Logo GNFI
Table of Content

Membangun IKN, Mewujudkan Wacana Lama Indonesia

Pada Jumat, 16 Agustus 2019, sebuah kabar besar datang: Indonesia dipastikan akan memindahkan ibu kota.

Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyampaikan kabar tersebut dalam Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta. Jokowi mengatakan bahwa ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan.

“Dengan memohon ridha Allah Swt., dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak/Ibu anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan para tokoh bangsa, terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan,” kata Jokowi saat itu.

Ada dua poin penting yang ditekankan Jokowi dari rencana tersebut. Pertama, ibu kota baru nantinya akan menjadi representasi kemajuan bangsa. Kedua, dengan letaknya yang berada di tengah Indonesia, kehadiran ibu kota baru diharapkan bisa mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi, serta pembangunan.

Sejak itu, isu pemindahan ibu kota senantiasa menjadi pembicaraan publik. Maklum saja Ini adalah proyek superbesar dengan banyak sumber daya yang dikeluarkan dan banyak orang yang terdampak, terutama masyarakat yang akan menempati kota tersebut, baik itu warga lokal maupun pendatang di Penajam Paser Utara, lokasi persis Ibu Kota Nusantara alias IKN.

Banyak sisi yang bisa disorot dari rencana pemindahan ibu kota. Terutama jika kita melihat sejarah, memindahkan ibu kota sebenarnya sudah menjadi mimpi Indonesia jauh sebelum Jokowi mengumumkan kepindahan ibu kota ke Kalimantan. Banyak pula lika-liku dalam proses pemindahan ibu kota ke IKN.

Pindah Ibu Kota sejak Baru Merdeka

Dokumentasi Soekarno

Memindahkan ibu kota memang bukan wacana baru. Ide tersebut sudah muncul sejak Indonesia baru merdeka, bahkan pernah terwujud meski hanya sementara dan bersifat darurat. Hal yang melatarbelakangi pemindahan ibu kota ini adalah kondisi di dalam negeri yang tidak stabil.

Pada tahun 1945, tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) kembali menduduki Jakarta. Kondisi tersebut yang membuat ibu kota menjadi tidak kondusif. Sehingga, pada 1 Januari 1946, Soekarno menggelar rapat terbatas di Pegangsaan Timur No.56 untuk membahas keberlangsungan pemerintahan pusat. Bila presiden, wakil presiden, serta menteri-menterinya tidak dipindahkan ke tempat yang lebih aman, maka ancamannya adalah kedaulatan Indonesia.

Dalam rapat terbatas, Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan Yogyakarta sebagai pilihan untuk ibu kota sementara. Setelah perundingan berjalan, Presiden Sukarno pun menyetujui bila pusat pemerintahan akan dipindahkan pada 3 Januari 1946. Mengutip dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno berkata seperti berikut:

“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak”, ujar Presiden Pertama Indonesia yang akrab disapa Bung Karno itu.
Soekarno Sticker

Pemindahan rombongan pemerintah pusat dilakukan menggunakan Kereta Luar Biasa (KLB) dengan berlangsung menegangkan. Sebab, mereka memasuki KLB secara diam-diam agar tidak ketahuan oleh NICA. Bahkan, lampu gerbong pun dimatikan dan mereka berusaha untuk tidak bicara serta harus mengatur napas.

Rencana tersebut berhasil dan mereka tiba di Yogyakarta saat dini hari pada 4 Januari 1946. Setelahnya, aktivitas pemerintahan berlangsung di Gedung Agung Yogyakarta. Segala biaya operasional pemerintahan ditanggung oleh Kraton Yogyakarta dengan bantuan Kadipaten Pakualaman sampai dengan 27 Desember 1949.

Yogyakarta sendiri tidak sepenuhnya aman. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi, tentara NICA pun melakukan serangan ke Kota Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk lapangan terbang Maguwo. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Agresi Militer II.

Sidang kabinet darurat pun segera dilakukan pada hari itu juga untuk menyikapi keadaan genting tersebut. Kabar pun tersiar kepada para pemimpin bangsa, bahkan yang berada di luar Pulau Jawa. Hasil rapat melahirkan mandat untuk membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Setelah Bung Karno dan wakil presiden Mohammad Hatta ditangkap untuk kemudian diasingkan ke Brastagi oleh tentara NICA, maka kepemimpinan sudah beralih ke Syafruddin.

Sebelumnya, Bung Hatta dan Syafruddin sebelumnya sudah pernah bertemu di Bukittinggi pada November 1948 untuk membahas kesiapan dalam mempertahankan kemerdekaan. Karena kondisi Yogyakarta yang darurat, Bung Hatta pun kembali ke sana dan Syafruddin tetap di Bukittinggi untuk berjaga-jaga.

Kota yang Pernah
Jadi Ibu Kota Indonesia
Selain Jakarta
Memindah ibu kota Indonesia
bukanlah hal baru
Monas
Monas

Saat baru merdeka,

pemerintah memindahkan ibu kota

ke kota berikut ini karena situasi yang tidak kondusif

akibat agresi militer Belanda:

Yogyakarta
Yogyakarta
Januari 1946-Desember 1949
Bukittinggi
Bukittinggi
Desember 1848-Juni 1949 *(Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia)
Bireuen
Bireuen
Konon, Bireuen pernah menjadi ibu kota selama sepekean pada Juni 1948. Namun hal ini tidak tercatat dalam buku sejarah sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Namun, mandat yang disampaikan ke Syafruddin lewat radiogram tidak terkirim karena stasiun pemancar sudah terlanjur dihancurkan musuh. Hebatnya, setelah mendengar kabar kejatuhan Yogyakarta, Syafruddin bersama tokoh-tokoh nasional lainnya segera berinisiatif mengambil langkah dan untuk rencana pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Dengan demikian, ibu kota pun pindah lagi dari Yogyakarta ke Bukittinggi.

Sayangnya, Bukittinggi juga tidak aman. Setelah melaksanakan rapat di dan mengetahui bila kota tersebut juga jadi sasaran tentara NICA, para tokoh memutuskan segera bergerak ke utara menuju Halaban, nagari di kaki Gunung Sago. Barulah pada 22 Desember 1948 PDRI diresmikan.

Dengan berbagai keterbatasan, PDRI menjalankan pemerintahan dengan bergerak dari hutan ke hutan untuk menghindari NICA. Namun, komunikasi dengan para pemimpin tetap berjalan dengan baik hingga akhirnya PDRI dibubarkan pada tanggal 13 Juli 1949 setelah Persetujuan Roem-Royen disepakati. Kekuasaan pun dikembalikan ke Sukarno-Hatta dan setelahnya ibu kota dikembalikan ke Yogyakarta.

Menariknya, ada pula kisah yang menyebut Bireuen pernah menjadi ibu kota Indonesia selama satu minggu. Sebagaimana tertulis dalam situs web Pemerintah Provinsi Aceh, tidak sedikit para orang tua dari kalangan tokoh masyarakat dan militer di era awal kemerdekaan yang menyebutkan bila daerah yang berada di Kabupaten Aceh Utara ini pernah menjadi ibu kota sementara, tepatnya setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Selain itu, Jusuf Kalla ketika masih menjabat sebagai wakil presiden pernah menyatakan dalam pidatonya bila Bireuen pernah menjadi ibu kota sementara pada tahun 1948. Ia mengatakan, ketika Yogyakarta sedang genting, Bung Karno mengasingkan diri ke Bireuen dan mengendalikan pemerintahan secara sementara di sana.

Kendati demikian, bukti konkret mengenai Bireuen yang pernah jadi ibu kota ini pun masih diragukan. Hanya Yogyakarta dan Bukittinggi yang memang terbukti benar-benar pernah menjadi ibu kota berkat adanya catatan sejarah yang kuat.

Pindah ke Palangkaraya, Ide Bung Karno atau Semaun?

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh pada 1949, situasi jadi lebih aman dan Jakarta kembali dijadikan ibu kota. Namun, wacana agar ibu kota dipindahkan lagi tetap tak berhenti.

Adalah Bung Karno yang yang dianggap pernah mewacanakan agar Indonesia memiliki ibu kota di Kalimantan. Cerita ini muncul saat ia berkunjung ke Palangkaraya pada 17 Juli 1957. Di sana, ia melakukan seremoni peletakan batu pertama ibu kota provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Saat itu, Bung Karno menyerukan agar kota Palangkaraya menjadi “modal dan model”. Tetapi setelah itu, tidak terdengar perkataan Bung Karno yang ingin memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya. Pasalnya setelah itu, Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat mulai dari perebutan Iran Barat hingga konflik dengan Malaysia.

“Tapi apakah itu masuk rencana atau tidak kita bisa melihat pada saat itu. Pemindahan ibu kota bukan prioritas lagi. Karena Indonesia masuk masa kritis yang menyita waktu dan pemikiran,” ujar pegiat sejarah Neo Historia, Daniel Limantara.

Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan juga ternyata pernah digagas oleh Semaun, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lama tinggal di Rusia. Dirinya pulang ke tanah air pada Desember 1956 dan menjadi penasehat pribadi Presiden Soekarno.

Pada Kongres ke-4 Partai Murba, Semaun mengeluarkan gagasan itu yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan judul Kodrat alam baru perekonomian dunia untuk kesejahteraan umat manusia.

Sejarawan Harry A Poeze menjelaskan buku itu dimaksud sebagai buku panduan bagi partai untuk mengusir imperialisme dari Indonesia secara damai, dan menuju pada pembangunan Sosialisme.

“Dia menekankan pentingnya transmigrasi untuk Indonesia. Bahkan dia mengajukan rencana untuk memindahkan “bangsa-bangsa ke Kalimantan,” jelasnya.

Dikatakan oleh Poeze, Semaun terus mengulang-ulang gagasan itu dalam karya lainnya. Disebutkan olehnya, Bung Karno pun mendukung usul-usul itu dan memandang pemindahan ibu kota negara bisa dilaksanakan.

“Apakah Soekarno kepincut dengan gagasan Semaun sehingga berniat memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya? Masih perlu dikaji lebih jauh,” katanya.

Wacana menjadikan Palangkaraya menjadi ibukota negara masih sumir. Wacana ini kemudian berakhir setelah Presiden Soekarno mengesahkan UU No 10/1964 yang menyatakan Jakarta tetap sebagai ibu kota negara.

Dikatakan oleh sejarawan JJ Rizal, Bung Karno sebenarnya hanya ingin menjadikan Palangkaraya sebagai wajah “Jakarta” yang baru. Tetapi pada akhirnya, ucapnya, Bung Karno telah berketetapan hati menjadikan Jakarta sebagai ibu kota.

“Karena buat Soekarno tak ada kota lain yang punya identitas seperti Jakarta yang menjadi wadah tumbuhnya nasionalisme di Indonesia. Puncak nasionalisme di Indonesia itu di Jakarta. Inilah ibukota politik, tak tergantikan. Ini orientasi Soekarno,” ujar Rizal yang dimuat Kompas.

JJ Rizal

Rizal menjelaskan bukti Soekarno tetap memilih Jakarta sebagai ibukota negara adalah munculnya bangunan-bangunan simbolik, seperti Monumen Nasional (Monas), Kompleks Senayan dan Gelora Bung Karno.

Soekarno, lanjutnya, malah menggagas konsep megapolitan yang menjangkau sampai Purwakarta di Jawa Barat. Tetapi, jelasnya, Soekarno efektif memerintah hanya pada kurun 1956-1965 sehingga ide ini belum sempat terwujud.

“Jadi, Ali Sadikin mengantarkan konsep itu ke Sutiyoso, lalu Sutiyoso mengantarkan konsep megapolitan itu ke SBY. Idenya diterima SBY tapi disimplifikasi jadi pemindahan ibukota. Soal kenapa tak pakai nama megapolitan, mungkin ada sejarah lain,” ujar Rizal.

Pindah ke Jonggol, Wacana Era Orde Baru

Setelah rezim Orde Lama berakhir pada 1966 dan digantikan Orde Baru, Kecamatan Jonggol di Bogor, Jawa Barat, digadang-gadang akan menggantikan DKI Jakarta. Suharto selaku presiden saat itu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Publik kemudian menyangkut-pautkan program pemerintah itu dengan wacana ibu kota baru, meski penunjukkan Jonggol sama sekali tidak tercantum dalam beleid tersebut.

Jika ditelusuri, asumsi Jonggol sebagai calon ibu kota baru muncul sejak 1996. Dalam banyak pernyataan, pemerintah seringkali menyinggung urgensi pemindahan ibu kota negara, tanpa mengungkapkan lokasi secara spesifik.

Sebagaimana dicatat Yanuar Nugroho dkk. dalam The Road to Nusantara: Process, Challenges, and Opportunities, putra ketiga Suharto, Bambang Trihatmodjo, memimpin Konsorsium PT Bukit Jonggol Asri sebagai pengembang kawasan Jonggol seluas 30.000 hektare. Potensi pasar real estate yang besar di sana berhasil menghubungkan pemerintah dengan pengusaha pelat merah. Hampir 80 persen proyek real state di Jabotabek dikendalikan keluarga dan kroni bisnis Suharto, termasuk pembangunan Jonggol.

Singkatnya, proyek kota mandiri diadakan untuk mengembangkan daerah pinggiran, sehingga masyarakat dapat memperoleh fasilitas umum dan pelayanan publik yang baik. Visi Jonggol sebagai kota mandiri mengedepankan motif ekonomi, bukan politik. Program ini diinisiasi sebagai langkah antisipatif terhadap lonjakan urbanisasi alias perpindahan penduduk ke Jakarta.

Kebijakan pembangunan periferal pun seakan menjadi kunci penting untuk mengalihkan migrasi penduduk agar tidak terkonsentrasi di Jakarta. Di samping itu, lalu lintas yang semrawut ditambah permasalahan sosial lainnya juga menjadi bagian besar yang mendorong pembangunan Jonggol penting untuk segera dilaksanakan.

Kecamatan Jonggol terletak 50 kilometer (km) dari Jakarta. Kawasan itu memiliki banyak infrastruktur, di antaranya: sekolah, pusat bisnis, sarana rekreasi, dan rumah sakit. Melihat fasilitas di sana yang cukup lengkap, Jonggol pun diyakini mampu meringankan beban Jakarta yang sumpek. Dengan luas yang sedemikian besar, wajar barangkali jika masyarakat beranggapan pemerintah akan memindahkan ibu kota ke Jonggol.

Tujuan pengembangan Jonggol sebagai kota mandiri, salah satunya, untuk mengurangi kepadatan penduduk dan aktivitas masyarakat di kota besar. Pemerintah ingin membangun Jonggol sebagai pusat permukiman baru karena peningkatan kegiatan ekonomi dan perkembangan penduduk cukup tinggi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Akan tetapi, baik Soeharto atau yang lain, tidak pernah menuturkan bahwa itu proyek pemindahan ibu kota negara.

Pemerintah justru menekankan fungi bersama: Jonggol menjadi ibu kota terpisah. Secara de jure, Jakarta tetap menjadi ibu kota Indonesia, tapi beberapa fungsi de facto dialihkan ke Jonggol dan kota pendukung lainnya.

Pada masa Orde Baru, Jonggol termasuk proyek pengembangan kota mandiri terbesar se-Jabotabek. Namun, saat itu daerah tersebut masih tergolong kawasan resapan air strategis DKI Jakarta dan sekitarnya, menurut Keppres Nomor 43 Tahun 1983. Hingga akhirnya, pada 12 September 1995, status itu dicabut seiring pemberlakuan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 1327 (Menhut-VII/1995). Dengan demikian, pemerintah resmi mengizinkan pembangunan Jonggol.

Penunjukan PT Bukit Jonggol Asri sebagai pengembang kawasan Jonggol ditetapkan dalam surat Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 dan Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 536/SK.969-Huk/97. Wacana pemindahan ibu kota ke Jonggol pun pupus seiring pemakzulan rezim Orde Baru pada Mei 1998.

Tersandung Anggaran

Penguasa kembali berganti, namun ide memindahkan ibu kota tetap hidup setelah Indonesia memasuki era reformasi. Wacana pemindahan ibu kota negara semakin gencar disuarakan setelah banjir besar melanda DKI Jakarta selama sepekan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),

Saat melawat ke Kazakhstan pada 2013, SBY mengatakan telah lama memikirkan wacana ini setelah melihat beberapa negara yang lebih dulu sukses memindahkan ibu kota, termasuk Kazakhstan.

SBY menilai, pemindahan ibu kota akan menimbulkan dampak positif maupun negatif bagi Indonesia. Jika Indonesia memiliki kota pusat pemerintahan yang baru, ia optimistis kondisi Jakarta akan jauh lebih baik.

“Meski ibu kota pindah, Jakarta tetap akan berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan,” kata SBY kala itu.

Susilo B. Yudhoyono

Bukan kali itu saja SBY punya ide untuk memindahkan ibu kota negara. Dalam acara Rapat Kerja Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada Desember 2009, ia pernah menyampaikan hal tersebut. Kemudian pada Agustus 2010, SBY bahkan menawarkan 3 skenario Pemindahan Ibukota Negara ketika bertemu dengan para pemimpin media massa.

Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Opsi ini dipilih dengan harapan dapat membenahi masalah kemacetan, transportasi, pemukiman, dan tata ruang wilayah.

Sebelum Kalimantan Timur Dipilih, Daerah-daerah Ini Pernah Disebut Akan Menggantikan Jakarta
sebagai Ibu Kota

Palangkaraya
Palangkaraya
Wacana pada era Orde Lama saat Palangkaraya dibangun pada 1957
Jonggol
Jonggol
Ingin dikembangkan sebagai kota mandiri, namun tak terwujud hingga Orde Baru tumbang pada Mei 1988
Jawa Barat
Jawa Barat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai mewacanakan perpindahan ibu kota sejak 2009, namun tak terwujud karena tersandung anggaran

Skenario kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru. Sedangkan skenario ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Dari ketiga skenario ini, SBY lanjut mengajak semua komponen pemerintah dan masyarakat untuk membahas secara terbuka dan komprehensif atas wacana ini.

Kemudian dalam Pidato Politik Partai Demokrat pada 2019 silam, SBY membuka tabir rencana pemindahan ibu kota di masa pemerintahannya. Diakuinya, pemerintah saat itu berencana memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jawa Barat yang berjarak 1,5 jam dari Jakarta.

Soal konsep, sang presiden banyak terinspirasi dari negara tetangga, Malaysia saat memindahkan pusat pemerintahan Putrajaya di luar Kuala Lumpur.

Namun, rencana pemindahan ibu kota negara dibatalkan setelah dua tahun pemerintah menggodok gagasan tersebut. SBY beralasan pemindahan ibu kota akan membutuhkan anggaran yang fantastis, sementara ada kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur lainnya yang lebih mendesak. SBY memang dikenal menitikberatkan pada kebutuhan anggaran, dibandingkan banyak membahas soal lokasi baru yang akan dijadikan sebagai ibu kota pengganti Jakarta seperti yang dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya.

Selain itu, ada pula faktor lingkungan yang tidak mendukung. SBY mengatakan, deretan hal tersebut menjadi pertimbangan utama pemerintahannya melanjutkan kajian pemindahan ibu kota.

Mewujudkan Wacana Lama

Wacana pemindahan ibu kota akhirnya benar-benar diwujudkan pada era Presiden Joko Widodo. Sejak awal, semua kandidat lokasi ibu kota baru berada di luar Jawa dengan alasan pemerataan pembangunan agar pertumbuhan penduduk dan ekonomi tidak tersentralisasi di Pulau Jawa.

Pada 8 Agustus 2019, Jokowi lewat akun Instagram miliknya menyebut ada tiga kandidat wilayah yang berpotensi besar menjadi ibu kota Indonesia, yakni kawasan Tahura Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Lalu pada 26 Agustus 2019 Jokowi akhirnya mengumumkan keputusan pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, tetapi bukan di Bukit Soeharto, melainkan di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara.

Penentuan wilayah tersebut dilandaskan pada berbagai aspek yang telah dikaji bertahun-tahun. Disebutkan, kajian beberapa wilayah yang menjadi prospek ibu kota Indonesia telah dilakukan sejak 2016 silam. Menurut informasi yang dirilis pemerintah, setidaknya ada sembilan poin utama pemilihan Kalimantan Timur sebagai ibu kota Indonesia, salah satunya tingkat aksesibilitas yang tinggi karena dekat dengan infrastruktur dan kota besar, Balikpapan dan Samarinda.

Hal yang tidak kalah penting, letak Kalimantan yang berada di tengah-tengah wilayah Indonesia menjadi faktor penguat bahwa pulau tersebut ideal dijadikan sebagai ibu kota. Secara geografis, Kalimantan juga relatif aman dan minim terjadi ancaman bencana alam maupun konflik sosial.

Ibu Kota Negara tersebut dinamakan Nusantara. Nama itu terpilih dari 80 calon nama yang telah dihimpun. Jokowi menambatkan hatinya pada Nusantara sebab istilah tersebut sudah identik dengan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka.Pembangunan serta pemindahan ibu kota negara yang bernama Nusantara itu merupakan proyek jangka panjang yang diperkirakan akan selesai di tahun 2045. Prioritas pembangunan di kawasan tersebut pun dilakukan secara bertahap.

Tahap pertama dalam kurun 2020-2024, pembangunan berfokus pada zona infrastruktur dasar dan utama seperti Istana Kepresidenan, Gedung MPR/DPR RI, dan perumahan. Desain Istana Kepresidenan merupakan hasil karya seniman dari Bali, Nyoman Nuarta. Rancangan gambar tersebut sangat identik dengan Indonesia melalui desain bangunan berbentuk burung garuda. Desain tersebut diterima Jokowi lewat sayembara Istana Presiden yang digelar oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Kemudian, tahap kedua pembangunan IKN dilanjutkan pada 2025-2023 dengan mulai mengembangkan IKN sebagai pusat inovasi dan ekonomi, seperti membangun perkantoran, hotel, dan kawasan industri. Sementara itu tahap terakhir pembangunan pada 2035-2045 berfokus pada penyelesaian pembangunan seluruh infrastruktur dan ekosistem 3 kota.

Fakta-fakta IKN,
Ibu Kota Baru Indonesia

Dibangun bertahap hingga 2045

Nama “Nusantara” dipilih dari 80 calon nama yang dihiumpun

Instana Kepresidenan yang didesain oleh seniman Nyoman Nuarta menjadi prioritas pembangunan

Pembangunannya membutuhkan Rp 466 triliun yang diambil dari berbagai skema pendanaan, mulai dari APBN hingga kerja sama dengan swasta

Wilayah daratnya seluas 252.600 hektare, sedangkan wilayah lautnya 69.769 hektare

Dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, jabatan setingkat menteri yang dipilih dan dilantik oleh presiden

Tiga kota tersebut merupakan ekosistem utama pembentukan IKN yang progresif. Samarinda diasosiasikan sebagai jantung yang menjadi pusat sejarah Kalimantan Timur dengan sektor energi yang diremajakan, Balikpapan sebagai pimpul hilir migas dan logistik, serta IKN sebagai saraf pusat Inti pemerintah dan pusat inovasi hijau. Terakhir, Kalimantan Timur berfungsi sebagai paru-paru pertanian hulu dan pusat wisata alam.

Kolaborasi dari tiga kota itu merupakan bentuk dari perwujudan konsep smart city yang diusung dalam pembangunan IKN. Juru Bicara Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Troy Pantouw menyebut, Konsep smart city di IKN tidak hanya mendukung adaptasi teknologi digital dalam kehidupan urban, tetapi juga keselarasan dengan alam.

Membangun IKN tentu saja adalah proyek besar yang membutuhkan dana banyak. Untuk memenuhi kebutuhan dana, pemerintah tidak sepenuhnya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan juga menggunakan skema investasi. Keseluruhan pembangunan akan menghabiskan Rp466 triliun.

Dari uang sebanyak itu, anggaran dari APBN sebesar Rp89,4 triliun atau 19,2 persen akan digunakan untuk pembangunan Istana Negara, bangunan strategis militer, pengadaan infrastruktur, dan ruang terbuka hijau. Kemudian, skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta yang digunakan untuk pembiayaan gedung eksekutif, legislatif, yudikatif, rumah dinas ASN/TNI/POLRI, sarana pendidikan, museum, dan sarana kesehatan berkontribusi sebesar 54,6 persen atau sebesar Rp 254,436 triliun. BUMN/D juga turut dilibatkan untuk pembiayaan pembangunan perumahan umum, universitas, pusat perbelanjaan, dan sektor ekonomi lainnya dengan porsi 26,2 persen atau sebesar Rp122,092 triliun. Sementara itu, sektor KPBU dan swasta akan menyumbang 253,4 triliun, lalu BUMN serta BUMD berpartisipasi sebesar 123,2 triliun.

Belajar dari Negara Lain

Memindahkan ibu kota bukan hal asing di dunia ini. Tak hanya Indonesia, sejumlah negara juga pernah memindahkan ibu kotanya.

Pemindahan ibu kota ini ada yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam, misalnya Brasil. Saat belum merdeka dan masih berada di bawah kekuasaan Portugis, ibu kota Brasil adalah Salvador. Lalu pada 1763, ibu kota dipindah ke Rio de Janeiro, dan pindah lagi ke Brasilia pada 1960 saat negara di Amerika Selatan tersebut sudah merdeka.

Pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia merupakan salah satu inspirasi bagi Indonesia. Pada 2019 silam, Menteri PPN/Kepala Bappenas saat itu Bambang Brodjonegoro menyebut bahwa alasan pemindahan ibu kota Indonesia dan Brasil memang serupa, yakni pemerataan pembangunan. Di Brasil, pembangunan yang awalnya lebih banyak bertumpu di daerah pesisir menjadi meluas hingga ke pedalaman Amazon.

Bambang Brojonegoro

“Ketika ekonomi bertumbuh di Rio De Janeiro dan Santos, wilayah pedalaman dan Amazon tertinggal dibandingkan wilayah pantai. Upaya pemindahan ibu kota ke wilayah Amazon bisa dibaca sebagai upaya pemerataan pembangunan. Brasilia tidak hanya pusat pemerintahan, tetapi menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi wilayah sekitarnya." ujar Bambang dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 yang digelar di Gedung Widjojo Nitisastro, Kementerian PPN/Bappenas, Rabu (10/7/2019).

"Meski wilayah Amazon masih kalah dibandingkan wilayah pantai, tapi ketimpangan bisa diatasi. Untuk itu, kita juga berupaya meratakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pendapatan dan ekonomi ini yang harus kita atasi. Paling tidak, kita dapat mengurangi ketimpangan tersebut," lanjutnya.

Berbagai negara memindahkan ibu kota karena alasan yang beragam. Salah satu alasan yang paling umum adalah kondisi ibu kota lama yang kurang ideal, baik itu dalam hal geopolitik maupun infrastruktur dan kepadatan penduduk. Biasanya, bekas ibu kotanya kemudian tetap menjadi kota terbesar sekaligus pusat ekonomi di negara tersebut.

Brasil juga adalah salah satu negara yang melakukan pemindahan ibu kota seperti demikian sehingga pusat ekonomi dan pemerintahannya tidak berada di satu kota yang sama. Contoh lainnya adalah Nigeria yang memindahkan ibu kota dari Lagos dan Abuja, Pakistan dari Karachi ke Islamabad, juga Kazakhstan awalnya beribukota di Almaty menjadi Astana.

Tetangga Indonesia di Asia Tenggara juga pernah memindahkan ibu kota. Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005. Sayangnya, pemindahan ibu kota Myanmar itu dinilai gagal.

Pemerintah Myanmar membangun Naypyitaw dengan berbagai infrastruktur mentereng, mulai dari jalan raya yang lebar, pusat perbelanjaan, hingga lapangan golf. Namun, kotanya justru sepi bagaikan kota hantu, sementara pembangunannya memakan biaya hingga 4 miliar dolar AS yang didapat dari utang China.

Sementara itu, Malaysia yang kerap disalahpahami bahwa mereka memindahkan ibu kota ke Putrajaya pada 1999, nyatanya tetap menjadikan Kuala Lumpur sebagai ibu kota. Kenyataannya, Putrajaya memang dibangun sebagai tujuan pemindahan pusat pemerintahan, namun tak lantas menjadikannya sebagai ibu kota.

Peluang dan Tantangan IKN

Berkaca dari kota-kota besar yang sudah lama berdiri di Indonesia, dibutuhkan paradigma baru dalam membangun kota. Ini diperlukan untuk menghindari masalah yang selama ini menjangkiti kota-kota besar tersebut, mulai dari belum terpenuhinya kebutuhan hunian, fasilitas yang tidak merata, kemacetan lalu lintas, hingga polusi.

Hal itu disampaikan oleh Bambang Brodjonegoro dalam webinar bertajuk “Refleksi Pembangunan IKN dari Perspektif Lingkungan dan Kelembagaan” yang diselenggarakan oleh Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Kamis (6/7/2023). Menurut Bambang yang hadir dalam kapasitasnya sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, IKN punya peluang untuk menjadi kota yang berbeda dan ideal karena dibangun dari nol, berbeda dengan kebanyakan kota besar lain yang tumbuh karena didorong oleh market yang menginginkan orang tinggal di sana.

Dengan IKN, kita berharap, ketika kita membangun kota dari nol, kita akan munya kota yang menjadi standar bagi pembangunan
kota lain di Indonesia

Bambang

Bambang Brodjonegoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan eks Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia/Kepala Bappenas

Bambang menjelaskan bahwa idealisme IKN tertuang dalam visi sebagai kota paling berkelanjutan di dunia. IKN diharapkan menjadi kota yang punya ruang hijau memadai, terhubung dengan transportasi publik, energinya terbarukan, mandiri secara pangan, aman dan terjangkau, efisien dengan teknologi, bebas kemiskinan, juga menjunjung keberagaman.

IKN, Standar Baru Pembangunan Kota?

Joko Widodo

Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan jadi standar baru bagi pembangunan kota di Indonesia

Pada Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur

Namun di balik peluang tersebut, ada pula tantangan yang dihadapi dalam pembangunan IKN. Dosen Teknik Geologi Universitas Diponegoro Andang Bachtiar yang juga menjadi pembicara di webinar ini mengingatkan bahwa dari aspek alamiah, IKN menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan air dan potensi longsor.

"Minim (akuifer air tanah). Kalau boleh dikatakan, nggak ada sumber air baku, apalagi di KIPP-nya. Itu lempung sampai 100-2000 meter, pasir ada paling 2, 3 meter," ujar Andang.

Terkait ancaman longsor, Andang menjelaskan bahwa penyebabnya adalah IKN berada di wilayah yang didominasi oleh struktur patahan naik. 

“Ini patahan naik dan endapannya laut dalam. Secara geologi, kalau kita punya endapan laut dalam dan ada di permukaan bumi, dia pasti diangkat dan ditomahkan, istilahnya." katanya.

Selain longsor, ada pula ancaman bahaya lain, di antaranya gunung lumpur dan kandungan gas dangkal di tanah, juga kebakaran hutan dan batubara, serta tsunami bawah laut Selat Makassar. Andang mengingatkan bahwa hal tersebut perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap biaya dan mitigasi bencana.

Bukan cuma dari alam, tantangan IKN juga datang dari manusia itu sendiri. Ini disampaikan oleh Dosen SAPPK ITB Saut Aritua Hasiholan Sagala yang mengemukakan bahwa tantangan yang dimaksud adalah soal bagaimana warga IKN berperilaku.

Saut memberi contoh terkait perilaku masyarakat yang perlu diperhatikan, yakni cara warga mengolah sampahnya. Ini penting agar bagaimana warga IKN bisa berperilaku selaras dengan visi dan misi kotanya. Dalam konteks pengelolaan sampah, maka ini berkaitan dengan circular economy yang ingin diterapkan di IKN.

"Di IKN, tadi disebutkan impiannya adalah menjadi kota yang secara pengelolaan persampahan, circular economy, ini sebetulnya tidak hanya aspek struktur atau infrastruktur, tetapi aspek behavior-nya juga. Jadi artinya, perlu ada perhatian tentang bagaimana masyarakatnya bisa lebih siap untuk betul-betul menjadi contoh global citizen," terang Saut.

Dibuat oleh Good News From Indonesia
Logo GNFI