TEATER BONEKA UNTUK SEMUA

Ketika Gaya Baru Berkolaborasi dengan Gaya Lama




* * *

Indonesia, negeri dengan ragam seni yang tak terhitung jumlahnya, punya banyak andil pula dalam mengembangkan seni tutur dan peran hingga mendapat apresiasi dalam skala internasional. Kita bisa sebut wayang sebagai salah satu legenda dalam seni tutur Indonesia. Keunikan pertunjukannya yang menggunakan medium bayangan menjadikan wayang sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur oleh UNESCO (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tahun 2003.

Selain wayang, Indonesia juga sempat punya budaya mendongeng dengan medium boneka untuk menggambarkan peran-peran dalam cerita yang didongengkan. Nah, seiring berjalannya waktu, anak-anak Indonesia semakin asing dengan dua hal ini. Namun, demi meneguhkan pelestarian budaya Indonesia dalam bertutur ini, kami akan bercerita sedikit mengenai dua kelompok seni tutur yang mengolaborasikan seni tradisi dengan seni kontemporer agar bisa dinikmati oleh anak-anak masa kini.

Wayang Bocor dan Boneka Papermoon merupakan dua hal yang berbeda namun satu padu dalam seni bertutur. Mereka menggabungkan seni kontemporer dan media boneka sebagai sarana untuk bercerita, menyampaikan pesan yang pelaku seni ingin sampaikan.

Jika selama ini seni pertunjukan yang menggunakan boneka di Indonesia selalu  identik dengan wayang, Papermoon Puppet Theater justru hadir dengan konsep dan bentuk yang berbeda. Puppet bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya memang wayang. Merujuk pada definisi puppet menurut kamus Oxford, artinya adalah sebuah model manusia atau hewan yang digerakkan menggunakan tali atau tangan. Namun, teater boneka asal Yogyakarta satu ini ingin mendobrak definisi itu. Puppet sebenarnya tidak harus wayang, puppet adalah boneka.

Dengan cara yang berbeda,  Papermoon Puppet Theatre memperkenalkan Indonesia pada dunia terlepas dari apa yang nampak di mata dan terdengar di telinga, seperti keindahan gunung, gerak-gerik budaya, hingga etnik-etnik musik. Di setiap pertunjukannya, Papermoon membawa penonton tak sekadar duduk tenggelam larut dalam pertunjukkan kemudian dalam sekejap menyadari apa itu Indonesia.

“Bukan sekadar duduk lima menit nonton pertunjukkan dan tahu, ‘oh ini Indonesia’. Sudah bukan saatnya lagi dunia tahu Indonesia hanya dari corak ragam batiknya saja, that’s not enough,” kata  Maria Tri Sulistiyani, penggegas Papermoon Puppet Theater.

Tak seperti bentuk teater pada umumnya yang memiliki aktor tetap berwujud manusia, teater boneka hadir menyuguhkan keunikan. Aktor yang tampil, tentunya berupa boneka, selalu memiliki wujud yang berbeda dalam setiap pentas dan penuh dengan kejutan, pentasnya pun tak melulu di atas panggung.

Papermoon bermula dari sebuah perpustakaan lalu menjadi sebuah sanggar teater boneka
(Foto: Arifina Budi/GNFI)

Perempuan yang akrab disapa Ria ini memiliki semangat yang tinggi dalam menggaungkan Papermoon Puppet Theater, sebuah teater boneka sebagai alternatif bentuk seni pertunjukkan yang berbeda.

“Di Indonesia nggak ada kelompok teater boneka yang melakukan hal yang sama. Kalau pun ada, puppet theater jatuhnya selalu  ke wayang. Sedangkan logika puppet theater dan wayang itu sangat berbeda,” kata Ria.

Papermoon Puppet Theater merupakan sebuah teater boneka dengan segmentasi segala usia yang lahir atas kegelisahan Ria. Ia melihat dunia pendidikan dan seni di Indonesia terutama pada anak-anak lebih fokus pada pengajaran untuk meniru, bukannya berani bereksperimen mencoba hal-hal baru.

Awalnya, Papermoon bukan teater boneka. Tepatnya tahun 2006, Ria mendirikan Papermoon sebagai sebuah sanggar anak-anak yang menjadi sarana eksperimental seni rupa dan seni pertunjukan. Papermoon kala itu kerap membuat pentas kecil untuk anak-anak. Seiring berjalannya waktu, terlebih setelah terjadinya gempa di Yogyakarta, terjadi evolusi besar  pada Papermoon. Semua relawan yang tergabung kemudian kembali pada rutinitasnya masing-masing. Hanya menyisakan Ria dan Iwan Effendi, seorang perupa.

Ria yang menyukai seni pertunjukkan dan seni rupa, bersama kekasihnya yang kini menjadi suaminya, Iwan, mencoba mencari wadah yang bisa mengeksplorasi keduanya hingga terbentuklah format teater boneka.

Dengan niat menekuni karir sebagai seniman, keduanya membuat sebuah teater boneka yang lain daripada lainya. Sebelumnya, konsep teater boneka memang  sudah terbentuk, namun masih berupa pertunjukan hand puppet untuk anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, Papermoon pun semakin mengalami kematangan. Sanggar anak-anak menjadi bukan kata yang tepat lagi untuk menggambarkannya. Dari sini lah asal mula Papermoon Puppet Theatre lahir. Bukan untuk anak-anak, melainkan untuk  segala usia, terlebih dewasa.

Boneka Papermoon dibuat dengan menggunakan bahan dasar kayu dan kertas. Setiap pentas mereka punya cerita tersendiri sehingga boneka yang dipentaskan pun berbeda-beda
(Foto: Arifina Budi/GNFI)

Tahun 2008, pentas pertama yang ditujukan untuk kalangan dewasa 18+ pun digelar dengan judul Noda Lelaki di Dada Mona, menceritakan tentang seorang gadis bernama Mona pemilik laundry baju yang jatuh cinta pada pelanggannya, dengan latar Indonesia tahun 1960-an.

Sejak saat itu arah Papermoon benar-benar berubah. Perspektif yang berbeda didapatkan Ria dan Iwan saat kedua sejoli itu bertemu dengan seniman boneka lain, saat keduanya menerima beasiswa di New York.

Mencari arah teater boneka

Mereka yang awalnya meraba tentang konsep teater boneka pun tersadar, jika teater boneka ialah bentuk seni yang penuh dengan kejutan. Mata kedua orangtua dari pria kecil bernama Lunang Pramusesa ini seolah terbuka,  teater boneka tak melulu identik dengan anak-anak, pun dalam ranah edukasi saja.

“Beberapa kali Papermoon mengadakan workshop dan digunakan untuk mendongeng di kelas, selalu jatuhnya di bidang edukasi anak-anak. Padahal bisa, lho, orang dewasa dihadapkan dengan medium ini. Dan mereka pun suka,” kata perempuan mungil alumnus Ilmu Komunikasi UGM ini.

Baginya, teater boneka adalah media yang efektif sekaligus menyenangkan untuk menyampaikan pesan sehingga  bisa diterima oleh siapa saja, bahkan oleh orang dewasa sekalipun.

Boneka milik Papermoon sangatlah unik. Lain dengan boneka tangan yang kerap dilihat di pertunjukkan anak-anak, lain pula dengan pementasan bonekanya Indonesia yang khas dengan wayang. Boneka-boneka milik Papermoon terbuat dari kayu dan adonan kertas. Setiap sambunganya pun diberi sendi-sendi agar dapat digerakkan dengan bebas. Mereka terinspirasi dengan teknik yang dipakai oleh boneka bunraku dari Jepang.

"Mwathirika" adalah salah satu pentas Papermoon yang mendapatkan banyak apresiasi. Ceritanya berlatar belakang peristiwa di tanah air pada tahun 1965 yang dipentaskan pada tahun 2010
(Foto: Dokumentasi Papermoon puppet theatre)

Tak muluk-muluk, cerita yang diangkat dalam setiap pementasan pun adalah cerita sederhana yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari. Meski begitu, pertunjukkan dari teater  boneka ini terasa sangat mewah dengan paduan pencahayaan dan musik yang mengiringi.

“Bukan sekadar duduk lima menit nonton pertunjukkan dan tahu, ‘oh ini Indonesia’. Sudah bukan saatnya lagi dunia tahu Indonesia hanya dari corak ragam batiknya saja, that’s not enough

-Maria Tri Sulistiyani, Papermoon

Hal unik lainnya, teater boneka yang telah berusia 11 tahun ini selalu membawa pesan tanpa kata-kata, tanpa dialog secara verbal. Dalam pentasnya, bahasa yang mereka gunakan ialah gerak detail gestur boneka, yang memang lebih universal juga dapat dimengerti manusia belahan dunia manapun. Sehingga emosi dari cerita yang beragam pun akan tersampaikan, meskipun tanpa kata-kata. Memainkan bonekanya pun tak mudah. Pemain yang juga merupakan kreator dari boneka tersebut harus mentransfer emosinya pada boneka yang nihil ekspresi tersebut.

Papermoon selalu mencoba hadir secara personal dan intim dengan penonton. Pertunjukkan skala kecil pun mereka pilih, dengan jumlah penonton yang terbatas.  Bagi mereka, pentas ini bukan soal kuantitas, melainkan kualitas.

Dalam setiap pertunjukkan, kelompok teater yang telah berkeliling dunia ini tak hanya menyajikan pentas kemudian menyudahinya begitu saja. Tak seperti teater lainnya, mereka selalu merangkul penonton naik ke atas panggung. Bukan untuk sekadar narsis berfoto, melainkan interaksi lebih lanjut agar penonton dapat mengetahui rahasia dapur juga proses dibalik pentas megah yang telah ditampilkan.

“Pertunjukkan kami bukan seperti band yang bisa ditonton ribuan orang. Kami memilih membuat pertunjukkan dengan limited audiens, karena bukan masalah kuantitas tapi adalah kualitas, dan  bonekanya Papermoon itu lebih enak dilihat detailnya secara lebih dekat,” pungkas Ria.

* * *

Wayang memang sudah menjadi salah satu pesona Indonesia yang diakui oleh dunia. Perlu kita ingat bahwa wayang pada tahun 2003 telah ditetapkan juga sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur oleh UNESCO (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sayangnya, semakin majunya zaman, semakin sedikit orang yang punya ketertarikan dengan wayang terutama anak-anak muda.

Dari kegelisahan ini, perupa kondang asal Yogyakarta, Eko Nugroho memiliki keinginan untuk mewujudkan seni rupa agar bisa dipentaskan. Pria yang menyukai wayang kulit sejak kecil inipun punya ide untuk memadukan seni wayang tradisional dengan seni rupa yang digelutinya. Sederhananya, ia ingin membuat satu karya berbasis wayang kulit dengan menciptakan karakter unik yang bisa divisualisasikan seperti pertunjukan wayang.

Namun, pertunjukan wayang tentu bukanlah petunjukan tunggal yang bisa digarap seorang diri. Untuk mewujudkan impiannya itu Eko perlu berkolaborasi dengan seniman dari berbagai disiplin seni pertunjukan seperti sutradara, manajer produksi, penulis naskah, artistik, hingga aktor. Eko pun menjalaninya perlahan mulai tahun 2008 dengan membuat Wayang Bocor.

Kini bersama dengan empat orang lain dalam tim inti yang memiliki latar belakang seni pertunjukan, Eko mengeksplorasi ide pentas wayang dengan konsep baru dari awal hingga diwujudkannya di atas pangung. Kolaborasi ini dilakukan untuk memunculkan estetika baru dalam pertunjukan wayang kontemporer yang baru dan segar dari Indonesia.

Tak hanya melalui kelir besar, Wayang Bocor juga menampilkan wayang kreasinya menggunakan kelir kecil yang diperagakan oleh aktor
(Foto: dokumentasi Wayang Bocor)

Konsep yang asik ditonton

Wayang dalam bahasa Jawa memiliki makna “bayangan” yang berarti penonton dapat menonton wayang dari belakang kelir atau bayangannya saja.  Wayang tradisi  biasanya menyuguhkan pertunjukan yang cenderung membosankan dan durasinya lama sekali. Namun, hal ini oleh Wayang Bocor disulap menjadi suguhan seni yang asyik dan unik untuk ditonton. 

Pertunjukan Wayang Bocor merupakan kolaborasi dari kultur pertunjukan wayang kulit Jawa dengan kultur kekinian. Hal ini nampak dari bentuk karakter wayangnya yang menyesuaikan dengan cerita yang ditampilkan. Tokoh wayang tidak lagi menggunakan tokoh pakem seperti wayang tradisi, melainkan figur-figur yang diciptakan dari sensivitas imajinasi Eko Nugroho. Kemunculan aktor wayang Punakawan dalam wujud manusia yang bermain di depan layar dihadirkan layaknya pertunjukan teater.

Kelir yang dihadirkan juga bisa lebih dari satu dengan berbagai bentuk, tidak melulu persegi panjang. Selain itu elemen baru seperti musik dan lampu juga dihadirkan sebagai eksplorasi kehadiran aktor di panggung. Dalang pun dalam Wayang Bocor masih diperlukan walaupun perannya tidak sebesar peran dalang dalam wayang tradisi.

Meski cerita yang diangkat adalah kisah-kisah kehidupan masa kini dan tokoh wayangnya adalah tokoh yang dibuat sendiri oleh Wayang Bocor, namun setiap pentasnya Wayang Bocor tetap menampilkan tokoh wayang tradisi seperti Punakawan (Foto: dokumentasi Wayang Bocor)

Pada bulan Januari lalu GNFI berkesempatan silaturahmi ke sanggar latihan Wayang Bocor dan berbincang dengan manajernya, Ratri Kartika Sari. Menurut Ratri, konsep pertunjukan boneka kolaboratif ini bisa dibilang merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia. 

“Aku pikir kita memang satu-satunya seni khususnya di pertunjukan yang mengeksplorasi dan mengontemporerkan dari adaptasi seni wayang kulit ya, khususnya di Indonesia,” kata Ratri.

Meski sempat ragu untuk memperkenalkan seni wayang kontemporer di tengah masyarakat, namun pengalaman pentas keliling di empat desa Yogyakarta, yaitu Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Sleman menjadi pembuktian yang tak terduga.

Pandangan masyarakat yang kala itu menganggap bahwa pertunjukan Wayang Bocor bakal seperti pertunjukan wayang kulit biasanya, nyatanya tidak seperti yang dibayangkan. Reaksi awal masyarakat Jogja canggung menanggapi tontonan Wayang Bocor, namun lama kelamaan mereka bisa cair dengan suasana. Ajik, pimpinan produksi Wayang Bocor mengatakan hal ini pada kami.

“Yang menarik adalah bagaimana kita berhadapan dengan warga yang tidak akrab dan betul-betul awam dengan seni pertunjukan kontemporer. Hampir di setiap kampung seperti itu, namun pada akhirnya mereka bisa menerima bahwa ini adalah tontonan wayang kontemporer yang menarik.”

-Ajik, Wayang Bocor

Selain itu, dari segi ceritanya Wayang Bocor juga menampilkan kisah-kisah yang lebih sesuai dengan masa kini. Ya, ide ceritanya kebanyakan memang mengikuti isu-isu yang sedang hangat di tengah masyarakat dan penampilan pertunjukannya dikemas layaknya pertunjukan ketoprak, yakni dengan bumbu-bumbu humor yang menggelitik. Humor atau guyonan ini sengaja dihadirkan supaya pesan yang tersirat dalam cerita pertunjukan bisa diterima oleh penonton. Namun terkadang tetap menampilkan karakter-karakter Punakwan di beberapa ceritanya seperti yang ditampilkan dalam pertunjukan "Dimiscall Leluhur".

“Yang menonjol dari Wayang Bocor pertama bisa dilihat dari sisi visualnya mas Eko yang sangat kuat sebagai hal yang berbeda dengan pertunjukan yang lain. Karena begitu kita mengenalkan Wayang Bocor dan ini karya Eko, otomatis orang akan tau ini Indonesia banget. Yang kedua seluruh cerita kita itu masih di mix-in dengan cerita-cerita pakem tradisi wayang, jadi kupikir itu yang menjadi ciri kuatnya Wayang Bocor, “ tutur Ratri.

Sementara itu, Ajik menambahkan bahwa setidaknya dalam pementasan Wayang Bocor harus ada tiga komponen, yakni layar (kelir), aktor, dan dalang. Menurutnya, kehadiran dalang cukup signifikan karena ia yang bisa memberi nyawa pada karakter-karakter wayang. Sedangkan untuk aktor memang harus ada untuk memperkuat bagaimana pertunjukan ini muncul membawakan cerita. "Dan selain dalang, aktor kadang juga memainkan wayang sehingga ia harus belajar kedalangan," jelas Ajik.

Dari Yogya sampai New York

Wayang Bocor beberapa kali menggelar pertunjukan di Yogyakarta dan mengikuti beberapa festival lokal. Hingga akhirnya pada awal bulan 2017, Wayang Bocor berkesempatan untuk pentas di tiga kota di Amerika, yaitu di New York, North Carolina, dan Los Angeles sebagai entry point pentas mereka ke luar negeri.

Tak disangka, pementasan di Amerika kala itu ternyata mampu menarik banyak orang. Misalnya di kota North Carolina, mereka dan pihak pengundang dikejutkan dengan jumlah penonton sebanyak 1400 orang dan menjadi jumlah penonton terbanyak untuk Wayang Bocor dalam sekali tampil.

Apresiasi yang didapat pun sangat baik, terutama di setiap kota yang mereka kunjungi. Keterkejutan penonton hampir sama. Mereka terkejut akan banyaknya item wayang yang digunakan Wayang Bocor dalam sekali pentas dengan jumlah tim yang cukup minim. Selain itu mereka juga heran dengan beberapa tokoh wayang yang dibuat asli dari kulit kerbau dan berwarna.

"Buat warga New York mereka memang bukannya belum kenal dengan wayang. Jadi sebenarnya pertunjukan wayang di sana untuk dibilang baru banget juga enggak. Mereka membayangkan wayang itu polosan dan mereka juga kaget bahwa bahan wayang itu terbuat dari kerbau," kisah Ratri.

Meski cerita yang diangkat adalah kisah-kisah kehidupan masa kini dan tokoh wayangnya adalah tokoh yang dibuat sendiri oleh Wayang Bocor, namun setiap pentasnya Wayang Bocor tetap menampilkan tokoh wayang tradisi seperti Punakawan
(Foto: dokumentasi Wayang Bocor)

Karena banyak dari penonton yang tertarik melihat pentas Wayang Bocor, maka pihak yang mengundang Wayang Bocor mengadakan tour belakang panggung untuk mengajak penonton lebih dekat melihat proses dan elemen di balik meriahnya pentas mereka.

Wayang Bocor berharap semakin dikenal sebagai salah satu seni pertunjukan kontemporer dengan memperkenalkan dengan tampil di berbagai festival lokal maupun internasional.

“Kalau kemarin intensitas kami di Indonesia setahun masih sekali atau dua kali, untuk sekarang paling tidak minimal satu kali dan lebih menjangkau masyarakat yang lebih luas, tidak hanya di Jogja tapi mungkin ke luar Jawa. Lalu yang di internasional sendiri semoga bisa menjadi sesuatu yang rutin, baik kami menawarkan ke festival maupun festival mengundang kami,” harap Ratri.

* * *