Meski jauh, (seharusnya) Tetap Bisa Kita Lumpuhkan

Meski jauh, (seharusnya) Tetap Bisa Kita Lumpuhkan
info gambar utama

Minggu lalu, ada sebuah berita hangat dan membahagiakan (meski bagi media sama sekali bukan berita yang "besar" seperti kasus wisma atlet) yakni mengenai makin terbangunnya kekuatan pertahanan RI meski pelan-pelan. Di situ disebutkan bahwa Indonesia berhasil mendapatkan komitmen T-o-T (Transfer of Technology) dari China untuk produk peluru kendali C-802A dan C-705 yang mampu menghancurkan target pada jarak 80-90 km.

Perjanjian ToT ini adalah langkap penting bagi percepatan kemampuan Indonesia membuat sendiri rudal jelalah serupa, atau yang bisa menjangkau target yang lebih jauh. Dalam perang konvensional, peran peluru kendali amat sangat vital, apalagi didukung dengan kekuatan matra lain, tentu akan lebih menjanjikan bisa melumpuhkan simpul-simpul kekuatan musuh.

Kita masih ingat dalam Perang Irak I-II, rudal-rudal diluncurkan dulu dari kapal-kapal induk AS dan sekutu, untuk melumpuhkan simpul-simpul kekuatan tentara Saddam Hussein, seperti anti-aircraft battery, landasan pesawat terbang, gudang-gudang senjata, pusat-pusat komando, dan lain-lain. Apakah Indonesia mempunyai kemampuan penghancur jarak jauh seperti itu? Mungkin..

 




 

Saat ini, mungkin memang belum sangat mumpuni. Indonesia sudah mempunyai andalan berupa rudal Yakhont (buatan Russia), yang kini menjadi salah satu lambang supremasi alutsista Indonesia. Yakhont terbukti mampu menghancurkan target jarak jauh (300 km).

Keberadaan Yakhont memang strategis bagi pertahanan Indonesia. Jangkauan 300 kilometer yang dimiliki Yakhont seandainya ditempatkan di pesisir timur dan utara Sumatera dapat menjangkau Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, serta Kepulauan Nicobar dan Andaman. Seandainya digelar di Kepulauan Natuna-Anambas, rudal tersebut dapat mencapai sasaran di sekitar Kepulauan Spratly dan Paracel (salah satu area paling potensial untuk konflik di kawasan).

 Seandainya digelar di wilayah timur Indonesia, di kawasan Sulawesi Utara, Maluku Utara, atau Papua, rudal Yakhont dapat menjangkau sasaran di Filipina selatan hingga Guam, yang menjadi salah satu basis militer terdepan AS. Adapun di wilayah selatan, di sekitar Kupang dan perairan Timor, rudal tersebut dapat menjangkau sasaran di Darwin dan sebagian kawasan Northern Territory Australia.

 




 

Adanya Yakhont, C-802A, C-705 dan rudal-rudal lain memang sedikit banyak menambah kekuatan penggetar dan penggentar Indonesia, namun ada beberapa hal yang musti juga menjadi perhatian.  Pertama adalah kuantitas. Saya tidak tahu seberapa banyak Indonesia mempunyai rudal-rudal tersebut, namun saya meyakini, jumlahnya tidak sampai ratusan, apalagi ribuan. Kedua adalah daya jangkau. Dengan daya jangkau maksimal yang "hanya" 350 km, Yakhont tentu sedikit terkesan nanggung. Ketiga tentu saja jenis. Selain rudal surface-to-surface, Indonesia juga perlu mempunyai kemampuan mengatasi ancaman dari udara, surface-to-air. Saya selalu gagal meyakini bahwa tembakan-tembakan artileri anti pesawat terbang akan mampu merontokkan pesawat-pesawat musuh. Bagi orang awam militer seperti saya, kita perlu rudal yang mampu mencegat/mengejar pesawat yang menyerang. Dan sepertinya, kita belum banyak memiliki kemampuan itu.

 Dengan adanya perjanjian ToT, saya meyakini bahwa Lembaga Penerbangan dan Antara Nasional (LAPAN) kita akan makin cepat mempunyai kemampuan membuat rudal-rudal jarak jauh, dan mampu diproduksi secara massal di dalam negeri. Sehingga, meski musuh kita masih ribuan kilometer jauhnya, kita tetap mampu melumpuhkan.

Bukan begitu?

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini