DARI INDONESIA KE ANTARIKSA

MENERBANGKAN ANAK DAN KARYA BANGSA KE LUAR ANGKASA




* * *

Oktober 2007, Asia Tenggara sedang berbahagia. Pasalnya, kala itu setelah sekian lama berusaha dan menanti akhirnya mereka memiliki satu perwakilan astronot untuk melakukan misi di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS). Malaysia tentu lebih bangga lagi karena astronot bernama Sheikh Muzaphar Sukhor itu adalah seorang dokter asal negeri jiran tersebut.

Kembali ke Indonesia, kita tentu turut mendambakan ada -setidaknya - dua orang menjadi astronot. Tahun 1985 Indonesia hampir menerbangkan astronot bersamaan dengan peluncuran satelit Palapa ke-3. Sayangnya, beberapa hari sebelum hari-H, ada sebuah kecelakaan pesawat milik NASA. Akhirnya, penerbangan astronot ini pun dibatalkan.

Tapi, tetaplah bersyukur karena nyatanya meski belum terwujud menerbangkan astronot Indonesia keluar angkasa, namun Indonesia sudah banyak membuat jejak karya di antariksa sana. Yang paling orisinal karya anak bangsa adalah Satelit LAPAN-A1 yang diluncurkan tahun 2007 silam.

Dalam beberapa bulan ke depan, wahana luar angkasa Cassini yang diluncurkan NASA 20 tahun lalu, akan mengakhiri misinya di planet paling eksotis di tata surya, Saturnus, sang planet bercincin. Misi terakhirnya adalah mengitari area antara Saturnus dan cincin-cincin spektakulernya, termasuk menembus cincin itu sendiri. Kitaran Cassini ini akan menghasilkan gambar-gambar dan data yang akan dikirimkan kepada kita, manusia bumi, untuk memecah misteri planet tersebut sebelum hancur pada September mendatang dengan melebur di atmosfer Saturnus.

Ilustrasi Cassini (Sumber: https://sengedan.blogspot.co.id/2017/04/pesawat-luar-angkasa-cassini.html)

Cassini sendiri diluncurkan pada Oktober 1997, melakukan perjalanan selama 7 tahun, dan memasuki orbit Saturnus pada 1 Juli 2004. Salah satu misinya adalah memberikan jawaban atas misteri dan keingintahuan kita selama ini tentang cincin Saturnus yang tak henti memutari planet gas ini sepanjang waktu.

Amerika Serikat, pun juga negara-negara lain makin serius melakukan penjelajahan sudut-sudut angkasa, pun juga berencana membentuk koloni manusia di Mars, maupun tempat-tempat potensial lain di luar sana untuk dihuni manusia di masa depan. Selain itu juga mencoba mencari tahu, apakah ada kehidupan lain di luar sana, selain kehidupan di bumi.

Sejak awal peradaban, umat manusia sudah bermimpi untuk menjelajahi kosmos. Hingga saat ini, manusia sudah meluncurkan 60 misi sukses ke bulan (6 di antaranya adalah pesawat berawak yang berhasil mendarat di bulan). 17 misi sukses ke Mars, 13 misi ke tata surya bagian luar, dan 5 di antaranya sudah jauh meninggalkan tata surya.

Beberapa tahun terakhir, rasanya penjelajahan angkasa mulai memasuki babak baru. Badan-badan non pemerintah, mulai mempunyai agenda-agenda luar angkasa, baik itu perjalanan ke Mars, membuat roket luar angkasa yang mampu kembali ke bumi dan dipakai lagi, hingga misi antar-generasi, yakni mengirim wahana ke Alpha Centaury, sistem bintang terdekat dari tata surya kita, dengan jarak 4,2 sampai 4,4 tahun cahaya.

Di ranah lain, ketertarikan publik akan luar angkasa juga makin menjadi. Mungkin terinspirasi oleh film-film box office seperti Gravity, Interstellar, The Martian, Star Wars : The Force Awakens, dan lain lain. Inilah yang kemudian membuat kesuksesan SpaceX maupun Blue Origin menjadi buah bibir, terutama para generasi muda. Luar angkasa menjadi isu yang besar, seksi, dan penuh potensi.

Roket SpaceX (Foto: fortune.com)

Di Indonesia, Elon Musk dengan SpaceX-nya, begitu populer, digemari, dan diikuti gerak-geriknya. Mirip dengan (alm) Steve Jobs di masa lalu. "Space: the final frontier", kira-kira begitu semangat Elon Musk, miliarder yang penuh ide ini. Indonesia, sebagai sebuah kekuatan baru di Asia, sebaiknya memang tak lagi tertinggal di belakang. Ilmu pengetahuan, dan bisa jadi sumber tak terbatas menunggu kita di angkasa sana, di luar atmosfer kita. Eksplorasi luar angkasa, adalah salah satu faktor terpenting yang akan mengubah spektrum kehidupan manusia di masa depan.

LAPAN, pemerintah secara umum, dunia pendidikan, dan publik Indonesia sebaiknya mulai membentuk pola pikir bersama, untuk membangun ekosistem memanfaatkan luar angkasa untuk kemakmuran bersama. Misalnya, menyelesaikan pembangunan roket jarak jauh, atau membuka kembali wacana stasiun peluncuran luar angkasa, membuka kurikulum luar angkasa di sekolah-sekolah, atau...hal lain. Tentu diharapkan, hal ini akan memicu tumbuhnya common dreams di kalangan generasi muda, untuk bercita-cita menjadi ilmuwan, menjadi asronot, dan berani bermimpi terbang tinggi.

Bicara soal antariksa tentu kita tidak bisa lepas dari ilmu astronomi. Tonggak kemajuan aktivitas astronomi Indonesia ditandai dengan berdirinya Observatorium Bosscha pada tahun 1923. Namun, kala itu astronom yang aktif di Indonesia masih didominasi oleh orang-orang Belanda. Sedangkan, tonggak berdirinya pendidikan astronomi di Indonesia adalah ketika dikukuhkannya G.B van Albada sebagai Guru Besar Astronomi di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1951.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak anak-anak bangsa Indonesia yang mendalami ilmu-ilmu astronomi dan keantariksaan. Hal ini juga membuka mata masyarakat Indonesia mengenai pentingnya penguasaan bidang antariksa dan astronomi bagi kemajuan bangsa. Lantas, pada tahun 1962 sesuai dengan prakarsa Presiden Soekarno, dibentuk Panitia Astronautika untuk mempersiapkan permulaan kegiatan keantariksaan yang sistematis.

Kemudian pada 22 September 1962 dibentuk Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA) Afiliasi AURI dan ITB. Program ini berakhir pada 27 November dengan diterbitkannya Kepres Nomor 236 Tahun 1963 tentang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN. Sejak dibentuk LAPAN, Indonesia semakin mantap maju di bidang keantariksaan.


Prestasi awal

Tahun 2006, satelit pertama buatan Indonesia, INASAT-1 diluncurkan.

Satelit ini merupakan satelit metodologi penginderaan untuk memotret cuaca buatan LAPAN. INASAT-1 menggunakan komponen elektronik berukuran kecil, dengan berat sekitar 10-15 kg. Kehadiran satelit ini dirancang untuk mengumpulkan data yang berhubungan erat dengan data lingkungan maupun rumah tangga yang digunakan untuk mempelajari dinamika gerak serta penampilan sistem satelit.

Satelit ini dirancang bersama PT. Dirgantara Indonesia dan LAPAN. Dari segi dinamika gerak akan diketahui melalui pemasangan sensor gyrorate tiga sumbu, sehingga dalam perjalanannya akan diketahui bagaimana perilaku geraknya. Penelitian dinamika gerak ini menjadi hal yang menarik untuk satelit-satelit ukuran nano yang terbang dengan ketinggian antara 600-800 km.

Satelit ESA (Foto: silicon.co.uk)

LAPAN tidak berhenti di situ saja. Januari 2007 tepat pada tanggal 10, Indonesia melalui LAPAN kembali meluncurkan satelit buatan dalam negeri.

Bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin (Technische Universität Berlin; TU Berlin), LAPAN membuat satelit LAPAN-TUBSAT. Ini adalah satelit mikro pertama Indonesia. Wahana yang dirancang berdasarkan satelit lain bernama DLR-TUBSAT dan menyertakan sensor bintang yang baru.

Satelit LAPAN-TUBSAT yang berbentuk kotak dengan berat 57 kilogram dan dimensi 45 x 45 x 27 cm ini digunakan untuk melakukan pemantauan langsung situasi di Bumi seperti kebakaran hutan, gunung berapi, banjir, menyimpan dan meneruskan pesan komunikasi di wilayah Indonesia, serta untuk misi komunikasi bergerak.

Karena masa ekonomis satelit Lapan A1 sudah habis, Lapan didukung Kemenristek meluncurkan dua satelit lagi pada tahun 2015. Tak seperti Lapan A1 yang dirakit putra bangsa di Jerman di bawah pengawasan ahli, dua satelit ini murni dibuat tangan putra bangsa plus dirakit di Indonesia sendiri. 

Satelit itu dinamakan Lapan A2 dan Lapan A3. Lapan A2, diberi muatan transmitter radio amatir, kerjasama Lapan dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) dan dimaksudkan untuk membantu penanganan daerah bencana. Sedangkan Lapan A3 adalah kerjasama Lapan dengan IPB, dimaksudkan untuk memantau potensi-potensi pertanian. 

Kedua satelit itu, Lapan A2 dan Lapan A3, seperti saudara diluncurkan dari Pusat Stasiun Luar Angkasa Sriharikota, India. Kedua satelit akan diorbitkan mendekati garis ekuator. Kedua satelit itu beratnya 54 kg. Sementara itu, saat ini LAPAN masih mempersiapkan satelit Lapan A4 yang diharapkan bisa diluncurkan pada tahun 2018 mendatang.


Jejak satelit Indonesia sudah puluhan tahun lalu

Sepanjang sejarah, satelit milik Indonesia yang telah diluncurkan mencapai puluhan satelit. Indonesia pertama kali meluncurkan satelit pada tahun 1976, menjadikannya negara ketiga pengguna satelit komunikasi setelah Amerika Serikat dan Kanada.

Selama 40 tahun sejak pertama kali Satelit Indonesia mengorbit pada 1976, tiga satelit gagal beroperasi secara penuh, yaitu Satelit Palapa B2 gagal mengorbit saat peluncuran, Satelit Palapa C1 yang hanya mampu beroperasi selama dua tahun karena masalah pengisian baterai, serta Satelit Telkom-3 yang hilang sebelum sampai pada orbitnya.

Jejak Indonesia di antariksa tak cuma satelit

Berkat keberhasilan-keberhasilan ini, KOMPAS pun menyebut bahwa 10 tahun lalu menjadi bukti bahwa Indonesia bisa menguasai teknologi satelit. Dan memang tidak bisa dipungkiri lagi, tidak cuma satelit, sejatinya sudah banyak anak bangsa kita yang berhasil menciptakan karya di bidang astronomi.

Kita bisa sebutkan, misalnya Prof. Dr. Mezak Arnold Ratag yang menemukan Planetary Nebula, yakni bintang seukuran matahari yang memasuki masa akhir hidupnya. Berkat kontribusinya ini, namanya pun diabadikan dalam planetary nebula. Ada sekitar 120 planetary nebula yang telah ditemukannya dan dipublikasikan melalui Observatorium Strasbourg.

Kemudian Dr. Johny Setiawan yang menjadi penemu planet HIP 13044b, HD 47536b, HD 11977b, HD 47536c, hingga TW Hydrae b. Menariknya lagi planet yang ditemukannya tak hanya berasal dari sistem tata surya galaksi Bima Sakti melainkan juga di luarnya.

Ilustrasi sistem bintang TW Hydrae (Foto: NAOJ)
Dr. Johny Setiawan (Foto: Dok. Pribadi)

Tahun 2012, Dr. Johny bersama dengan ilmuwan-ilmuwan dari Eropa berhasil menemukan sistem planet yang unik. Sistem keplanetan ini beranggotakan dua planet yang mengorbit bintang HIP 11952, masing-masing dalam waktu 7 dan 290 hari. Planet ini digadang-gadang merupakan planet tertua di alam semesta.

Bagaimanapun kita tidak boleh menutup mata bahwa nyatanya sudah banyak jejak karya anak bangsa di antariksa. Meminjam kutipan dari Presiden India tahun 2002-2007 Abdul Karim yang mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menguasai antariksa”, maka Indonesia punya peluang untuk menjadi bangsa yang lebih besar.

Namun, ada satu impian sebagian besar masyarakat Indonesia di lingkup astronomi dan antariksa, yakni menerbangkan astronot ke ruang angkasa. Apakah impian itu akan terwujud?

Juni 1986, tanggal 24, Indonesia sudah mengagendakan akan meluncurkan satelit Palapa ketiga bernama Palapa B3. Satelit ini juga sebagai pengganti satelit Palapa B2 yang gagal diluncurkan. Untuk meluncurkan Palapa B3, lantas badan antariksa Amerika, NASA melayangkan undangan kepada pemerintah Indonesia untuk mengirimkan satu astronot dari Indonesia.

Waktu itu, Pratiwi Sudarmono baru saja memperoleh gelar doktor di bidang biologi molekuler dari Osaka University, Jepang. Sehubungan dengan dilayangkannya undangan dari NASA itu, Universitas Indonesia kemudian meminta Pratiwi untuk segera mengirimkan proposal seleksi astronot tersebut. Tak lama kemudian, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan mengirim dua orang Indonesia untuk ikut serta dalam misi NASA yang bernama Space Shuttle STS-61-H tersebut: Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar.

Kebahagiaan Indonesia pun membuncah dengan kabar ini. Ya, Indonesia akhirnya akan menerbangkan astronot ke ruang angkasa! Bukan hanya di Indonesia, Pratiwi juga dicatat sebagai astronot wanita pertama di Asia yang akan bergabung dalam misi NASA. Dalam misi pelepasan satelit Palapa B3 ini, Pratiwi ditugaskan sebagai payload specialist, yakni orang yang dipilih melalui seleksi ketat dari berbagai organisasi riset untuk membantu NASA dalam misi mereka. Pratiwi bersama Taufik pun dikirim ke NASA untuk ikut pelatihan astronot di sana kurang lebih satu tahun lamanya.

Taufik Akbar dan Pratiwi Sudarmono (Foto: Wikipedia)

Januari 1986, lima bulan mendekati peluncuran misi Space Shuttle STS-61-H, sebuah peristiwa besar terjadi. Pesawat Challenger  yang akan melakukan misi kesepuluhnya, STS-51-L meledak setelah 73 detik meluncur dari bumi. Kejadian ini menewaskan tujuh awak pesawatnya. Kejadian ini menjadi pukulan besar bagi NASA dan akibatnya, setelah itu NASA harus membatalkan beberapa misi antariksanya termasuk misi yang akan dijalani Pratiwi.

Setelah menanti bertahun-tahun tentang kabar kepastian keberangkatan Pratiwi ke ruang angkasa, tahun 1997 diputuskan misi tersebut benar-benar dibatalkan lantaran adanya badai krisis moneter kala itu. Bukan tak ada aktivitas, selama kurun waktu hampir 10 tahun itu Pratiwi sebenarnya tetap melakukan cek kesehatan dan beberapa pelatihan keantariksaan di Amerika. Sayang sekali, impian terbang ke ruang angkasa itu gagal.

Kini, bisakah kita mengirim astronot lagi?


Astronot di ISS (Foto: NASA)

Kisah Pratiwi tadi mungkin memang kenangan yang pahit bagi bangsa Indonesia, namun Pratiwi optimis bahwa nanti suatu saat Indonesia bisa menerbangkan anak bangsanya ke antariksa karena sejak saat itu, menurut Pratiwi anak-anak muda Indonesia banyak yang antusias untuk menjadi astronot dan melakukan misi di antariksa.

Sinyal positif ini juga ditangkap oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) selaku lembaga yang punya peran di bidang aktivitas keantariksaan. Di kantor LAPAN Bandung, GNFI menyempatkan bertemu dengan Kepala Pusat Sains Antariksa, Dra. Clara Yono Yatini. Pada kesempatan itu, Clara bercerita bahwa sebenarnya kita tidak kekurangan gagasan untuk melakukan misi ke luar angkasa. Tahun 2016 lalu misalnya, LAPAN mendapat tawaran dari lembaga antariksa Jepang, JAXA untuk mengirimkan proposal percobaan dari para pelajar di Indonesia untuk dipraktikkan di stasiun ruang angkasa internasional atau International Spaceship Station (ISS).

"Tahun 2016 sudah ada, kami mengirimkan 5 proposal dan 1 diterima dari SMA Batam. Hanya proposal tidak dengan orangnya, nanti yang melakukan misi astronot Jepang di ISS. Ada beberapa yang dilakukan untuk percobaan di luar angkasa, tahun 2015 itu ada 5 proposal yang terpilih dari 5 negara. Tahun ini kami juga sudah mulai lagi mengumpulkan proposal-proposal dari pelajar untuk diseleksi dan di kumpulkan ke Jepang. Ada dua kategori SMA dan untuk mahasiswa, kemarin yang diterima JAXA itu dari SMA", jelasnya.

Namun, memang sejauh ini pemerintah Indonesia belum bisa mengirimkan manusia ke ruang angkasa karena hal itu perlu biaya yang sangat besar mulai dari segi infrastruktur sampai tahap persiapan manusianya sendiri. Clara menegaskan bahwa nanti orang Indonesia yang dikirim keluar angkasa harus mempunyai misi, seperti Malaysia yang terbang ke antariksa dan melakukan misi protein, misi sel dan mikroba di ISS.

"Jadi pertama yang harus kita punya misinya apa dulu. Kedua kita mau bekerjasama dengan siapa mau sama NASA atau Jepang, tapi prosedur detailnya saya belum tahu persis. Tapi harus dipikirkan dulu misinya apa", tegas Clara.

ISS yang menjadi jalan pintas

GNFI juga berbincang panjang soal ini dengan akademisi astronomi ITB, Doktor Hakim Luthfi Malasan. Ditemui di ruangannya di kampus ITB 22 Februari lalu, Hakim memberikan penjelasan secara akademis mengapa sampai sekarang Indonesia belum mengirimkan manusia ke antariksa.

Sebenarnya, bukan tidak mungkin Indonesia mengirimkan manusianya ke luar angkasa. Kita ingat-ingat lagi, setelah Pratiwi Sudarmono ada juga Rizman Adhi Nugraha yang tahun 2013 lalu jadi pemenang program AXE Apollo Space Academy dan ia berhak ikut melakukan misi melakukan perjalanan keluar angkasa. Sayangnya, sampai saat ini belum ada kabar terbaru kapan Rizman dan tim akan berangkat kesana. Pun kalau mau berhitung, Indonesia punya banyak penduduk yang lebih dari 60 persennya ada di jajaran usia produktif dengan tingkat kreativitas yang luar biasa, maka hal ini menjadi potensi yang sangat besar untuk Indonesia mewujudkan impian menerbangkan astronot.

International Space Station (ISS) (Foto: NASA)

Hakim pun mengakui, memang untuk menerbangkan astronot butuh biaya yang sangat amat besar, tapi menurutnya itu bukan hambatan utama. Ada ISS yang harus bisa kita manfaatkan.

"Kalau mau meluncurkan sendiri, ya harus siap juga lembaga penerbangannya. Tapi ISS itu sebenarnya adalah salah satu solusi, termasuk memotong anggaran. India butuh waktu yang sangat panjang sampai akhirnya mereka bisa menciptakan apa-apanya sendiri. Kita juga butuh waktu yang sangat panjang. Karena itu, agak nggak realistis kalau kita mencanangkan program space itu dengan cepat. ISS itu solusinya sebenarnya karena dia sudah punya misi mulia untuk memberikan kesempatan bagi seluruh dunia untuk melakukan eksplorasi antariksa. Tapi itu juga prosesnya nggak pendek", tegas Hakim.

Kita juga perlu paham apa itu ISS. Stasiun luar angkasa internasional ini memang sebuah proyek agung milik seluruh dunia, sifatnya konsorsium dari berbagai agensi antariksa seluruh dunia. Seperti kata Hakim, ISS punya misi yang sangat mulia karena di sini kita bisa bersama-sama memanfaatkan satu stasiun dalam satu program yang sama dan saling berkoordinasi di dalamnya. Hakim juga mengatakan bahwa ISS ini sangat menarik karena ia sangat terbuka kepada siapa saja untuk bisa merasakan pengalaman tinggal di ruang angkasa.


Nah, riset-riset yang dilakukan di ISS bukanlah riset yang kemarin dibuat proposalnya lantas dieksekusi di antariksa. Hakim menegaskan, riset yang dibawa ke ISS itu kebanyakan riset yang berjangka panjang yang ketika pulang lagi ke bumi belum tentu sudah ada hasilnya. Menurutnya lagi, program antariksa tidak bisa dilihat dengan kacamata bervisi pendek. Harus yang bervisi jauh ke depan dan segmennya luas.

"Kita lihat Jepang. Mereka pernah membuat misi riset menambang dari antariksa. Mereka punya misi eksplorasi Hayabuza, mengambil sampel material dari asteroid untuk dibuat tsunami wall dan jembatan di bumi. Itu bukan riset yang kemarin jadi lalu dibuat, itu sejatinya adalah penelitian 20-50 tahun lalu," kata Hakim.

Soal misi, Clara juga mengatakan hal senada bahwa ke antariksa itu tidak serta merta datang dan pergi. Yang menjadi tantangan untuk menerbangkan astronot adalah bagaimana membuat sebuah misi dan misi itu bisa bermanfaat entah untuk suatu negara atau seluruh dunia karena menurutnya membuat misi antariksa itu juga tidak mudah, harus benar-benar dipikirkan.

"The future is in the space"

Dr. Hakim Luthfi , Astronom ITB

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, LAPAN memang punya peran untuk melakukan kegiatan-kegiatan keantariksaan, tak menutup kemungkinan juga kalau sampai kepada mengirimkan manusia Indonesia ke luar angkasa. Namun, LAPAN kini masih berbenah menjadi lembaga antariksa yang fokus pada pengembangan teknologi-teknologi antariksa. Clara pun menyampaikan, bila merujuk pada UU Keantariksaan tersebut mestinya LAPAN punya peran untuk mengirimkan astronot.

"Tapi kalaupun itu nanti terlaksana, saya kira LAPAN pasti ikut berperan entah itu dalam koordiasi dengan badan antariksa lain maupun proses seleksi astronotnya. Yang penting ketika ingin mengirimkan astronot harus ada misi dulu, misalnya misi kesehatan meneliti parasit malaria di antariksa atau misalnya tentang tanaman pangan di mana astronot harus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian," tegas Clara.

Untuk mewujudkan cita-cita anak bangsa Indonesia menjadi astronot kita memang masih harus menapaki perjalanan yang panjang. Namun, Clara dan Hakim percaya bahwa suatu saat Indonesia akan benar-benar bisa mewujudkan impian itu. Clara bahkan mengatakan, "Saya kira perlu Indonesia mengirimkan manusia ke antariksa karena bukan tidak mungkin suatu saat kehidupan di luar angkasa menjadi biasa. Dulu kita juga tidak pernah berpikir pesawat terbang jadi hal biasa, tapi sekarang justru sebaliknya. Begitu pula dengan ruang angkasa, kita perlu ikut berperan mengembangkan penelitian mikrogravitasi."

Sedangkan menurut Hakim, pengiriman astronot Indonesia saat ini sudah seharusnya menjadi fokus, karena menurutnya, bagaimana pun masa depan ada di ruang angkasa.

"The future is in the space Jepang sudah mulai eksperimen menambang di ruang angkasa karena mereka sadar bahwa apa yang ada di Bumi suatu hari akan habis. Ini yang harus kita sadari juga,” ungkap Hakim.

Semua orang bisa jadi astronot

Pratiwi Sudarmono adalah seorang ahli mikrobiologi yang didaulat NASA untuk ikut melakukan misi Wahana Antariksa NASA bernama STS-61-H. Ia akan berlaku sebagai payload specialist di ruang angkasa. Rizman Nugraha adalah seorang praktisi IT yang memenangkan kompetisi AXE Apollo Space Academy. Dua anak bangsa ini menjadi sosok legendaris tanah air karena keduanya pernah mendapatkan tugas untuk melakukan misi keluar angkasa meski belum terwujud. Namun, Pratiwi dan Rizman memberikan petunjuk pada kita bahwa sebenarnya siapa pun bisa jadi astronot.

Hakim menegaskan, astronot tidak sama dengan astronom. Astronot adalah penumpang maupun pilot wanaha antariksa. Ia tidak harus astronom karena tugasnya adalah mengendalikan wahana antariksa dan menjadi peneliti di ruang angkasa. Sementara itu, astronom adalah ilmuwan yang melakukan misi pendidikan dan penelitian terkait astronomi. Astronot yang melakukan misi ke antariksa bisa saja dokter, seperti Pratiwi atau ahli-ahli biologi.

Latar belakang pendidikan bukan jadi syarat utama untuk menjadi astronot. Menurut Clara pula, semua bidang pendidikan bisa ikut melakukan misi di luar angkasa karena toh nanti misinya dilakukan sesuai dengan bidang pendidikan yang risetnya sudah dimatangkan terlebih dulu di bumi. Di luar angkasa nanti ia tinggal melakukan risetnya sesuai dengan prosedur yang ada. Dan hal yang paling penting untuk menjadi astronot, kembali lagi, adalah masalah kesehatan baik fisik maupun psikis.

"Yang saya tahu dari astronot-astronot Jepang, kriterianya yang paling penting kesehatan karena ketika orang di mikrogravitasi akan terjadi osteophorosis (penyusutan tulang) dan ini berakibat pada penurunan daya tahan tubuh," jelas Clara.

Pratiwi Sudarmono

Fenomena ini pun dialami oleh Sheikh Muszaphar Shukor. Astronot Malaysia pertama yang ikut misi di ISS tahun 2007 silam ini bercerita ke Dr. Hakim ketika ia berada di luar angkasa. Ia sendiri sebelum terbang harus melakukan pelatihan dan persiapan selama 2 tahun. Kemudian ketika berada di antariksa pun ia masih harus menyesuaikan diri.

"Dia juga cerita bagaimana ketika melaksanakan sholat, ia harus mengikat dirinya dulu supaya nggak terbang-terbang. Belum lagi menentukan arah kiblat. Kemudian kalau secara fisiologis bakteri dalam tubuh itu mati sehingga dia ke toilet cuma seminggu sekali, dan ia merasa tulang-tulangnya tumbuh nggak keruan karena di bumi kan tulang tumbuh dipengaruhi oleh gravitasi," kata Hakim menceritakan pengalaman Sheikh Muszaphar ketika di luar angkasa.

Yang jelas, Hakim juga menegaskan bahwa Indonesia punya banyak "mutiara", anak-anak bangsa yang cemerlang pemikirannya. Sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bila Indonesia mau komitmen menerbangkan astronot setidak-tidaknya ke ISS.



* * *

Tim Penyusun

Editor & Penulis

Arifina Budi


Videographer & Video Editor

Febriansyah Tri Prasetyo


Kreatif

Juang M Nugraha

Aldila Dwiki Himawan

Muchamad Dwi Roma Nursita


Teknologi

Achmad Agus Salim

Yufi Eko Firmansyah



© 2017 Good News From Indonesia