Masihkah kita Macan Asia? (bag II)

Masihkah kita Macan Asia? (bag II)
info gambar utama

Suatu ketika, saya bertemu dengan beberapa teman dari yang kebetulan berasal dari organisasi-organisasi kepemudaan dari Thailand, Malaysia, Filipina, dan Australia yang bertemu secara tidak sengaja di rumah seorang kawan saya di Bangkok. Waktu itu kami sama-sama sedang berusaha untuk masuk dan memberikan bantuan logistik dan obat-obatan ke Myanmar yang tengah dilanda bencana Topan Nargis yang meluluhlantakkan kawasan delta Irawaddy di bagian selatan negara itu. Kami bicara kesana-kemari tidak jelas arahnya, hingga kawan saya dari Malaysia yang kebetulan salah satu pengurus (kalau tidak salah) Pemuda UMNO Malaysia bertanya kepada saya dengan nada bercanda “So, how long do you think Indonesia can catch up with Malaysia’s economic might?” Kira-kira artinya adalah “Menurut anda, berapa lama Indonesia bisa mengejar kejayaan ekonomi Malaysia?”.

Pertanyaan itu sebenarnya bagi saya biasa-biasa saja, namun tidak bagi kawan-kawan saya orang Australia yang tampak kurang suka dengan pertanyaan pak cik pemuda UMNO itu. Saya sendiri tidak hanya sekali menerima pertanyaan serupa meski tidak sama. Di Phnom Penh, ibukota negara Kamboja, saya mendapatkan pertanyaan yang sama, kali ini yang bertanya adalah sebuah lembaga pemerintah Malaysia yang sedang memberikan bantuan training kepada masyarakat Muslim Kamboja. Di Baltimore, Maryland, saya juga mendapat pertanyaan hampir sama dari seorang pemilik restoran melayu cukup besar di kota itu.

Inti dari pertanyaan ketiganya sebenarnya benar-benar sama, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi negaranya, ternyata difahami oleh kawan-kawan kita dari negeri tetangga tersebut bahwa lambat laun Indonesia akan mengejar ketertinggalan kita di bidang ekonomi dengan Malaysia, terutama untuk income perkapitanya. Beberapa waktu lalu, saya dioleh-olehi segepok kliping dari koran-koran Thailand berbahasa Inggris selama sebulan dari seorang kawan yang bertugas sebulan dari Bangkok.

“Aku menemukan banyak berita yang akan membuatmu gembir, Ri” kata kawan saya tersebut. Yang saya dapatkan adalah beberapa tulisan mengenai ‘kekhawatiran’ para pelaku industri otomotif Thailand mengenai makin hebatnya perkembangan industri otomotif Indonesia, penjualan yang hampir mencapai 1 juta unit tahun lalu (yang sudah melebihi pemasaran mobil di Thailand), produksi yang terus naik, dan ini yang paling mengkhawatirkan, yakni dengan naiknya permintaan akan mobil baru, maka para produsen dikhawatirkan akan membanjiri Indonesia dengan investasi untuk membangun pabrik perakitan mobil, dan memindahkan pusat-pusat produksinya di Thailand. Sebenarnya, menurut saya, kekhawatiran itu tidak (belum) terjadi.

Namun yang pasti, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah lama melampaui pertumbuhan ekonomi Thailand. Tulisan ini saya tulis pada 7 Oktober 2012 pukul 20.31 wib, dan dari data yang saya kumpulkan, pertumbuhan ekonomi indonesia pada semester I (Januari-Juni 2012) mencapai 6.35%, sedangkan Thailand hanya 2.3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di periode tersebut hanya kalah dari China (7.85%), bahkan India saja yang selama ini digadang-gadang menjadi pesaing utama pertumbuhan ekonomi China hanya tumbuh 5.35%, dibawah Indonesia. (Negara anggota BRIC seperti Rusia hanya tumbuh 4.45%, sedangkan Brazil hanya tumbuh 0.65%.)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu menjadi lokomotif tumbuhnya kelas menengah di Indonesia; menurut data Word Bank, sekitar 55% populasi Indonesia mampu melakukan pengeluaran $2 hingga $20 per hari, itu artinya sekitar 130 juta rakyat Indonesia mempunyai kemampuan untuk membelajakan pendapatannya lebih dari sebelumnya, dan dengan ekonomi yang terus melaju di atas 6% per tahun, kemampuan mereka membelanjakan uangnya akan terus naik, pun jumlah dari kelas menengah tersebut. Inilah yang tidak bisa diimbangi oleh Thailand.

Ketika berbicara dengan kawan-kawan saya yang berdomisili di Jakarta, sebagian besar dari mereka melihat bahwa ekonomi Indonesia tergambar nyata melalui jendela di kantor-kantor mereka di Jakarta. Selama ini kita ‘dibuai’ dengan generalisasi salah kaprah bahwa 80% ekonomi Indonesia berputar di Jakarta; sebuah pernyataan yang selain salah kaprah, juga menafikan betapa ekonomi di luar Jakarta tumbuh tinggi, lebih tinggi dari Jakarta. Lihat saja sejak 2002-2010, ekonomi Jakarta tumbuh 5.8%, sementara Bandung 6,7%, Surabaya dan Medan 7%, Makassar, Balikpapan, Pontianak, Pekanbaru, tumbuh 8%-9%. Bahkan tahun ini (2012), ekonomi Jawa Timur dijangka bisa menjadi yang terbesar di Indonesia, melewat DKI Jakarta, mungkin 5-10 tahun lagi, propinsi-propinsi di luar Jawa akan juga melewati DKI Jakarta. Tidak mustahil, 10-15 mendatang, Indonesia akan mempunyai kantong-kantong lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional yang merata di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.

Namun sekali lagi, banyak dari kita yang melihat Indonesia dari kekurangan-kekurangannya, bukan dari prestasi dan pencapaian-pencapaiannya. Banyak yang masih melihat gelas Indonesia “separuhnya masih kosong”, bukan “separuhnya sudah terisi”, sehingga sekali lagi ketika dihadapkan pada pernyataan bahwa Indonesia akan menjadi Macan Asia, yang muncul adalah sinisme dan pesimisme yang kadang tidak memiliki justifikasi yang kuat.

Lalu apakah benar kita bisa menjadi Macan Asia? Saya tidak tahu, tapi yang jelas ..KEBANGETAN kalau tidak bisa!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini