Perlukah membangun Mobnas?

Perlukah membangun Mobnas?
info gambar utama

Judul di atas sebenarnya sengaja provokatif. Sebenarnya judul aslinya adalah "mampukah kita membangun Mobnas?"

Saya seringkali berdebat seru dengan teman-teman saya sendiri mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Mobil Nasional (Mobnas), seperti Hyundai di Korea, atau Honda di Jepang, atau GM di Amerika. Ketiganya bahkan saya bisa sebut Mobinternas (Mobil Internasional) dengan dealer ada di seluruh dunia, dan mobil-mobil mereka lalu lalang di seluruh dunia.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah Indonesia perlu membangun merk sendiri, dan kemudian dipasarkan secara global dan menjadi Mobinternas? Sebenarnya, pertanyaannya bukan perlu atau tidak, tapi mampu atau tidak?

 Membangun merk sendiri tentu saja butuh komitmen, kesabaran, dan perjuangan tanpa kenal lelah, mulai dari riset dan pengembangan, pabrikasi, branding dan promosi, serta membangun loyalitas pemakai. Dan bisa jadi, berkaca dari merk-merk global, perlu waktu puluhan tahun (dan jatuh bangun) sebelum sebuah mobil merk baru bisa bertahan di pasaran.

Hyundai Motor Co didirikan pada 1967 dan (baru) memperlihatkan perkembangan luar biasa pada dekade lalu (2000-an), Audi AG, salah satu merk kebanggaan Jerman didirikan pada 1909 (atau 100 tahun lalu). Kedua merk tentu saja mempunyai segmen market yg berbeda, namun poin saya adalah bahwa keduanya memerlukan banyak energi, komitmen, dukungan pemerintah, R&D terus menerus, branding dan promosi tanpa henti, dan tentu saja, produk yang bagus dan dapat diandalkan.

Saya yakin, merk Malaysia Proton telah lama menjadi "anak kesayangan" Malaysia yang diberi national passion, energi, branding dan promosi tanpa henti, dan (bisa jadi) produk yang bagus. Namun apakah Proton sudah menjadi brand global, dan mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan? Perlu diketahui bahwa Proton dimiliki oleh pemerintah Malaysia melalui Khazanah Nasional Berhad, sehingga tangan pemerintah sangat andil besar dalam membesarkan dan memproteksi Proton. Awalnya peran Mitsubitshi sangat kentara di Proton sebelum kemudian saham Mitshubitshi dibeli seluruhnya oleh Khazanah. Melalui Khazanah, pemerintah Malaysia juga berandil besar dalam mennyuntikkan modal besar-besaran, baik modal awal, maupun modul usaha ketika Proton dilanda kerugian financial. Saya yakin, dukungan financial bagi Proton untuk terus bertahan di dunia otomotif sangat melimpah, baik untuk operasional, menutupi kerugian, maupun untuk promosi. Dan sepertinya, apapun yang terjadi, Pemerintah Malaysia tetap mempertahan Proton dengan segala dukungan dan proteksinya, bisa jadi Proton telah menjadi identitas nasional Malaysia. Wallahua'lam. Namun semua itu belum cukup membuat Proton menjadi merk global, bahkan di level Asia Tenggara.  

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ada 2 hal yang membedakan Indonesia dan Malaysia dalam hal ini.

  • Indonesia adalah market-based economy, beda dengan Malaysia. Indonesia tidak boleh mendukung satu merk dan meninggalkan merk lain.
  • Indonesia juga tidak (boleh) lagi memberikan subsidi, seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia lewat Proton. Bukan apa-apa. Perusahaan produsen otomotif adalah sebuah industri yang padat modal. Untung tidak terlalu besar, namun sekali rugi besar sekali. Jika rugi, tentu pemerintah (merasa) harus menyelamatkannya. Indonesia sudah cukup kerepotan mensubsidi BBM dan listrik.
  • Malaysia, seperti juga Singapura, adalah jagoan marketing. Hampir semua ilmu marketing modern diterapkan. Sementara Indonesia saat ini masih berjuang membangun image dan reputasi yang baik.



Soal kemampuan dan infrastruktur, sebenarnya sudah sejak lama Indonesia siap membangun mobnas. Saat para anak-anak muda SMK berjaya membangun kendaraan roda 4 bermerk ESEMKA, tentu kita layak bangga. Dan pemerintah sepertinya wajib mengambil momentum ini, dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan pinjaman modal (kalau perlu). Namun sekali lagi, ini baru permulaan. Dan jalan di depan masih panjang. .

Kalau memang serius, mari kita satukan kata. Jangan belum-belum sudah keluar kata-kata "cari muka". Sangat kontraproduktif

 

 

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini