Logo GNFI
Table of Content
Pemilu dan Dinamikanya dari Masa ke Masa

Sejak akhir tahun 2023 hingga memasuki awal 2024, pemilu menjadi topik yang ramai diperbincangkan di mana-mana. Di berbagai sudut kota dan desa, tampak pula warna-warni atribut kampanye. Ya, Pemilu 2024 memang sudah dekat.

Pemilu 2024 dijadwalkan diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Nantinya, masyarakat Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, serta DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sebagaimana pemilu seperti biasanya, selalu ada berbagai dinamika yang mewarnai suasana jelang pemilu. Dari kelompok para elite yang bertarung di gelanggang, misalnya ada drama pecah kongsi antara Presiden Joko Widodo dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, juga pindahnya Partai Demokrat dari kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ke pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Sementara itu di kalangan masyarakat, dinamikanya tak jauh-jauh dari obrolan seputar partai politik (parpol) atau sosok yang akan mereka pilih. Tak ketinggalan, aksi saling puji dan kritik, baik itu yang disampaikan sambil berguyon maupun serius.

Setiap pemilu memang punya dinamikanya masing-masing. Sejak pertama kali diselenggarakan pada 1955, pemilu senantiasa punya seperangkat aturan yang berbeda-beda, yang mana itu pula yang membuat pemilu senantiasa dinamis dan memiliki kisah yang kemudian menjadi sejarah.

Pemilu 1955,
Pemilu “Resmi” Pertama Indonesia

Sejarah mencatat jika pemilu pertama di Indonesia digelar pada 1955. Namun, siapa sangka jika  pemilihan pemimpin melalui mekanisme pemungutan suara serupa pemilu ternyata sudah dikenal di bumi Nusantara sejak ratusan tahun silam?

Ya, jauh sebelum sistem demokrasi dikenal, sudah ada beberapa kelompok masyarakat Nusantara yang melaksanakan "pemilu". Di Kalimantan misalnya, terdapat komunitas bernama Republik Lanfang yang memilih pemimpinnya lewat pemilu.

Di tingkat terbawah pemerintahan, pemungutan suara dilakukan untuk memilih kepala kampung di Lanfang. Sugiri Kustedja dalam artikelnya di Jurnal Sosioteknologi menjelaskan bahwa kepala kampung yang disebut laoda (tetua) tersebut menjalankan tugasnya dengan didampingi oleh futouren alias pembantu ketua.

Menariknya lagi, pemilihan pemimpin lewat pemungutan suara juga dikenal di Depok sejak abad ke-19. Masyarakat Depok yang merupakan pekerja dari tuan tanah bernama Cornelis Chastelein memilih sendiri pemimpin mereka setelah pemerintahan Hindia Belanda pada 1871 mengizinkan Depok untuk memiliki pemerintahan sendiri.

Yano Jonathans dalam Depok Tempo Doeloe mencatat bahwa masyarakat Depok menggelar pemilihan pemimpin yang disebut "Presiden" setelah meninggalnya pemimpin sebelumnya, Jarong van Bali. Ia adalah orang yang ditunjuk langsung oleh Chastelein untuk memimpin dan mengatur segala urusan masyarakat Depok.

Ada empat orang yang tercatat pernah menjadi Presiden Depok. Mereka bertugas dengan jabatan yang setara dengan wali kota pada masa kini, hingga akhirnya pemerintahan Depok bubar pada 1950 karena Pemerintah Indonesia menghapus semua tanah partikelir. Depok pun sepenuhnya tunduk kepada hukum dan aturan Indonesia, termasuk dalam hal memilih pemimpin.

Setelah Republik Indonesia merdeka, Indonesia menyelenggarakan pemilu pertamanya pada 1955. Pemilu ini menjadi peristiwa penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.

Pemilihan umum tahun 1955 terdiri dari dua tahap. Pertama, pada 29 September 1955, untuk memilih anggota DPR. Kedua, pada 15 Desember 1955, untuk memilih anggota Dewan Konstituante yang bertanggung jawab membentuk undang-undang.

kulon progo

Sejak awal kemerdekaan, penyelenggaraan pemilihan umum telah menjadi salah satu program utama yang diusung oleh para pendiri negara. Meskipun rencana dari Maklumat X menyatakan bahwa pemilihan umum diadakan pada Januari 1946, namun pelaksanaannya terhambat beberapa tahun karena agresi militer Belanda. Di samping itu, ketidaksiapan perangkat perundang-undangan dan infrastruktur menjadi faktor yang juga mengakibatkan pelaksanaan pemilu terpaksa ditunda.

Pemilihan umum tahun 1955 diselenggarakan sebagai bagian dari langkah demokratisasi pascakemerdekaan Indonesia. Tujuan pemerintah pada masa itu adalah untuk mengukuhkan sistem demokrasi parlementer dan memberikan hak kepada warga negara untuk ikut serta dalam memilih perwakilan mereka dalam proses politik.

Hal ini menjadi langkah signifikan dalam pembentukan pemerintahan yang lebih representatif dan mendirikan dasar demokrasi di Indonesia, dengan UU No. 7 Tahun 1953 sebagai dasar hukum pelaksanaannya. Secara konseptual, pelaksanaannya memang memiliki perbedaan dengan Maklumat X.

Pada Pemilu 1955, persaingannya memperebutkan 260 kursi DPR, 520 kursi Konstituante, dan 14 wakil golongan minoritas yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam pemilihan anggota DPR, 36 parpol, 34 ormas, dan 48 peserta independen terlibat. Sementara pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 parpol, 23 ormas, dan 29 peserta independen. Pemilu ini sering dianggap sebagai yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Partisipasinya mencakup berbagai parpol dengan berbagai orientasi.

Proses menuju penyelenggaraan Pemilu 1955 melibatkan tiga masa kabinet yang berbeda. Kabinet Wilopo bertanggung jawab atas persiapan, sementara pelaksanaannya dilakukan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Burhanuddin Harahap.

Sistem pemilihan yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah sistem pemilihan proporsional tertutup atau dikenal sebagai sistem berimbang. Dalam sistem ini, pemilih memiliki opsi untuk memberikan suara kepada calon individual dan juga dapat memberikan suara kepada parpol yang ikut serta dalam pemilihan.

Suara yang diberikan kepada calon akan dianggap sebagai dukungan langsung untuk calon tersebut, sedangkan suara yang diberikan kepada parpol akan didistribusikan kepada calon sesuai dengan nomor urutnya.

Seseorang juga dapat menjadi kandidat independen tanpa melibatkan diri dalam parpol tertentu. Penentuan kandidat terpilih dilakukan berdasarkan suara yang diterima, sesuai dengan Pembagian Nomor Pemilih Daftar (BPPD).

345678910

Pemilu 1955 menghasilkan kemenangan PNI dengan suara sebanyak 8.434.653 atau 22,32 persen. Parpol berlogo banteng itu pun membentuk pemerintahan bernama dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Sukarno menjadi presiden pertama yang terpilih dari pemilu.

Sementara itu, suara terbesar dalam pemilihan Dewan Konstituante juga diraih oleh PNI. Total, PNI memperoleh 9.070.218 suara atau 23,97 persen dari total suara (119 kursi).

Ketika Golkar Menguasai Pemilu

Sejak Indonesia hingga rezim Orde Lama berakhir, Indonesia hanya menyelenggarakan satu pemilu. Tak ada lagi pemilu yang digelar hingga pada tahun 1967, Suharto diangkat sebagai presiden setelah Pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak oleh MPRS. Kala itu, Suharto dipilih sebagai pejabat presiden selama satu tahun dari 1967 hingga 1968.

MPRS sebenarnya mengamanatkan kepada rezim Orde Baru untuk menyelenggarakan pemilu paling lambat pada 5 Juli 1968. Tetapi, pada sidang istimewa MPRS tahun 1967, Soeharto meminta pemilu diundur pada tahun 1971.

“Alasan mundurnya jadwal Pemilu ini karena pemerintah butuh waktu untuk menyelenggarakannya,” tulis Martinus Danang dalam Pemilu 1971: Pemilu Pertama Orde Baru dan Awal Dominasi Golkar yang dimuat Kompaspedia.

Pada waktu tidak terlalu lama, Orde Baru menyelesaikan UU Pemilu. Pemerintah juga melakukan pendataan ulang untuk pemilih. Dari hasil sensus tahun 1970, tercatat yang berhak memilih adalah 57.750.615 orang atau 50 persen dari 114.972 jiwa.

Orde Baru juga menyusun ulang parpol apa saja yang berhak ikut kontestasi Pemilu. Terpilihlah sembilan parpol plus Partai Golongan Karya. Kesembilan parpol yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Hasil Pemilu 1971, menampilkan Golkar sebagai pemenang Pemilu dengan meraih 60 persen suara, disusul NU 16 persen, dan Parmusi 5 persen. Hal ini tak terlepas dari kepatuhan dan ketakutan kepada penguasa.

345678910

Pemilu 1971 menjadi awal kejayaan Golkar sebagai mesin politik Orde Baru. Sejak itu, Golkar selalu menjadi pemenang dalam lima edisi Pemilu berikutnya, yakni 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Hal ini tak terlepas setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 6 tahun 1970 untuk menetapkan seluruh pegawai negeri sipil memilih Golkar. Tetapi yang menarik, ada dua partai baru yang muncul akibat kebijakan penyederhanaan partai.

Jogja Arsip

Pertama adalah PPP yang merupakan gabungan dari parpol-parpol Islam seperti, NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Kedua adalah PDI yang adalah gabungan PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.

Pemilu yang diselenggarakan selama era ini lebih merupakan mobilisasi massa daripada partisipasi rakyat. Hal ini ditambah kecurangan, tekanan, teror dan intimidasi. Karena itu wajar apabila sejak jauh-jauh hari pemenang Pemilu sudah diketahui.

“Sepanjang Pemilu Orba, Golkar selalu unggul dengan lebih dari 60 persen suara. PPP dan PDI tidak lebih sebagai partai pelengkap. Keduanya terus-menerus menempati secara berurutan peringkat dua dan tiga,” tulis Topan Yuniarto dalam Sejarah Kampanye Pemilu di Indonesia di Kompaspedia.

Topan menjelaskan selama pelaksanaan kampanye era Orde Baru, terlihat adanya ketimpangan dalam pemberian fasilitas, kesempatan, dan dukungan aparat. Berbagai laporan mengenai tindakan diskriminasi dan intimidasi terjadi di lapis bawah.

Namun, PPP terlihat bisa menandingi Golkar di berbagai wilayah. Hal ini tidak terlepas dari identitas PPP yang lebih jelas yakni Islam. Dengan memasukan identitas agama dalam kampanye, PPP bisa meraih suara terbanyak di Jakarta dan daerah Islam lainnya.

Supaya bisa menandingi PPP, Golkar juga banyak menampilkan banyak ulama dan kiai dalam kampanye. Bahkan pada 1980, agar meredam politik Islam, Orba memberlakukan asas tunggal Pancasila.

“Kebijakan ini dapat dianggap sebagai upaya Golkar untuk melemahkan PPP yang merupakan partai berbasis agama. Alhasil, pada pemilu berikutnya perolehan suara PPP anjlok,” jelasnya.

Sepanjang Pemilu era Orba, kampanye juga diwarnai sejumlah aksi kekerasan pendukung parpol. Hal ini karena adanya mobilisasi massa besar-besaran berupa arak-arakan dan konvoi selama masa kampanye.

“Salah satunya adalah Peristiwa Lapangan Banteng tahun 1982, di mana terjadi bentrokan antara massa pendukung Golkar dan PPP yang mengakibatkan ratusan orang luka-luka dan beberapa orang meninggal,” jelas Topan.

Orde Baru Runtuh, Lahirlah Pemilu Luber Jurdil
Demo

Rezim Orde Baru beserta kedigdayaan Golkar runtuh pada 1998. Kejadian ini mengubah struktur politik dan ketatanegaraan di Indonesia.

Suharto mengundurkan diri dari kursi Presiden RI pada 21 Mei 1998 saat masa jabatannya nyaris 32 tahun. Momen bersejarah itu diawali krisis moneter dan fiskal sepanjang Juli—Agustus 1997, lalu berlanjut hingga tahun berikutnya.

Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 10 Maret 1998 memutuskan Suharto kembali menjadi presiden hingga 2003, berpasangan dengan Bacharudin Jusuf (B.J.) Habibie. Pengumuman ini membuat rakyat tambah berang.

Ribuan mahasiswa dan masyarakat umum turun ke jalan. Gelombang unjuk rasa gempar di seluruh Indonesia. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta dilaporkan tewas tertembak saat berdemonstrasi di gedung DPR/MPR RI pada 12 Mei 1998. Peristiwa itu hingga kini diperingati sebagai Tragedi Trisakti. Situasi semakin tidak terkendali. Desakan mundur terus berdatangan, termasuk dari para aktivis dan cendekiawan.

Tuntutan “Presiden Turun” untuk Soeharto mencapai puncaknya ketika Ketua DPR/MPR RI saat itu, Harun Mohamad Kohar alias Harmoko, menyampaikan permintaan agar Suharto melepas jabatannya. Tepat 21 Mei 1998, Suharto mengumumkan pengunduran dirinya di Credentials Room, Istana Merdeka, Jakarta. Jabatan presiden pun dia serahkan kepada sang wakil, Habibie. Saat itu juga, Ketua Mahkamah Agung, Muladi, melantik Habibie sebagai Presiden RI ketiga pada pukul 09.10 WIB.

Demo 2

Era reformasi pun dimulai. Di bawah tangan Habibie, pemilu legislatif kembali digelar pada Senin, 7 Juni 1999. Pesta demokrasi kali ini dianggap publik sebagai pemilu Indonesia yang paling langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil alias Luber Jurdil, setelah terakhir kali pada 1955.

Sejak 1999, Indonesia tetap melaksanakan pemilu setiap lima tahun sekali. Kebebasan pers dan berpendapat menguat di era Habibie. Pemilu legislatif 1999 berkonsep multipartai. Parpol menjamur pada masa Reformasi setelah Habibie mengesahkan UU No.2 Tahun 1999 Tentang Parpol, UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU No.4 Tahun 1999 Tentang MPR dan DPR.

Sebanyak 48 parpol mengikuti kontestasi Pemilu 1999. Pemungutan suara dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada 7 Juni 1999 untuk memilih 462 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota periode 1999—2004.

Pada tahun itu, untuk pertama kalinya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), selaku penyelenggara pemilu bersifat independen. Pemilu 1999 terlaksana sangat terbuka dan transparan karena melibatkan lembaga pengawas independen dalam dan luar negeri.

Menurut Bahrul Ulum dalam Bodohnya NU apa NU dibodohi?: Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik,sejumlah lembaga pemantau pemilu independen menilai Pemilu 1999 jauh lebih baik dan memenuhi syarat sebagai pemilu yang demokratis atau free and fair election.

1234567

Meski dianggap demikian, Pemilu 1999 masih mengadopsi sistem Pemilu Orde Baru. Beberapa di antaranya: penggunaan sistem proporsional daftar tertutup, susunan MPR masih menggunakan utusan daerah dan golongan, KPU masih melibatkan pemerintah ditambah anggota parpol.

Setelah pemilihan dewan legislatif selesai, MPR RI menggelar sidang umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden Indonesia berlangsung pada 20 Oktober 1999, sedangkan pemilihan wakil presiden dilaksanakan pada 21 Oktober.

Dalam pemilu tidak langsung itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilantik sebagai Presiden RI bersama wakilnya, Megawati Soekarnoputri. Dua tahun kemudian, terjadi pergantian presiden. MPR RI mengadakan sidang istimewa dan menetapkan Megawati sebagai presiden, menggantikan Gus Dur, dan Hamzah Haz sebagai wakilnya. Itulah pemilihan presiden tidak langsung terakhir di era Reformasi.

Pemilu 2004, Saat Presiden Dipilih Langsung
Surat Suara

Tahun 2004 menandai era baru perpolitikan Tanah Air di mana Pemilu 2004 hadir sebagai pemilu pertama pascaamandemen UUD 1945. Saat itulah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Pemilu 2004 didahului dengan pemilihan legislatif (pileg) untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD yang digelar pada 5 April. Berakhirnya Orde Baru membuat masyarakat lebih leluasa dalam berpolitik sehingga pemilu saat itu kembali diramaikan oleh banyak parpol. Total, ada 24 parpol yang ikut serta.

Selanjutnya, pemilihan presiden  putaran pertama diselenggarakan pada 5 Juli 2004. Terdapat lima pasangan calon yang bertarung memperebutkan kursi RI1 dan RI2, mereka adalah Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama ini mencapai 153.320.544 orang. Dari lima kandidat capres-cawapres, pasangan SBY-Jusuf Kalla mendapat suara terbanyak dengan persentase 33,57 persen, kemudian diikuti pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan persentase 26,62 persen. Dengan demikian, dua paslon inilah yang maju ke putaran kedua.

12345678910

Pilpres putaran kedua selanjutnya digelar 20 September 2004. Hasilnya, SBY–Jusuf Kalla berhasil mengungguli Megawati–Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 60,62 persen berbanding 39,38 persen.

Selain Pilpres secara langsung, Pemilu 2004 juga menjadi momen diterapkannya sistem pemilu proporsional terbuka yang memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menentukan partai politik ataupun calon legislatif yang bersangkutan.

Kemudian pada 2009, ada tiga pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang bersaing di Pilpres saat itu. Mereka adalah SBY-Boediono, Megawati  Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Wikimedia_Commons_(4).jpg

Pemenang Pilpres 2009 adalah pasangan SBY–Boediono dengan perolehan 73.874.562 suara. Sementara pemilihan legislatif pada waktu itu kian ramai oleh 38 partai politik yang menjadi peserta. Partai Demokrat meraih suara terbanyak dengan perolehan suara 21.703.137 dan 148 kursi di DPR. Adapun sistem pemilihan yang berlaku tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 2004.

Ketika Dunia Maya Memanas

web.kominfo.go.id.jpg

Selepas 2009, situasi pemilu mengalami perubahan signifikan. Ingar bingar pawai atau arak-arakan yang biasanya dilakukan untuk menelusuri sudut kota mulai tergeser tren kampanye di media sosial. Kampanye tidak lagi hanya berupa panggung musik atau bagi-bagi kaos, tetapi juga menampilkan diri di dunia maya.

Di X (sebelumnya bernama Twitter) sejak awal masa kampanye pilpres hingga hari pemilihan tahun 2014, setidaknya ada 95 juta cuitan tentang pemilu yang dipublikasikan oleh pengguna Twitter. Bahkan, cuitan tentang kandidat capres yang diunggah oleh akun Twitter @DennyJA_WORLD menempati posisi kedua cuitan yang paling banyak di-retweet ulang oleh pengguna Twitter sedunia.

Sayangnya, tidak hanya kampanye, ujaran-ujaran kebencian di medsos juga turut mewarnai Pemilu 2014, terutama pemilihan presiden dan wakil presiden. Tahun tersebut menjadi tahun pertama adanya perang siber dalam kontestasi politik Indonesia. Bahkan, politik identitas digunakan untuk menciptakan kampanye hitam (fitnah) sebagai alat serangan terhadap lawan.

Saat itu, Indonesia hanya memiliki dua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019. Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014. Sementara itu, Joko Widodo alias Jokowi, Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.

Aryojati Ardipandanto dalam tulisannya yang diterbitkan jurnal Politica mencatat bahwa lembaga pemerhati media sosial, Politica Wave mengungkapkan bahwa pembahasan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) meningkat drastis saat momen pemilu. Setidaknya ada 458.678 percakapan yang mengarah pada kampanye hitam di berbagai platform periode Mei–Juni 2014.

Jokowi-JK disebut sebagai paslon yang paling banyak menerima serangan kampanye hitam dengan persentase 74,5 persen. Jokowi dinarasikan sebagai capres boneka, keturunan Tionghoa, didukung Zionis, dituduh memiliki latar belakang dari Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak bisa ibadah, dan masih banyak lagi. Sementara itu, Prabowo-Hatta menerima kampanye hitam sebesar 16,5 persen dengan narasi tokoh psikopat, transaksi saham palsu, memiliki dua kewarganegaraan, hingga video pemukulan di KPU.

Perlu digarisbawahi, kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Kampanye hitam merupakan istilah yang merujuk pada tuduhan-tuduhan yang belum terbukti atau fitnah, sedangkan kampanye negatif berarti usaha menyerang lawan lewat kelemahan dan kesalahan yang telah diperbuat.

Perang kampanye di media sosial semakin sengit setelah beredarnya kabar salah seorang capres menggunakan konsultan ahli kampanye hitam dan kampanye negatif asal Amerika bernama Rob Allyn. Ketua Umum Partai Gerindra saat itu, Suhardi membenarkan bahwa Rob Allyn menjadi salah satu konsultan politik Prabowo-Hatta. Serangan kampanye hitam yang diterima paslon Jokowi-JK kemudian dibalas dengan menggaungkan kampanye putih yang dilakukan oleh Denny J.A dari pihak Jokowi.

Manuver kampanye putih itu berhasil memenangkan Jokowi-JK dengan perolehan 53,15 persen, sedangkan Prabowo-Hatta mendapat suara 46,85 persen. Prabowo sempat menolak hasil pemilu karrna menduga ada kecurangan, namun Jokowi-JK tetap dinyatakan sebagai pemenang pilpres dan dilantik menjadi presiden-wakil presiden.

123456789

Lima tahun berselang, Prabowo kembali bertarung melawan Jokowi di pilpres dengan suasana di dunia maya yang masih panas. Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin, kemudian Prabowo menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno. Kali ini, Jokowi kembali mengungguli Prabowo lewat kemenangan 55,5 persen berbanding 45,5 persen.

Tahun 2019 merupakan tahun di mana Pelaksanaan Pileg dan Pilpres diadakan secara serentak. Lembaga kajian Australia, Lowy Institute menyebut bahwa Pemilu 2019 di Indonesia menjadi paling rumit dan paling menakjubkan di dunia karena hanya dilaksanakan dalam satu hari dari yang sebelumnya diadakan melalui dua tahap yang berbeda dalam satu tahun. Perubahan dan pelaksanaan pemilu serentak ini telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. 

Ada pula catatan kelam dari penyelenggaraan Pemilu 2019. Pertama, menguatnya polarisasi yang terjadi di masyarakat. Menurut Ibnu Chaerul Mansyur dalam Jurnal Politik Profetik, hal ini menjadi perhatian lebih mengingat beberapa studi politik mengungkap bahwa sebelum pilpres 2014–2019, polarisasi politik melemah karena menurunnya pengaruh ideologi, orientasi keagamaan, dan aliran.

Catatan kedua, beban kerja para petugas Pemilu yang terlalu besar menyebabkan 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas KPPS sakit. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut, meninggalkan para petugas KPPS juga didukung dengan penyakit penyerta yang diderita para petugas. 

Ketiga, tragedi Pemilu yang sangat memprihatinkan pada 2019 ialah adanya demonstrasi besar-besaran menyusul kekalahan Prabowo-Sandiaga. Setelah KPU mendeklarasikan kemenangan Jokowi dalam pilpres 2019, massa aksi pendukung Prabowo-Sandiaga berdemonstrasi karena dugaan adanya pelanggaran pemilu. Akibatnya, terjadi bentrokan antara massa pendemo dengan aparat.

Dibuat oleh Good News From Indonesia
Logo GNFI