut tidak mencukupi dan memiliki harga yang lebih mahal.

Sebuah studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di Universitas Khairun, Maluku Utara, Indonesia, pada tahun 2019 mengungkapkan tingkat logam berat yang terkait dengan penambangan nikel yang lebih tinggi dari biasanya di lepas pantai selatan pulau utama. Penelitian ini juga menemukan adanya jejak logam berat tersebut pada setidaknya 12 spesies laut, termasuk kerang air asin, kakap bakau, ikan mata sapi, dan ikan trevally bergaris kuning.

Anak-anak bermain di air yang disebut para peneliti sebagai 'kubangan lumpur' karena tingginya tingkat kontaminasi logam berat. (© Rabul Sawal/Mongabay Indonesia)
info gambar

Tantangan dan Harapan

Masih menurut Fanny Tri Jambore, pemerintah sebenarnya memiliki berbagai opsi untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik yang ramah lingkungan tanpa merusak lingkungan. Salah satunya adalah dengan menahan diri dari memberikan izin konsesi pertambangan nikel dalam skala besar. Selain itu, upaya daur ulang baterai dari produksi nikel saat ini juga dapat mengurangi kebutuhan akan bijih nikel yang ditambang, sehingga tidak perlu membuka tambang di semua wilayah di Indonesia.

Akan tetapi, upaya daur ulang ini juga bukan menjadi proses yang mudah. Dalam menghadapi akhir masa pakai generasi sebelumnya kendaraan listrik, tantangan yang muncul adalah mencegah penumpukan baterai bekas yang tidak terpakai. Sebagian besar kendaraan listrik saat ini menggunakan baterai lithium-ion yang memiliki kapasitas penyimpanan energi yang lebih tinggi daripada teknologi baterai timbal-asam yang lebih tua.

Sayangnya, tingkat daur ulang baterai lithium-ion diperkirakan hanya sekitar 5 persen. Baterai bekas ini sebenarnya mengandung logam berharga dan bahan lain yang dapat dipulihkan dan digunakan kembali. Meskipun demikian, proses daur ulang baterai dapat menggunakan air dalam jumlah besar atau menghasilkan polusi udara.

Akan tetapi, Para ahli percaya bahwa dengan waktu dan inovasi, tingkat daur ulang baterai lithium-ion akan meningkat. Pendekatan yang menjanjikan adalah memberikan baterai kendaraan listrik bekas kehidupan kedua melalui penyimpanan dan aplikasi lainnya.

Komitmen untuk transisi dari mobil berbahan bakar fosil menuju electric memang menjadi optimisme yang baik. Semangat menuju teknologi ramah lingkungan memang patut untuk diperjuangkan.Namun, butuh evaluasi, penelitian dan pengembangan lanjutan agar solusi permasalahan bukan hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu. kendaraan listrik memang lebih ramah lingkungan, namun dalam produksinya masih banyak evaluasi karena menyebabkan kerusakan lingkungan.

Referensi:

  1. Intan, Ghita. (2022). Dampak Lingkungan Bayangi Ambisi Indonesia untuk Jadi Pemain Utama dalam Ekosistem Kendaraan Listrik Global. Voa Indonesia
  2. Sawal, Rabul. (2022). Red Seas and No Fish: Nickel Mining Takes Its Toll on Indonesia's Spice Island. Mongabay
  3. Taylor, Michael. Nickel Mining for EVs Fuels Risk of Abuses in Southeast Asia. Context News
  4. Taylor, Michael. (2023). Southeast Asia Lags in Electric Vehicles. Can it Catch up.Context News

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini