Logo FNKLogo FNK

Memahami Makna Dasar Perubahan Iklim dan Upaya Menghadapinya

Perubahan iklim, perkara yang dapat dikatakan sebagai tingkatan tertinggi dari segala permasalahan lingkungan yang ada di muka bumi ini. Bagaimana tidak? Berbagai aktivitas manusia dalam bentuk sekecil apapun yang memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan, kenyataannya memang akan berakhir sebagai penyumbang dari munculnya fenomena perubahan iklim.

Namun sebelum membahas lebih jauh, rasanya ada hal lain yang tak kalah penting dan sejatinya tak boleh luput dari perhatian. Yaitu mengenai seberapa besar sebenarnya pemahaman masyarakat terhadap isu perubahan iklim yang selama ini digaungkan?

Bukti dari banyaknya masyarakat yang paham akan isu perubahan iklim dan berpartisipasi dalam penanganannya memang sudah jelas dan tak perlu diragukan lagi.

Namun, kenyataan bahwa masih ada sebagian masyarakat yang tidak memahami isu ini, atau lebih parahnya lagi sudah paham tapi belum memercayai perubahan iklim sebagai ancaman kehidupan yang serius, nyatanya juga menjadi persoalan yang tak bisa dikesampingkan.

Fakta mengenai hal tersebut diungkap oleh Akhyari Hananto, dalam acara virtual Festival Negeri Kolaborasi (FNK)Indonesiayang diselenggarakan oleh Good News From Indonesia (GNFI), Kamis (30/9/2021).

Dalam pemaparannya, Founder sekaligus Editor in Chief GNFI tersebut menyampaikan bahwa menurut riset yang dilakukan oleh YouGov pada tahun 2019, diketahui bahwa sebanyak 6 persen orang Indonesia tidak merasa bahwa iklim dunia berubah.

AssetAsset

"…Menurut survei tersebut, Indonesia juga adalah negara dengan persentase penyangkal perubahan iklim paling tinggi di antara 23 negara yang disurvei oleh YouGov pada tahun 2019. 8 persen orang Indonesia menyatakan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia adalah tipuan dan merupakan bagian dari teori konspirasi,"

Akhyari Hananto
Founder & Pemimpin Redaksi GNFI

Pemahaman mendasar perubahan iklim dan kondisinya saat ini

Fakta yang sebelumnya dipaparkan menjadi bukti nyata bahwa memang masih ada yang belum memahami secara mendalam makna dasar dari isu perubahan iklim yang selama ini terjadi.

Lantas, bagaimana sebenarnya penjelasan sederhana mengenai proses terjadinya perubahan iklim, dan mengapa aktivitas manusia selalu dikaitkan sebagai penyebab terbesar?

Jika ditelisik lebih jauh, isu perubahan iklim sebenarnya pertama kali terjadi sejak revolusi industri di sekitar tahun 1850-an, ketika mulai ditemukan batu bara dan bahan bakar fosil yang membawa perubahan pada kehidupan manusia.

Segala aspek kehidupan yang membutuhkan energi menimbulkan efek gas yang tak terhindarkan, dan menyebabkan udara serta suhu bumi menjadi lebih panas.

Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengungkap, dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini, pada tahun 2100 mendatang diperkirakan akan terjadi kenaikan suhu bumi mencapai 2,7 derajat celsius.

Dan hal tersebut yang akan menjadi cikal bakal dari ancaman kehidupan yang terjadi di waktu yang akan datang, seperti kekeringan dalam skala besar, cuaca ekstrem, hilangnya ketersediaan air bersih, bahkan sampai gelombang panas tak terhindarkan yang dapat mengancam ribuan nyawa.

Nahas, kondisi tersebut yang nyatanya belum dipahami secara mendasar oleh segelintir orang di berbagai negara, termasuk salah satunya Indonesia.

Asset

Dalam kesempatan yang sama, pandangan mengenai penyebab dari masih adanya masyarakat yang tidak memahami atau menaruh perhatian lebih terhadap permasalahan iklim disampaikan oleh Ridzki Rinanto Sigit, selaku Program ManagerMongabay Indonesia.

Ridzki menyebut bahwa pemahaman secara mendasar mengenai perubahan iklim menjadi hal utama yang tak boleh terlewat jika ingin semua pihak khususnya masyarakat Indonesia berkontribusi dalam menangani permasalahan iklim.

AssetAsset

"Biasanya publik itu percaya kalau melihat, kalau cuma mendengar saja itu tidak percaya. Ketika publik belum paham tentang hal ini (isu perubahan iklim), sesuatu yang kita diskusikan menjadi sia-sia,"

Ridzki Rinanto Sigit
Program Manager Mongabay Indonesia

Dampak esktrem lain krisis iklim

Sementara itu dari sisi lain, kondisi memprihatinkan yang timbul sebagai akibat dari krisis iklim juga menghampiri keberlangsungan berbagai objek peninggalan prasejarah yang menjadi bukti akan harta peradaban di Indonesia.

Salah satu yang belakangan mencuri perhatian, mengenai mulai hilangnya lukisan gua atau situs cadas yang diyakini paling awal muncul di dunia dan berada di kawasan kars Kabupaten Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.

Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Indonesia bagian timur diyakini menjadi penyebab utama dari hilangnya penggambaran artistik tertua dari adegan berburu dan kehidupan makhluk purba, yang disebut sudah ada sejak 40 ribu tahun yang lalu tersebut.

Adhi Agus Oktaviana, Ahli Peneliti Muda dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) yang meneliti langsung fenomena yang terjadi pada situs cadas yang berada di kawasan Maros-Pangkep, mengungkap sebuah fakta.

Adhi sebagai salah satu pihak yang ikut serta dalam tim riset dan penelitian Arkenas yang berkolaborasi dengan arkeolog dari Griffth University, menemukan fakta bahwa hilangnya gambar prasejarah atau cadas yang berada di Maros-Pangkep merupakan akibat dari adanya proses perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya proses penggaraman, sehingga membuat permukaan situs tersebut mengelupas.

Tidak hanya di satu wilayah, diketahui bahwa beberapa kerusakan atau hilangnya gambar pada situs cadas yang berada di berbagai wilayah lain seperti Kalimantan dan Papua juga kurang lebih disebabkan karena hal serupa.

AssetAsset

"Pengelupasan pada gambar juga disebabkan karena cuaca yang ekstrem. Bisa panas, berubah menjadi berangin, kemudian tiba-tiba hujan besar yang cipratan airnya kira-kira mengenai gambar-gambar di cadas tersebut,"

Adhi Agus Oktaviana
Ahli Peneliti Muda Pusat Penelitian Arkenas

Ragam upaya pemerintah dalam memerangi perubahan iklim

Menilik sederet permasalahan iklim yang ada, penanganan yang dibutuhkan tentu bukan hanya dari segi pemahaman dan kontribusi masyarakat, melainkan juga sejauh mana peran pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini dalam skala yang lebih luas.

Telah melalui perjalanan panjang, keseriusan pemerintah dalam menghadapi permasalahan iklim sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1992, yang diawali dengan keikut sertaan dalam konvensi Rio.

Berlanjut di tahun 1997, lewat program Protokol Kyoto yang berlangsung hingga bulan Desember 2020, dan saat ini diperpanjang keberlanjutannya melalui Paris Agreement yang di mana program-programnya juga diterapkan sebagai regulasi nasional dalam menghadapi fenomena perubahan iklim.

Kemudian pada tahun 2016, Indonesia juga memiliki Dokumen Komitmen (Nationally Determined Contribution) dengan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya yang dilakukan sendiri (skenario tanpa syarat), dan 41 persen skenario emisi gas rumah kaca yang dilakukan dengan menjalin kerja sama lewat dukungan internasional.

Lain itu, upaya yang diterapkan Indonesia dalam menghadapi ancaman permasalahan iklim juga dilakukan tidak hanya melalui mitigasi bencana, melainkan juga adaptasi untuk ketahanan dari perubahan iklim yang terjadi, di mana keduanya sama-sama memiliki peran penting yang harus dilakukan secara bersamaan.

Adapun beberapa program mitigasi sekaligus adaptasi yang dimaksud di antaranya target penurunan gas rumah kaca, penetapan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan RPJMN, pembentukan dana pengelola lingkungan hidup, pemulihan ekonomi nasional dan food estate, serta penerbitan green bonds atau surat utang negara berbasis program hijau.

infografis kain tenun 0

Andre Sumual: Kita yang Harus Menyesuaikan

Sebagai negara maritim yang dua per tiga luas wilayahnya didominasi oleh lautan, perikanan menjadi hal penting yang memiliki pengaruh besar untuk berbagai sektor lain di Indonesia, terutama ekonomi.

Menilik fakta tersebut, dapat dipastikan bahwa sektor perikanan menjadi salah satu hal yang sangat rentan terhadap perubahan atau krisis iklim, mengingat dampak dari fenomena tersebut telah terbukti secara nyata memunculkan beberapa kondisi yang sangat memengaruhi kondisi di lapangan, seperti cuaca ekstrem, kenaikan suhu permukaan laut (El Niño), perubahan ekstrem arus bawah laut yang memengaruhi penyebaran ikan, dan masih banyak lagi.

Namun sama halnya seperti dampak perubahan iklim yang menciptakan kondisi ketimpangan alam antara suatu wilayah dengan wilayah lain, hal serupa nyatanya juga terjadi di sektor perikanan.

Dalam arti kata, jika beberapa wilayah lautan di berbagai negara mengalami penurunan produksi atau hasil tangkapan ikan. Faktanya, saat ini di Indonesia justru hasil tangkapan ikan sedang mengalami peningkatan terutama di beberapa wilayah tertentu.

Namun apakah kondisi tersebut seutuhnya menunjukkan tidak ada dampak berarti bagi sektor perikanan di tanah air? Atau mungkin dampak tersebut sebenarnya belum terlalu terasa?

Menjawab pertanyaan tersebut, Andre James Oscar Sumual, Komisaris dari PT Perikanan Nusantara (Perinus) memaparkan kondisi terkini sektor perikanan dan situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan terkait dampak permasalahan iklim.

Seperti apa pengaruh perubahan iklim untuk sektor perikanan di Indonesia?

Hasil tangkapan nelayan kan memang sangat bergantung kepada cuaca, menurut pengalaman dan apa yang diungkap oleh para nelayan di lapangan memang belakangan ini sangat berbeda kalau bicara soal pengaruh cuaca.
Kalau dulu cuacanya itu tetap, tangkapan dari bulan sekian sampai bulan sekian. Sekarang agak-agak berubah tentunya karena pengaruh perubahan iklim ini.
Tapi memang isu iklim ini kan sangat berpengaruh khususnya di Indonesia, bukan hanya sebatas kenaikan permukaan dan suhu air laut, tapi juga La Niña (fase dingin suhu air laut), perubahan tekanan angin, perubahan arus laut, dan lain-lain.
Salah satu contoh yang sangat berpengaruh misalnya perubahan arus yang memengaruhi jalur ikan secara keseluruhan. Kalau di Indonesia kita liat ikan itu kan lebih banyak memang di Indonesia bagian timur, kondisi nyata bisa dilihat dulunya mungkin populasi ikan katakanlah ada di jalur A tapi karena perubahan arus yang sangat tinggi akibat perubahan iklim sekarang sudah berpindah jalur ke wilayah jauh lainnya.
Hal itu kan yang menjadi kesulitan tersendiri bagi para nelayan yang sudah biasa melakukan pencarian ikan pada wilayah tertentu, tapi ternyata populasi ikan di wilayah yang bersangkutan sudah tidak ada.

Energi Baru Terbarukan Jadi Harapan Besar

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, akar atau permasalahan awal dari terjadinya perubahan iklim sejatinya dimulai sejak revolusi industri yang mulai menggunakan bahan bakar fosil secara masif sejak tahun 1850-an.

Sehingga jika ditelisik lebih mendalam, apabila Indonesia benar-benar ingin melakukan upaya nyata dalam menanggulangi permasalahan iklim, perubahan besar yang dapat dilakukan adalah dengan meninggalkan secara penuh penggunaan bahan bakar fosil dalam kehidupan sehari-hari.

Bukan hal yang mustahil jika Energi Baru Terbarukan (EBT), dipandang sebagai satu-satunya solusi terbaik yang harus dipilih saat ini. Mengingat dalam penerapannya sendiri, EBT akan memunculkan pemanfaatan sumber daya alam bersih yang berkelanjutan dibanding pemanfaatan sumber daya alam berupa bahan bakar fosil.

Memang bukan hal yang mudah jika ingin melakukan perubahan dalam skala besar untuk menggantikan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil menjadi EBT. Namun, setidaknya saat ini tahap awal dan berbagai cara telah diupayakan untuk mewujudkan hal tersebut.

Upaya yang dimaksud setidaknya pernah disampaikan oleh salah satu pengelola industri energi kelistrikan di tanah air, yaitu Wakil Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengungkap bahwa kedepannya pembangkit listrik di Indonesia akan sepenuhnya tergantikan dengan energi bersih.

AssetAsset

"Di masa yang akan datang, kami akan pensiunkan semua ekosistem PLTU berbasis batu bara kami, hilang semua dari ekosistem kami dan sudah mulai digantikan dengan sistem energi baru terbarukan,"

Darmawan
Wakil Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara

Tentu bukan hanya dari PLN saja, rangka dan visi masa depan akan penghasil energi bersih di Indonesia sejatinya juga diharapkan akan dihadirkan oleh berbagai pihak kunci lainnya.

Yang mana jika memang dijalankan secara sungguh-sungguh, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara yang berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim baik secara nasional maupun global.