Table of Content
Logo GNFI

AIR, SUMBER KEHIDUPAN

Apa hal terpenting bagi kehidupan manusia? Dari sekian banyak jawaban yang dapat terlontar, bisa jadi salah satu di antaranya adalah air.

Ya, air memang begitu penting bagi manusia. Tak berlebihan pula apabila kita menyebut air sebagai sumber daya vital yang turut menentukan kelangsungan hidupnya.

Dari masa ke masa, cara dan pola hidup manusia senantiasa berubah dan berkembang. Namun, ketergantungan terhadap air adalah hal yang dipastikan tidak pernah berubah. Manusia bahkan senantiasa menemukan cara baru dalam memanfaatkan air guna meningkatkan kualitas hidupnya.

Sebagai hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, mulai dari asal-usulnya hingga permasalahan dalam pengelolaannya, beserta cara manusia untuk mengatasi masalah itu.

Asal-usul Air, dari Mana Munculnya?

Mungkin banyak orang termasuk Kawan GNFI pernah bertanya-tanya, dari mana asalnya air?

Sebenarnya, bagaimana awal mula air di bumi ini bisa hadir masih terus menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Pertanyaan mengenai hal ini pun masih terus menjadi pertanyaan terbuka, khususnya mengenai awal mula zat hidrogen pada air, nitrogen, atau zat-zat mudah menguap lainnya. 

Untuk saat ini, jawaban yang masih diyakini mengenai asal mula air adalah air ini berasal dari asteroid atau komet. Sebab, benda langit tersebut memiliki kandungan nitrogen, karbon, serta hidrogen (atau dalam bentuk es) yang kemungkinan menguap dan berubah menjadi air ketika menabrak bumi. Selain itu, ada pula pendapat yang menyebutkan bila memang bumi dari awal sudah terdiri dari unsur–unsur yang mendukung terciptanya air sejak awal pembentukannya sebagai planet. 

1._Dari_Mana_Asal-usul_Air_.png

Penelitian terbaru dari proyek AEThER yang dipublikasikan Science Daily, muncul pula pendapat baru. Disebutkan bahwa ketika bumi masih dipenuhi oleh magma di permukaannya, air bumi bisa jadi bersumber dari interaksi zat antara magma ini serta atmosfer yang mengandung hidrogen dalam jumlah besar.

Dengan demikian, para ahli pun hingga saat ini masih terus mencari jawaban mengenai bagaimana air bisa tercipta di muka bumi. Namun dari sekian banyak teori yang berbeda-beda mengenai bagaimana asal usul air, setidaknya pendapat dari para ahli bisa saling melengkapi. Bahkan, bisa jadi pula bila air yang jumlahnya sangat banyak di bumi ini awal mulanya berasal dari berbagai sumber, entah itu dari asteroid, dari unsur awal pembentuk bumi sebagai planet, hingga interaksi antara atmosfer tersebut.

Jenis-jenis Air dan Karakteristiknya

Dari sekian banyak air yang ada di planet ini, beragam pula jenisnya. Masing-masing jenis pun punya karakteristik yang berbeda, dan berbeda-beda pula letaknya.

Apa saja jenis air yang ada di sekitar kita? Inilah daftarnya:

2.png

Air tanah dapat ditemukan di rongga-rongga di lapisan kulit bumi atau akuifer. Air ini adalah bagian dari peredaran air di bumi, yaitu daur hidrologi. Siklus ini terjadi secara terus-menerus, dimulai dari penguapan, hujan, aliran permukaan, aliran air tanah, mengalir ke laut, lalu kembali menguap.

Survei Geologi Amerika serikat pada 2018 mencatat, volume air di tanah seribu kali lipat lebih banyak daripada air tawar di sungai dan danau seluruh dunia. Air ini terletak hampir di semua dasar bumi, termasuk bawah bukit, gunung, dataran, bahkan gurun. Pengambilan air tanah biasanya dilakukan dengan mengebor sumur sedalam 50—200 meter bahkan lebih, atau memasang turbin untuk memompa air tanah tersebut.

Air tanah sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup makhluk bumi. Dalam laporan International Groundwater Resource Assessment Centre (IGRAC), air tanah disebut menjadi salah satu sumber utama air yang cocok dikonsumsi manusia dan sangat berharga bagi sektor pertanian.

Tak hanya itu, air tanah juga berperang penting bagi lingkungan. Air ini membantu menjaga sungai, danau, dan lahan basah, tetap mengalir walau suatu daerah dilanda kekeringan. Air bermanfaat untuk mengontrol ekosistem agar tetap sehat. Air tanah yang terlalu rendah atau tercemar, dapat menyebabkan pengasaman tanah, subsidensi tanah gambut, dan pengeringan spesies tanaman sensitif.

3.png

Tahukah Kawan GNFI bahwa ternyata sebagian besar air di bumi ini mengandung garam?

Ya, sekitar 97,2 persen air di bumi mengandung garam dan 35 bagian per seribu berat air laut mengandung garam terlarut.

Layanan kelautan Amerika Serikat memperkirakan, jika garam di laut tersebar merata di seluruh permukaan bumi, maka garam-garam tersebut akan membentuk lapisan setebal 500 kaki atau 166 meter. Kira-kira setinggi gedung 40 lantai.

Menurut Rk Naresh dari Universitas Pertanian & Teknologi Sardar Vallabhbhai Patel, 5 persen air yang digunakan industri mengandung garam, sementara 53 persen dimanfaatkan dalam pertambangan.

Air garam juga punya manfaat penting berkat kandungan ion di dalamnya. Air garam bisa dimanfaatkan untuk membuat baterai, digunakan dalam pendinginan pembangkit listrik termoelektrik, hingga dijadikan air minum melalui proses desalinasi. Selain itu, air garam juga banyak digunakan untuk menciptakan produk makanan, kosmetik, akuakultur, dan pertanian.

4.png

Hampir 10 persen dari daratan dunia saat ini ditutupi gletser—lapisan es yang bergerak turun dari lereng gunung atau daratan. Gletser menyimpan 69 persen air tawar dunia. Kalau semua es di daratan mencair, lautan akan naik 230 kaki atau 70 meter. Gletser sangat penting dalam siklus air bumi karena dapat memengaruhi volume, variabilitas, serta kualitas air limpasan di daerah manapun.

Sebagian besar gletser dan lapisan es terletak di Greenland dan Antarktika. Ketebalan es di Greenland mendekati dua mil atau 3,2 kilometer. Beberapa daratan di kawasan ini telah dikompresi sedemikian rupa, sehingga jauh di bawah permukaan laut. Sementara itu, Gletser terpanjang ada di Alaska, yaitu Gletser Bering, dengan ukuran 127 mil atau 204 kilometer.

Jika berada di lereng, seluruh lapisan es seiring waktu akan menuruni bukit. Ukurannya sangat variatif, mulai dari sebesar lapangan bola hingga sepanjang seratus mil atau 161 kilometer.

Saat zaman es belum berakhir—ketika gletser menutupi hampir sepertiga  daratan—permukaan laut berada 400 kaki atau 122 meter lebih rendah daripada sekarang. Lalu, sekitar 125.000 tahun lalu, permukaan laut lebih tinggi 18 kaki atau 5,5 meter dari sekarang dan 165 kaki lebih tinggi pada tiga juta tahun yang lalu.

6.png

Hujan berasal dari penguapan air danau, laut, sungai, dan lainnya. Uap air itu bercampur dengan udara, lalu naik ke atmosfer dan mendingin dengan ekspansi. Uap air yang terkandung di udara mengembun di sekitar inti kondensasi, misalnya debu dan serbuk sari. Ketika udara mencapai tingkat supersaturasi, tetesan kemudian membentuk awan.

Saat baru terkumpul di awan, air hujan awalnya murni dan sedikit asam. Akan tetapi, selama pembentukan dan turun, air hujan terkontaminasi elemen mineral serta polutan yang membuatnya kurang murni, bahkan kadang-kadang sangat tercemar. Itulah mengapa air hujan tidak boleh diminum.

Curah hujan di daerah pertanian atau industri tinggi bisa saja terkontaminasi pestisida, hidrokarbon, logam berat, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan nitrat. Meski demikian, air hujan tetap punya segudang manfaat. Air ini bisa digunakan untuk menyiram kebun, mengairi irigasi, membersihkan toilet, membantu kerja mesin cuci, mengisi waduk, pembersihan kota, transportasi, pembangkit listrik, dan lainnya.

Itulah jenis-jenis air yang ada di sekitar kita. Semuanya punya manfaat masing-masing bagi manusia.

Air dan Kehidupan Sosial Budaya Manusia

Sebelumnya, kita telah membahas air dari aspek fisiknya. Sekarang, kita beralih ke bahasan mengenai aspek sosial-budayanya. Untuk mengawali bagian ini, Kawan GNFI dipersilakan menjawab pertanyaan berikut ini: Apa kegunaan air bagi manusia?

Pertanyaan di atas mungkin terdengar sederhana, dan jawabannya pun sederhana pula. Jawaban yang akan pertama terbersit di kepala mungkin adalah air berguna untuk minum, mandi, membersihkan diri, dan yang lainnya.

Jawaban-jawaban sederhana tersebut tentu tidak salah. Namun, ada satu kegunaan air yang mungkin tidak disadari oleh sebagian besar dari kita, yakni untuk membentuk budaya yang erat kaitannya dengan bagaimana cara manusia hidup.

Ya, budaya manusia memang dibentuk oleh keberadaan air di sekitarnya. Pakar Sejarah Lingkungan dan Ekonomi Asia Tenggara asal Belanda, Peter Boomgaard, pernah membahas hal tersebut dalam A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories. Boomgard menguraikan bahwa ada berbagai aspek kebudayaan manusia di Asia Tenggara yang dibentuk oleh air, mulai dari ekonomi, politik, hingga spiritual.

Dari aspek ekonomi misalnya, negara yang dikelilingi kumpulan air terbesar di dunia yakni lautan dapat memanfaatkan beragam sumber daya di dalamnya sebagai penggerak ekonomi. Indonesia pun demikian. Dengan garis pantai nan panjang dan lautan yang begitu luas, banyak masyarakatnya yang menggantungkan hidup di sektor perikanan.

Boomgard berargumen bahwa suatu daerah yang berbatasan dengan lautan lebih terbuka dengan pengaruh ekonomi, politik, dan budaya. Jika kita melihat sejarah, kedatangan bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia ke Nusantara memang berlangsung via jalur laut. Maka dari itu, lewat air-lah, akulturasi budaya, pemikiran-pemiliran baru, hingga penjajahan bisa hadir.

 

Akses yang mudah lewat laut ke wilayah ini membuat Asia Tenggara jadi cukup rawan terhadap kekuasaan politik dari pihak luar yang kuat. Akses yang sedemikian mudah tersebut bisa jadi menguntungkan secara budaya, namun juga bisa dianggap merugikan secara politis

Peter Boomgard

Bukan cuma air laut, air tawar di daratan dan bagaimana itu dimanfaatkan juga turut berperan dalam membentuk kebudayaan manusia. Air irigasi pertanian adalah salah satu contohnya. Disebutkan Boomgard, bagaimana air irigasi tersebut dikelola bakal berpengaruh terhadap hubungan sosial, cara bertani, serta perilaku manusia.

Sejak dulu hingga sekarang, air tetap memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Bahkan seiring berjalannya waktu, cara manusia untuk memanfaatkan air guna menopang kehidupannya semakin beragam dan canggih. Semua ini semakin membuktikan bahwa air adalah hal yang turut menentukan cara manusia hidup.

Apa yang dipaparkan Boomgard adalah gambaran mengenai peran air bagi kehidupan manusia dalam konteks sosial. Jika Kawan GNFI melihat hubungan air dan manusia secara lebih dekat dan membumi dalam konteks Indonesia, akan terlihat pula bahwa manusia sebetulnya juga menyadari akan pentingnya peran air tersebut dan mereka pun punya cara-cara tertentu yang menunjukkan betapa bersyukurnya mereka atas adanya air.

Ungkapan Syukur atas Melimpahnya Air

Ungkapan rasa syukur atas melimpahnya air dimanifestasikan oleh masyarakat melalui berbagai tradisi yang selama ini berkembang dan dilestarikan. Tidak jarang pula masyarakat memiliki mitos berkaitan dengan air yang bertujuan untuk menjaga eksistensi air sebagai salah satu kebutuhan primer manusia.

Misalnya di Surakarta atau biasa dikenal dengan Solo, lahir dan berkembangnya peradaban air tidak terlepas dari peran Bengawan Solo. Sungai terpanjang di wilayah Jawa itu mengalir dari Wonogiri melewati Sukoharjo, Solo, Sragen, Ngawi, Blora hingga ke daerah di Jawa Timur. Maka, tidak heran jika daerah-daerah yang dilalui Bengawan Solo menjadi daerah yang subur dan makmur kala itu.

Masyarakat Jawa menganggap keberadaan air merupakan sebuah hal yang mutlak dan tidak dapat dipisahkan. Apalagi, kehidupan masyarakat Jawa sangatlah lekat dengan kebudayaan yang berakar pada tradisi agraris. Faktor inilah yang melahirkan mitos-mitos hingga cerita rakyat yang menempatkan air sebagai sesuatu yang sakral demi menjaga kelestariannya.

Sebagi contoh, masyarakat di sekitar sungai bengawan Solo percaya dan menganggap bahwa tuk (sumber air), pepohonan dan batuan besar merupakan tempat roh nenek moyang bersemayam untuk menjaga dan memelihara sumber air. Oleh karena itu, banyak cerita rakyat yang beredar di masyarakat berkaitan dengan air. Cerita-cerita rakyat yang mengalir di telinga masyarakat di sekitar sungai Bengawan Solo ialah asal usul Kedung Bacin, Dlepih Kayangan, Kedung Pungal, dan Pemandian Langenharja, dongeng Jaka Tingkir, Kapal Kyai Rajamala, Kedung Pengantin dan lain lain. 

Penghargaan tinggi terhadap air bagi masyarakat Jawa juga ditunjukkan pada pemberian nama orang atau tempat dengan menggunakan kata tirta, banyu, warih, toya bening dan nama-nama lainnya.

Tradisi yang lain yang juga eksis di tengah masyarakat Jawa di berbagai wilayah ialah perang air. Meski ada sedikit persamaan di mana tradisi ini biasanya bertujuan untuk menyucikan diri, perang air di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda.

Di Semarang, perang air dikenal sebagai tradisi Gebyur Bustaman. Perang ini dilakukan menjelang bulan suci Ramadan dengan tujuan untuk membersihkan diri dari segala dosa. Nama Bustaman sendiri merupakan nama salah satu kampung di Semarang, yakni Kampung Bustaman, Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Letaknya tidak jauh dari Kota Lama Semarang atau berjarak sekitar 1,1 kilometer. 

Tradisi Gebyur Bustaman diperkirakan  telah ada sejak 300 tahun lalu. Tradisi ini muncul dari kebiasaan Kiai Kertoboso Bustam atau Kiai Bustaman yang memandikan anaknya ketika menjelang bulan Ramadan. Apa yang dilakukan Kiai Bustaman dianggap sebagai bentuk upaya penyucian diri dari segala dosa yang telah diperbuat.

Sementara itu di Magelang, tradisi perang air dikenal sebagai Bajong Banyu. Dalam Bajong Banyu, air menjadi sesuatu hal yang sakral dan suci sehingga pengambilan air dari Sendang Kedawung dilakukan dengan cara-cara tertentu. Misalnya, harus dikawal oleh pasukan Bregada (prajurit keraton) hingga iringan tarian saat pengambilan air.

Tak hanya di Jawa, masyarakat di Pulau Bali pun mengenal tradisi perang air. Di Pulau Dewata, dikenal Siat Yeh yang dilakukan saat Nyepi di Jimbaran, Bali. Siat Yeh berasal dari dua kata yakni Siat atau perang, yang dimaknai sebagai kondisi manusia yang setiap harinya berperang dengan diri dan pikiran sendiri. Sementara itu, Yeh mengandung makna air yang dipandang sebagai salah satu sumber kehidupan manusia dan harus dijaga serta dihormati.

3._Mengekspresikan_Raya_Syukur_Lewat_Perang_Air.png

Siat Yeh dimaknai sebagai sarana penyucian diri oleh masyarakat setempat dengan memanfaatkan pertemuan dua sumber air, yakni air yang berasal dari pantai timur di wilayah Suwung dan pantai di sebelah barat Jimbaran. Pertemuan dua sumber air tersebut bertujuan untuk menyatukan kekuatan alam dan memberikan kemakmuran bagi mereka yang terlibat.

Siat Yeh biasa dilangsungkan pada saat Hari Raya Ngembak Geni, atau lebih tepatnya sehari setelah perayaan Nyepi, di mana masyarakat yang berpartisipasi biasanya didominasi oleh kalangan pemuda-pemudi Banjar Teba.

Sementara itu di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tradisi perang air dikenal sebagai tradisi Belimbur. Belimbur adalah proses upacara adat yang dilakukan untuk menyucikan diri Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dari pengaruh jahat.

Tradisi tersebut menjadi ritual terakhir sekaligus penanda berakhirnya perayaan Erau.

 Erau sendiri merupakan upacara adat di Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang diadakan hampir setiap tahun. Raja pertama Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti dari 1300 hingga 1325, disebut yang pertama memulainya. Suatu hari ketika ia hendak mandi, kesultanan mengadakan Erau Tijak Tanah sebagai bentuk penghormatan. Sejak saat itulah, upacara Erau diadakan hampir setiap tahun sampai saat ini.

Tradisi perang air juga dikenal oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia lewat Festival Perang Air atau Cian Cui. Tradisi Cian Cui biasanya dilakukan sehari menjelang hari pertama Imlek hingga enam hari setelahnya. Tradisi tersebut berkembang dan lestari di Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Masyarakat Tionghoa menganggap bahwa air adalah sumber rezeki. Dengan saling menyiram, mereka menganggap bahwa mereka telah berbagi rezeki kepada semua orang. Tradisi ini juga dianggap akan mempererat tali persaudaraan dan cinta kasih.

Khusus di kawasan pesisir di mana masyarakat menganggap laut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya, ungkapan rasa syukur atas rezeki dari sumber daya laut biasanya dilakukan dengan tradisi larung.

Di Kendal, tradisi larung sesaji atau biasa dikenal nyadran dilakukan sebagai bagian dari upaya mengingatkan agar selalu menjaga kelestarian alam guna mendapatkan hasil tangkapan ikan dengan maksimal, serta tidak menghancurkan habitat hidup ikan dengan cara tidak menggunakan alat-alat yang merusak.

Tradisi larung tidak hanya sekadar tradisi semata, tetapi juga menjadi upaya pemertahanan ekosistem laut dan menanamkan pemahaman mitigasi bencana alam. Hal serupa juga ada di Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Bedanya, sesajen yang digunakan di Kabupaten Kendal ialah kepala sapi, sedangkan sesajen di Kabupaten Jepara ialah kepala kerbau. Selain itu, larung sesaji atau nyadran di Kabupaten Kendal dilaksanakan pada bulan Suro atau Muharam, sementara itu di Kabupaten Jepara dikenal sebagai lomban dan dilaksanakan pada bulan Syawal.

Masalah Pengelolaan Air dan Solusinya

Sebagai sumber kehidupan, manusia harus menggunakan air dan mengelolanya dengan sebaik mungkin. Namun pada kenyataannya, kerap kali ada masalah yang membuat ketersediaan air menjadi terhambat maupun berlebih hingga tak terkendali.

Pada akhir tahun 2023 lalu misalnya, ada banyak masyarakat Indonesia yang terdampak kekeringan di Tanah Air. Data informasi bencana mingguan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan meluasnya kekeringan di Tanah Air.

Monitoring BMKG mencatat, beberapa wilayah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut dengan kategori ekstrem. Wilayah dengan kekeringan parah itu mulai dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Bencana kekeringan ini dikaitkan dengan berkurangnya ketersediaan air dan panjangnya musim kemarau akibat anomali iklim seperti El Nino. Pada kondisi ini, alam menjadi faktor utama yang menjadi penyebab bencana krisis air.

Namun juga ada bagian penting yang berkontribusi terhadap bencana kekeringan atau krisis air. Pada hal ini adalah minimnya tata kelola air antara kelembagaan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelibatan stakeholder.

Karena itulah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan Indonesia memiliki rencana aksi nasional untuk pengendalian perubahan iklim terkait sumber daya air. Terdapat pula lokasi prioritas ketahanan iklim dalam arah pembangunan nasional.

“Semua lembaga terkait melakukan pendekatan bersinergi dan berkolaborasi. Di antaranya dapat meningkatkan manajemen prasarana sumber daya air, mengembangkan disaster risk management banjir, tanah longsor dan kekeringan, meningkatkan manajemen dan mengembangklan prasarana sumber daya air untuk pengendalian daya rusak air, meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat tentang penyelamatan air dan meningkatkan penyediaan dan akses terhadap data dan informasi terkait dampak perubahan iklim,” urai Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito dalam Konferensi Pers Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) “Road to 10th World Water Forum”, Rabu (13/3/2024).

BRIN sendiri menawarkan  beberapa solusi atas terjadinya krisis air yang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Mego, pengembangan teknologi dan inovasi menjadi terobosan penting untuk mengatasi hal tersebut.

Menurut Mego, kegiatan memanen air hujan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi krisis air di pulau-pulau kecil dan daerah kering. Hal ini telah dilakukan oleh BRIN walau belum terlalu masif.

“Pemanfaatan curah hujan melalui atap bisa tampung dulu menjadi hal yang sangat penting,” katanya.

masalah-1.png

Dijelaskan oleh Mego, pendekatan dan strategi utama memanen air adalah memanfaatkan dan mengoptimalkan air permukaan berupa air limpasan langsung dan sungai kecil maupun air tanah dangkal di lahan kering dan tanah hujan.

Kemudian memanfaatkan curah hujan melalui atap bangunan, bak penampungan, membendung sungai melalui dam parit hingga mengalirkan air sungai dan air tanah melalui pompa air sungai maupun sumur dangkal.

“Kemudian, memanfaatkan curah hujan melalui atap bangunan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, industri, perkantoran, dan lain-lain,” ucapnya.

Untuk bisa mengeksekusi solusi yang ditawarkan, dibutuhkan infrastruktur yang mumpuni. Mego mengatakan ada tiga infrastruktur memanen air untuk irigasi dan sumber air, yakni embung, parit, dan long storage. Tiga hal ini akan dikembangkan secara perlahan oleh BRIN yang berkolaborasi dengan instansi terkait.

Embung sendiri adalah waduk mikro untuk memanen aliran permukaan dan air hujan serta sumber air lainnya, seperti mata air sebagai sumber irigasi suplementer. Dam parit adalah bendungan kecil untuk menahan air dan meningkatkan tinggi muka air untuk irigasi. Sedangkan long storage merupakan tampungan air memanjang pada lahan relatif datar yang berfungsi menyimpan luapan air sungai atau air saluran irigasi ketika akhir musim hujan di sebuah daerah.

BRIN juga melakukan kolaborasi bersama kementerian/lembaga terkait, seperti inovasi Arsinum Mobile, yakni teknologi 3 penyaringan + UV berkapasitas 5.000 liter air siap minum dari bahan baku air sumur/banjir/sungai.

BRIN juga mendorong pengembangan inovasi penangkap embun kabut, proyek pemompaan air bawah tanah di Gunung Kidul, dan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menambah atau mempercepat curah hujan dengan penyemaian garam di udara.

Kemudian ada pula efisiensi pemetaan air dengan integrated smart agriculture, pemetaan sumber air tanah dengan geolistrik, monitoring air tanah spatio temporal menggunakan data satelit dan ANN, dan riset metal organic framework (MOF) untuk menangkap uap air.

BRIN juga memberikan dukungan penuh pada kegiatan World Water Forum ke 10 yang diselenggarakan pada 18-24 Mei 2024 di Bali. Dikatakannya, krisis air ini tidak bisa diselesaikan oleh Indonesia sendiri.

wwf.png

“Kita mengundang periset-periset kemudian masyarakat internasional untuk bisa bergabung bersama melakukan riset, pengamatan, dan pengembangan terkait teknologi air bersih,” jelasnya.

Masalah pengelolaan air dan memang wajib diperhatikan oleh para pemangku kepentingan karena menyangkut kelangsungan hidup orang banyak. Terlebih, menyediakan dan mengelola air bersih adalah kewajiban yang diamanatkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam misi nomor enam SDGs yang tujuannya adalah menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua, negara harus mewujudkan air minum yang aman, berkualitas, dan terjangkau. Ketersediaannya pun harus dijamin lewat efisiensi penggunaan, penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu, serta perlindungan dan restorasi ekosistem terkait sumber daya air

wwf-bali.png

World Water Forum, Ketika Dunia Mencari Solusi Permasalahan Air

Berhubung kewajiban menyediakan dan mengelola air telah diamanatkan dalam SDGs, upaya mencari solusi atas permasalahan pengelolaan air tidak hanya dilakukan dalam skala nasional, namun juga global. Salah satu wadah di mana berbagai negara berkolaborasi untuk memecahkan berbagai masalah terkait air yang melanda dunia adalah World Water Forum.

Untuk tahun ini, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah World Water Forum ke-10 yang berlangsung di Bali pada 18–25 Mei 2024. Forum ini mempertemukan para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi menciptakan solusi konkret atas permasalahan air.

World Water Forum ke-10 yang mengusung tema “Water for Shared Prosperity”, diharapkan dapat mewujudkan tujuan bersama, yaitu air untuk kesejahteraan bersama melalui pemahaman dan pemecahan masalah terkait isu air global.

 Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan penyelenggaraan World Water Forum ke-10 juga bertujuan menciptakan kesadaran terhadap pentingnya sumber daya air.

“Kami berharap World Water Forum ke-10 dapat menjadi platform pengambilan keputusan untuk menempatkan isu air sebagai prioritas utama pada tingkat global agar kita semua bisa memberikan kualitas air yang lebih baik demi kualitas hidup masyarakat di masa depan,” kata Menteri Basuki.

 Terdapat enam subtema yang diangkat dalam World Water Forum ke-10, di antaranya Water Security and Prosperity; Water for Human and Nature; Disaster Risk Reduction and Management; Governance, Cooperation and Hydro-diplomacy; Sustainable Water Finance, serta Knowledge and Innovation.

 Diskusi dalam forum tersebut dilakukan melalui tiga proses, yakni tematik, politik, dan regional. Proses politik menjadi ajang pertemuan tingkat kepala negara, parlemen, pemerintah daerah, hingga otoritas wilayah sungai. Sementara proses regional terbagi menjadi empat wilayah, yaitu Mediterania, Asia Pasifik, Afrika, dan Amerika.

Selanjutnya, pemilihan Pulau Bali sebagai lokasi penyelenggaraan World Water Forum ke-10 bukan tanpa alasan. Namun, Pemerintah Indonesia hendak mengangkat kearifan lokal masyarakat Bali yang menjunjung harmonisasi manusia dan alam.

Hal itu terwujud dalam sistem pengairan sawah yang dikenal dengan Subak. Para peserta World Water Forum ke-10 nantinya diajak untuk mempelajari cara mengelola sumber daya air secara berkelanjutan dalam sistem Subak kepada masyarakat lokal.

Indonesia juga akan memamerkan sejumlah capaian pengelolaan air di World Water Forum ke-10. Salah satunya adalah program pengendalian pencemaran serta pemulihan ekosistem di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang dikenal sebagai program Citarum Harum.

Tak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga tengah menyiapkan rancangan Deklarasi Bali pada Tingkat Menteri yang salah satu targetnya adalah menetapkan Hari Danau Sedunia (World Lake Day) melalui resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dibuat oleh Good News From Indonesia
Logo GNFI