* * *

Sejak akhir abad ke-18, para astronom dunia sudah mencatat bahwa kawasan Kepulauan Melayu adalah tempat terbaik untuk melakukan pengamatan benda-benda langit, tak terkecuali Indonesia. Hal ini karena letak geografis yang sangat strategis dengan kondisi cuaca yang selalu mendukung untuk melakukan pengamatan benda-benda langit.

Jauh sebelum Observatorium Bosscha berdiri, di Indonesia (Hindia Belanda kala itu) pernah ada observatorium yang didirikan di Batavia. Ialah yang sebenarnya menjadi observatorium tertua di Nusantara. Sayang sekali ia hanya bertahan selama satu dekade, setelah itu hilang dan hampir tanpa sisa.

Namun, dari observatorium tersebutlah kisah-kisah pengetahuan astronomi di Indonesia bermula. Kisah itu berlanjut sampai sekarang, yakni melalui komitmen LAPAN dan para astronom tanah air untuk membangun observatorium baru yang lebih besar, megah, dan modern.

Jauh sebelum Observatorium Bosscha hadir di Nusantara, sudah pernah ada satu observatorium yang berdiri kokoh. Sayang, usianya tak begitu lama dan bangunannya hancur akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1780. Namun, observatorium inilah yang menjadi jalan penerang dalam dunia astronomi di Indonesia. Ia adalah Observatorium Mohr.

* * *

Pada abad ke-18, para astronom tengah merundingkan penentuan jarak rata-rata antara Bumi dengan Matahari. Hal ini dirasa perlu ditemukan untuk merujuk pada sistem heliosentris yang dikemukakan oleh Copernicus waktu itu. Kemudian sekitar tahun 1716, Edmund Halley mengajukan ide untuk memecahkan misteri ini, yakni dengan mengamati transit Venus yang akan terjadi di tahun 1761 dan 1769. Ia pun membuat pemetaan tempat yang tepat untuk mengamati transit Venus ini. Hasilnya menunjukkan, Kepulauan Malaya menjadi tempat terbaik.

Dari sinilah kemudian Mohr dikenal sebagai seorang astronom dan tahun 1765 ia mulai membangun observatorium sendiri. Di atas tanah warisan mertuanya di Mollenvliet (sekarang Glodok, Jakarta Barat), gedung ini bersebelahan dengan vihara Kim tek I atau Cin te Yuen yang kini dikenal dengan vihara Dharma Bakti, Glodok.

Lukisan bangunan Observatorium Mohr tampak dari timur dan utara (Sumber: Zuidervaart & Gent, 2004)

Melihat lukisan bangunannya, bentuk Observatorium Mohr tidak sama dengan bentuk Observatorium Bosscha. Gedung ini terdiri dari enam lantai dengan puncak atap datarnya setinggi 30,5 meter dari permukaan tanah dan menjadi bangunan tertinggi di Batavia kala itu. Pun gedung ini menjadi gedung yang amat megah hingga jadi perbincangan dunia internasional.

Observatorium Mohr dilengkapi dengan instrumen astronomi terbaik pada masanya. Beberapa di antaranya adalah jam astronomik setinggi 180 cm dengan lebar 43 cm, sepasang globe berdiameter 60 cm, kuadran astronomik berdiameter 60 cm, mesin paralaktik, teleskop sepanjang 550 cm, pluviometer atau alat pengukur curah hujan, serta kompas. Dengan instrumen-instrumen tersebut, Mohr aktif melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi.

Pada 3 Juni 1769 Mohr melakukan pengamatan transit Venus kembali. Lalu pada 10 November 1769 ia melakukan pengamatan transit Merkurius, serta pengamatan planet Jupiter dan satelit-satelitnya. Hasil pengamatannya ini berhasil dipublikasikan dalam tulisan Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769 di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.

Sepuluh tahun yang berharga

Observatorium Mohr mulai beraktivitas pada 1765. Namun, karena tidak ada regenerasi, aktivitas observatorium harus berhenti pada tahun 1775 ketika Mohr wafat. Setahun kemudian istri Mohr menjual instrumen observatorium kepada Johanes Hooijman dalam kondisi yang cukup rusak akibat tingginya kelembaban udara di Batavia. Hooijman kemudian mengirimnya kembali ke Belanda untuk diperbaiki dan sekarang sejumlah instrumen itu diabadikan di beberapa museum di Belanda.

Observatorium Mohr pada akhirnya harus kehilangan kemegahannya lantaran luluh lantak akibat gempa Bumi yang terjadi pada tahun 1780. Konon, gempa ini telah menghancurkan sebagian besar wilayah Batavia. Gedung Observatorium Mohr sendiri hanya tersisa pondasinya dan setelahnya tidak ada lagi yang mengurus.

Pada Mei 1782 istri Mohr wafat dan semakin tak terdengar dengungnya akan keberlanjutan observatorium ini. Sisa-sisa bangunan observatorium kemudian dijual dan tahun 1784 kepemilikannya jatuh ke tangan Willem Vincent van Riemsdijk dan mengubahnya menjadi bangunan penginapan murah. Beberapa tahun kemudian bangunan ini ditutup oleh Jenderal Daendels dan mengubah fungsinya menjadi barak tentara.

Lukisan Rach dengan latar Jalan Mollenvliet Barat (sekarang Jalan Gajah Mada) yang turut menampakkan bangunan Observatorium Mohr (Foto: Zuidervaart & Gent 2004)

Aktivitas Observatorium Mohr bisa dibilang hanya berlangsung selama 10 tahun. Namun keaktifan Mohr melakukan pengamatan benda-benda langit telah menginspirasi para astronom di Eropa untuk melakukan gerakan saintifik dan terbentuklah Batavia Society of Arts and Sciences (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada tahun 1778

Satu abad lebih sejak gempa bumi yang hebat itu, tepatnya pada 12 September 1920 para astronom di Hindia Belanda melakukan pertemuan khusus di Hotel Homann. Dari pertemuan itu dibentuklah Komunitas Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Pembentukan komunitas inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Observatorium Bosscha, observatorium tertua yang kita miliki saat ini.

Siapa tak kenal dengan bangunan yang unik itu? Berwarna putih dengan atap berbentuk kubah yang juga putih warnanya, berdiri kokoh di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, seringkali kita sebut dengan Bosscha. Bangunan ini bukan rumah, bukan pula candi, melainkan salah satu rumah teropong yang ada di kawasan Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung. Di dalamnya ada sebuah teleskop besar bernama Refraktor Ganda Zeiss yang dibuat di Jerman, khusus untuk meneliti bintang ganda.

Dulu, observatorium yang paling abadi di Indonesia ini bernama Bosscha Sterrenwacht yang dibangun dan dikelola oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda pada tahun 1923.

Kepala Observatorium Bosscha Mahasena Putra berbagi ceritanya kepada GNFI bagaimana Bosscha berkembang sampai saat ini. Pendiri tempat peneropongan bintang ini adalah Karel Albert Rudolph Bosscha, seorang pengusaha kaya raya yang punya perkebunan teh di daerah Pangalengan, Jawa Barat. Pada tahun 1920-an, Bosscha termasuk orang yang berpengaruh bagi masyarakat Indonesia.

“Ia sendiri sebenarnya bukan astronom, namun nenek moyangnya adalah ilmuwan sehingga ia mendapat pesan dari para leluhurnya untuk memajukan sains,” Mahasena mengawali ceritanya kepada kami.

Observatorium Bosscha dibangun oleh NISV dilatarbelakangi dari kesadaran para astronom bahwa bintang-bintang ternyata terikat satu sama lain dan membentuk sistem galaksi. Dari sini lantas muncul keinginan mereka untuk membangun teleskop besar di belahan Bumi selatan karena pada awal abad ke-20 tersebut teleskop berukuran besar hanya ada di belahan Bumi utara, tepatnya di kawasan Eropa dan Amerika Utara.

Ide untuk membangun observatorium di Hindia Belanda ini lantas tercetus dari astronom kelahiran Madiun, Joan George Erardus Gijsbertus Voute. Ia juga bersahabat karib dengan Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven. Akhirnya mereka berinisiatif membangun observatorium Bosscha ini di kawasan Lembang. Bosscha pun menjadi observatorium yang diapit oleh observatorium Afrika Selatan dan Australia.

Aktivitas Bosscha


Mulanya, Observatorium Bosscha dikelola secara swasta oleh NISV. Mereka yang tergabung dalam organisasi astronom Hindia Belanda ini bersama-sama menyalurkan uangnya untuk membangun observatorium. Bosscha dan Voute yang bukan astronom pun mempekerjakan para astronom dari Belanda untuk menjalankan observatorium ini, tepatnya dengan menggandeng Observatorium Leiden.

Bosscha baru beroperasi pada tahun 1925 dan aktivitasnya kala itu seperti pada kesadaran awal para astronom, yakni pengamatan bintang-bintang ganda di ruang angkasa. Jadi, sebenarnya bintang yang ada di ruang angkasa sana lebih banyak yang tidak sendiri, tapi ada yang ganda di mana keduanya pergerakannya saling mengikuti satu sama lain. Untuk mengamatinya, Bosscha memesan teleskop dari perusahaan optik ternama di Jerman, Carl Zeiss Jena. Teleskop bernama Refraktor Ganda Zeiss yang menjadi teleskop terbesar di Observatorium Bosscha ini kemudian mulai dioperasian pada 1928.

Seiring banyaknya peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti kedatangan tentara Jepang ke Indonesia hingga kejadian pada tahun 1965, Mahasena mengisahkan hal ini berpengaruh terhadap aktivitas-aktivitas di Bosscha.

"Tahun 1942 Jepang datang lalu perang, aktivitas di sini belum lancar juga. Di dekat rumah teropong yang besar sana pernah ada bom jatuh, untungnya nggak sampai merusak. Sesudah itu Indonesia merdeka, lalu ada kejadian lagi tahun 1965. Kala itu direkturnya Pak Thé Pik Sin yang keturunan Tionghoa, beliau kena pengaruh kejadian itu jadi pindah ke Belanda sampai sekarang, lalu setelah itu diteruskan oleh orang Indonesia, Pak Bambang Hidayat. Dari situ mulai berkembang semuanya," kisah Mahasena ketika ditemui GNFI di perpustakaan Bosscha, Kamis 23 Februari 2017.

Berdirinya Observatorium Bosscha menjadi tonggak kemajuan astronomi Indonesia. Tepatnya pada tahun 1951, ketika kondisi Indonesia mulai agak stabil, van Albada selaku direktur observatorium kala itu kembali ke Bosscha dan menghidupkan lagi aktivitas di observatorium. Van Albada yang juga sebagai dosen astronomi ITB waktu itu diangkat menjadi profesor kemudian menyerahkan pengelolaan obsevatorium ke pemerintah Indonesia. Tahun tersebut juga oleh beberapa ilmuwan dijadikan sebagai patokan berdirinya jurusan astronomi.

Dan sebagai satu-satunya observatorium besar di Indonesia (saat ini), tahun 2004 Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pemerintah Indonesia yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 pemerintah Indonesia juga menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital Nasional.

GNFI juga diajak berkeliling sekitaran Observatorium Bosscha oleh staf Bosscha, Yatny Yulianty. Ia banyak bercerita tentang observatorium satu-satunya dan yang tertua di Indonesia ini mengenai ragam aktivitas hingga jumlah teropong yang dimiliki Bosscha.

"Jadi setiap teropong di sini punya rumah masing-masing. Kalau yang paling tua dan terbesar itu adalah teropong Refraktor Ganda Zeiss yang dipasang tahun 1928 yang ditaruh di bangunan yang berkubah itu. Lalu diluar ada teropong Schmidt yang khusus untuk meneropong planet," kata Yatny ketika kami berbincang di rumah teropong Refraktor Ganda Zeiss.

Teleskop Refraktor Ganda Zeiss menjadi teleskop terbesar dan tertua yang ada di Bosscha. Teleskop ini digunakan untuk mengamati bintang-bintang ganda (Foto: Febriansyah/GNFI)

Sebagai sebuah observatorium tentu saja Bosscha punya aktivitas melakukan penelitian-penelitian astronomi. Yang melakukannya pun tak cuma para astronom dari ITB melainkan juga mahasiswa-mahasiswa astronomi ITB. Namun, seiring dengan animo masyarakat yang makin tinggi untuk mempelajari astronomi, kemudian Bosscha pun membuka juga program kunjungan dari masyarakat umum.

"Ini juga sebagai bentuk Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat. Ya, karena observatorium Indonesia cuma ada di sini maka kami juga harus membuka ini untuk umum," kata Yatny.

Setidaknya tahun 2016 lalu tercatat Bosscha menerima 50.000-60.000 pengunjung, itupun sudah dibatasi karena pengelola Bosscha juga perlu tegas bahwa Bosscha bukanlah tempat wisata melainkan tempat peneropongan bintang dan penelitian-penelitian astronomi. Adapun pembatasan yang dilakukan oleh Bosscha dimulai dari aturan bahwa para pengunjung harus melakukan reservasi terlebih dahulu hingga pada pengelolaan waktu kunjungan.

"Kami bagi menjadi dua macam kunjungan, siang dan malam. Ini harus kami batasi karena kalau tidak nanti bisa jadi nggak karuan," jelas Yatny.


Mari berhitung sebentar...

Observatorium Bosscha dibangun pada tahun 1923. Itu artinya, enam tahun lagi Bosscha sudah berusia 100 tahun. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya ilmu-ilmu astronomi khususnya di Indonesia, sudah saatnya Indonesia memiliki observatorium baru dan perguruan-perguruan tinggi yang mendalami bidang astronomi. Soal observatorium, bukan soal usia bangunan maupun infrastruktur di dalamnya, namun Mahasena mengungkapkan pusat pengamatan ruang angkasa memang sudah saatnya dipindahkan.

"Sekarang ini tantangannya di Bosscha adalah polusi cahaya. Tidak bisa dipungkiri ya, Lembang ini memang tempat yang komersil, bangun hotel di sini pasti laku. Maka pembangunan di Lembang semakin berkembang. Masalah polusi cahaya sebenarnya sudah dirasakan oleh astronom sejak tahun 1970-an ketika kawasan ini mulai berkembang," katanya.

Maka, para astronom dari ITB mengusulkan kepada pemerintah melalui LAPAN untuk membangun observatorium baru. Mereka sudah melakukan riset mendalam, mana wilayah yang tepat untuk dibangun observatorium.

"Kita pilih yang tempatnya itu punya jumlah malam yang cerah, artinya tidak banyak awan. Lalu berdasarkan penelitian kami, ternyata Indonesia di bagian barat itu awannya banyak sekali sedangkan di daerah timur jumlahnya sedikit. Maka, dipilihlah tempat di Nusa Tenggara Timur sana," demikian Mahasena menceritakan penetapan tempat observatorium baru yang akan dibangun di tanah seluas 30 hektar itu.

Kawasan Hutan Lindung Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur dipilih sebagai tempat berdirinya observatorium baru karena memiliki malam yang cerah sehingga sangat baik untuk pengamatan bintang (Foto: LAPAN)

Meski diajukan oleh ITB, namun nantinya observatorium baru ini sifatnya nasional yang akan dipegang kendalinya oleh LAPAN. Ini juga berarti observatorium baru tersebut boleh diakses oleh semua masyarakat Indonesia untuk melakukan penelitian dan pengamatan-pengamatan astronomi. Mahasena mengatakan pihaknya sudah membuat masterplan bahwa nantinya di kawasan Kupang yang menjadi tempat berdirinya observatorium baru akan dibangun juga pusat sains. Untuk masyarakat umum nantinya bisa melakukan studi astronomi di pusat sains yang berada di Kabupaten Kupang, sementara untuk aktivitas-aktivitas penelitian astronomi akan dilakukan di observatorium.

Kepala Pusat Sains dan Antariksa LAPAN, Clara Yono Yatini juga menjelaskan bahwa sejauh ini pembangunan observatorium baru masih dalam tahap perizinan. "Saya harap tahun 2017 ini proses persyaratan perizinan sudah selesai, jadi paling tidak akhir tahun pembangunan bisa dimulai," ungkap Clara kepada GNFI.

Dari pihak LAPAN sendiri sekarang masih menginkubasi teleskop yang akan dipasang di observatorium baru. Clara mengatakan, nanti di sana akan dipasang teleskop besar dengan ukuran diameter 3,8 meter yang akan jadi ikon observatorium. Sebagaimana Observatorium Bosscha yang juga punya teleskop ikonik bernama Refraktor Ganda Zeiss yang berdiameter 60 sentimeter.

"Untuk yang akan dibangun di Kupang yang diameter 3,8 meter itu sistemnya bukan tabung. Bentuknya bukan seperti yang di Bosscha melainkan pakai rangka-rangka. Kalau membayangkan yang di Bosscha itu saja sudah besar, kan.. tapi nanti ketika melihat yang 3,8 meter itu tidak sebesar itu karena menggunakan rangka," jelas Clara.

Tidak hanya teleskop besar, Clara juga mengungkapkan nantinya di observatorium baru juga akan dipasang teleskop-teleskop kecil. Saat ini ada beberapa teleskop kecil yang masih berada di LAPAN. Bila izin pembangunannya sudah keluar nanti baru dibawa ke lokasi.


Lalu bagaimana dengan Observatorium Bosscha?

Clara dan Mahasena menegaskan bahwa Bosscha masih akan tetap melakukan aktivitas pengamatan benda-benda langit, namun fokusnya lebih pada pendidikan. Sedangkan yang di Kupang nanti akan menjadi pusat penelitian-penelitian astronomi yang memerlukan resolusi tinggi karena faktor wilayah yang memiliki malam cerah.

"Bosscha masih tetap dipakai untuk pendidikan, tapi untuk penelitian lebih jauh tidak mungkin di Bosscha, bisa dilakukan di Kupang," kata Clara.

Pun sebagai laboratorium praktik bagi mahasiswa astronomi, di Sumatera juga akan dibangun observatorium yang terintegrasi dengan Institut Teknologi Sumatera (Itera). Bekerja sama dengan ITB, Itera akan membangun Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL) di kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman, Gunung Betung, Lampung.

Dikutip dari situs resmi Itera, Rektor Itera Prof. Ir. Ofyar Z. Tamin, M.Sc., Ph.D mengungkapkan kalau nanti terealisasi, observatorium ini akan menjadi observatorium yang kedua. Katanya, selain sebagai pusat observatorium teropong bintang, OAIL juga bisa menjadi tempat wisata edukasi. Pembangunan ini juga dilatarbelakangi animo masyarakat yang semakin tinggi untuk mempelajari astronomi sehingga perlu rasanya Indonesia mengembangkan banyak observatorium di berbagai kawasan di Indonesia.


Tim Penyusun

Editor & Penulis

Arifina Budi


Videographer & Video Editor

Febriansyah Tri Prasetyo


Kreatif

Juang M Nugraha

Aldila Dwiki Himawan

Muchamad Dwi Roma Nursita


Teknologi

Achmad Agus Salim

Yufi Eko Firmansyah



© 2017 Good News From Indonesia