Belajar dari Skandal

Belajar dari Skandal
info gambar utama

By Ahmad Cholis Hamzah*).

Bisnis apapun bentuknya adalah tentang kepercayaan; dalam perjanjian bisnis faktor kepercayaan adalah nomor satu. Ada ungkapan dalam bisnis “my word is my bond” – atau ucapanku ini adalah jaminanku. Dalam perjanjian seperti itu maka seringkali ada ungkapan “Saling Percaya” atau “Mutual Trust”. Satu pihak melakukan ingkar janji dalam bisnis maka pihak lain akan mengisolasi dirinya dari komunitas bisnis itu. Dengan kata lain reputasi yang bersangkutan akan hancur karena melanggar prinsip saling percaya itu. Dan yang sering diucapkan adalah faktor kepercayaan terbesar itu ada di bisnis perbankan, asuransi dan keuangan. Karena ketiga institusi keuangan inilah yang dipercaya oleh jutaan nasabahnya untuk menyimpan dan memutar dana mereka yang jumlahnya dari angka ratusan ribuan, jutaan sampai trillyunan.

Banyak yang percaya bahwa hancurnya kepercayaan di dunia perbankan misalnya adalah karena akibat dari seseorang bukan akibat dari ulah institusi secara sistimatik. Namun, kejadian manipulasi yang dilakukan oleh Barclays Bank – Bank papan atas di Inggris dan dunia telah membalik pandangan ini.

Pada awal bulan Juli yang lalu dunia keuangan terutama perbankan global dikejutkan dengan mundurnya secara resmi Ketua Dewan Direktur Bank Barclays Plc, Marcus Agius. Pengunduran diri ini menurut dia adalah sebagai bentuk tanggung jawab atas ulah sejumlah bankirnya yang memanipulasi tingkat suku bunga LIBOR. Dia menyebutkan bahwa dia harus mundur dari jabatan bergengsinya sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sesuai dengan standar perbankan dan yang telah menghancurkan reputasi Barclays. Pihak Bank ini telah memberikan pengakuannya bahwa sejumlah bankirnya berupaya memanipulasi LIBOR; suku bunga di perbankan London yang digunakan diseluruh dunia sebagai patokan untuk memasang harga derivative dan produk keungan lain dengan nilai US$ 350 trilliun.

LIBOR atau London Interbank Offered Rate adalah angka perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh beberapa bank Inggris terbesar untuk meminjam uang.  Ini adalah merupakan benchmark tingkat suku bunga yang ditetapkan setiap hari oleh Asosiasi Bankir Inggris atau The British Bankers’ Association yang didasarkan pada suku bunga 16 bank internasional yang bermarkas di London. LIBOR (note: kalau untuk kawasan Asia biasanya memakai SIBOR atau Singapore Interbank Offered Rate). Dan ini dipakai benchmark bagi transaksi keungan secara global. Misalkan kalau ada pengusaha Surabaya yang memerlukan pinjaman mata uang dolar dari suatu bank; maka bank ini akan mematok tingkat suku bunga pinjaman ini dengan patokan misalkan: LIBOR + margin tertentu. Dan London dipakai sebagai patokan tingkat suku bunga bank di seluruh dunia karena London dikenal sejak jaman dulu sebagai pusat perbankan dunia. Para bankir Barclays ini sengaja memanipulasi angka LIBOR ini dengan cara tidak secara jujur menetapkan tingkat biaya bank yang sebenarnya kepada para nasabahnya diseluruh dunia dan otoritas keungan Inggris.

Persoalannya menjadi lebih gawat karena disaat ekonomi Eropa mengalami kemunduruan akibat efek domino dari krisis keuangan di Yunani, Spanyol, Italy, Irlandia, Inggris dll yang menimbulkan dampak pengangguran yang meluas (banyak orang kaya tiba-tiba jadi miskin seketika); skandal manipulasi LIBOR oleh bankir Barclays ini menambah gawat krisis keuangan itu karena hasil yang diakibatkan skandal ini adalah tingkat kepercayaan publik pada bank menjadi menurun. Kalau ini terjadi meluas di mana-mana maka krisis ekonomi Eropa akan tambah menjadi-jadi dan akan berimbas pada ekonomi global termasuk negeri kita. Sekarang otoritas keuangan dunia secara serius menyelidiki skandal ini karena yakin bahwa manipulasi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh para bankir Barclays, namun bisa jadi menyeret para bankir di bank-bank terkemuka di dunia ini.

Di negeri kita sendiri, pernah (sering?) beberapa kali terjadi kepercayaan para nasabah bank yang rajin menaruh uangnya di bank khianati oleh bankirnya sendiri. Tengok saja kasus Melinda Dee yang meraup milyaran uangnya para deposan primanya atau “Prime Customer” selama bertahun-tahun. Kasus lain seperti Bank Century juga membuka lebar mata publik bahwa pihak bankir bank dengan mudahnya meyakinkan (“memperdaya”) nasabah-nasabah utamanya untuk menaruh uangnya (atau memindahkan dana depositonya) ke produk keuangan lainnya dengan iming-iming hasil yang besar. Begitu bank nya kolaps, para bankir ini tidak bertanggung jawab atas hilangnya dana ratusan milyar milik nasabah. Akibatnya bisa kita saksikan sampai sekarang kasusnya tidak tahu kemana arahnya; tapi para korbannya sudah terlanjur mati (karena bunuh diri), atau malu sepanjang masa karena dana yang disetorkan ke bank ini adalah milik anggota koperasi yang rata-rata penghasilannya kecil.

Para bankir atau sipapun yang bekerja di dunia jasa terutama sektor keuangan nampaknya lupa dengan ungkapan bahwa “Without trust, their business (and all businesses) dies” atau tanpa kepercayaan, maka bisnis mereka (atau seluruh bisnis) akan mati atau hancur. Orang kalau sudah tidak dipercaya akan ditinggal masyarakatnya. Dan perbankan atau institusi keuangan kalau sudah tidak dapat dipercaya lagi akan ditinggal nasabahnya –dan perlu diingat bahwa kekayaan mereka pada dasarnya adalah dari para nasabahnya yang patuh-patuh itu. Para pengelola bank di negeri kita yang hanya mengobral janji –misalkan pelayanan cepat, segala complain akan di terima. Akan tetapi kalau terjadi kebalikannya  “Call Center” yang tidak bisa di hubungi, atau officernya yang melemparkan tanggung jawab ke officer lainnya, dsb dsb, tentu akan ditinggal oleh nasabahnya.

Skandal yang terjadi di Inggris akibat ulah para bankir di Barclays Bank haruslah menjadi pelajaran serius bagi dunia perbankan dan otoritas perbankan di Indonesia. Pihak BI sebagai “Banker of the Last Resort” harus mengintesifkan fungsi pengawasannya kepada bank-bank di negeri ini.

Bagai para bankir atau karyawan dan pejabat institusi keuangan lainnya yang beragama Islam; maka bulan suci Ramadan ini adalah bulan yang tepat untuk menguatkan komitmennya untuk berbicara jujur; menetapi janji yang sudah dibuat serta tidak memperdaya para nasabahnya dengan “bujuk rayu”. Sikap memegang kepercayaan atau amanah para nasabah adalah sikap yang sangat diperlukan bagi para pengelola institusi keuangan. Dan sikap ini Insya Alloh akan mendapat pahala yang besar dari Allah, apalagi di bulan suci Ramadan ini.

*) Ahmad Cholis Hamzah, MSc adalah alumni University of London dan Fakultas Ekonomi Unair dan dosen STIE Perbanas Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini