"Milyaran Penjajahan Kasat Mata!"

"Milyaran Penjajahan Kasat Mata!"
info gambar utama

“Milyaran penjajahan tidak kasat mata!”

Beberapa hari yang lalu saya mengabarkan melalui twitter account GNFI bahwa pada triwulan II 2012, Indonesia mencapai rekor investasi sebesar Rp.76.9 trilyun (atau sekira $ 8 milyar), tertinggi dalam sejarah Indonesia untuk investasi triwulan-an. Sehingga untuk paruh pertama 2012 saja, Indonesia sudah menerima penanaman modal (realisasi investasi) sebesar Rp.148.1 trilyun (atau sekira $ 15 milyar), lagi lagi, ini adalah pencapaian paruh tahun terbaik dalam sejarah Indonesia.

Kebanyakan response dan feedback yang saya terima positif, namun ada juga (mungkin lebih dari 25%) yang menentang habis-habisan, dengan mengatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara mandiri, dan tidak boleh ada investasi asing yang mencari uang dan menjadi kaya di Indonesia. “Investasi asing adalah bentuk kapitalisme dan imperialisme modern, penjajahan tidak kasat mata!” kata seorang follower.

Benarkah?

Saya seringkali menerima permintaan bantuan dari teman-teman saya orang luar negeri yang ingin berkunjung ke Bali, atau Yogyakarta, atau Jakarta, untuk memesankan hotel. Dan kebanyakan dari mereka (kalau tidak boleh dibilang semua) ingin tinggal di hotel yang mereka percaya menawarkan kenyamanan, keramahan, dan kualitas kamar dengan standar internasional. Umumnya mereka memilih hotel-hotel dengan brand luar negeri, seperti jaringan Accor, Sheraton, Ritz, dan lain-lain. Dan saya rasa permintaan itu sangat masuk akal dan bisa saya fahami.

Kalau kita pergi ke pantai Senggigi di Lombok, kita akan melihat deretan hotel-hotel internasional yang menawarkan layanan, keramahan, dan kualitas dengan standar internasional, dan kebanyakan dari mereka adalah hotel-hotel dengan brand luar negeri, atau dimiliki oleh luar negeri. Saya tidak tahu apakah Senggigi tanpa hotel-hotel itu akan tetap mampu menarik turis-turis dari luar Lombok dan bahkan dari berbagai belahan dunia. Bagaimanapun kita perlu akui bahwa kontribusi network yang dipunyai hotel-hotel internasional tersebut berikut kemampuan finansialnya dalam mendanai promosi dan marketingnya, mampu membawa masuk para turis ke suatu daerah tujuan wisata, selain juga tentu factor-factor lain.

Perlu diketahui, membangun jaringan hotel adalah membangun kepercayaan, dan proses positioning ini memerlukan kerja keras yang lama dengan biaya marketing tinggi. Selain itu, sebelum membangun, para investor hotel ini harus melakukan feasibility study apakah hotelnya nanti akan laku, atau tidak, dan ini membutuhkan proses lama. Jangan lupa bahwa membangun hotel juga memerlukan modal sangat tinggi, dan tidak banyak orang di Indonesia (saat ini) yang mampu melakukannya, dan kalaupun mampu, belum tentu yang bersangkutan mau membangun, atau yakin bahwa hotelnya akan mencapai tingkat hunian yang diinginkan. Disinilah peran investasi luar negeri, selain membawa modal masuk, mereka juga membawa keahlian dan pengalaman, dan jaringan internasional.

Begitupun dalam membangun infrastruktur. Saya tidak bisa membayangkan kalau saja modal dari China tidak masuk membangun  jembatan Suramadu, bisa jadi sampai kita Pulau Madura dan Pulau Jawa belum terkoneksi. Waktu itu, selain membawa uang modal untuk membangun Jembatan, para insinyur China juga datang membagi pengalamannya. China kita ketahui telah membangun proyek-proyek raksasa, termasuk jembatan-jembatan terpanjang di dunia, dari sinilah para ahli kita bisa mendapatkan ilmu dari mereka. Jangan-jangan, tanpa investasi luar negeri, proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) yang ditunggu-tunggu jutaan rakyat Jawa dan Sumatera itu juga gak akan dibangun. Wallahua’lam

Saya juga setuju investasi luar negeri di bidang pertambangan (asalkan dengan system bagi hasil yang menguntungkan Indonesia). Bagaimanapun, sumber-sumber minyak Indonesia tidak semuanya bisa dieksplorasi oleh perusahaan minyak nasional kita, yakni Pertamina. Saya pernah ke Sulawesi Barat, dan bertemu dengan salah satu pegawai perusahaan minyak dari luar negeri yang mengeksplorasi sumber minyak di lepas pantai Sulbar. Perusahaannya sudah hampir 4 tahun mengeksplorasi di beberapa titik dan sudah menghabiskan ratusan juta dollar, dan belum menemukan cadangan minyak yang signifikan. Konon kabarnya, setiap tahun perusahaan tersebut menghabiskan $300 juta untuk kegiatan eksplorasi saja, belum mulai eksploitasi, dan itupun seringkali tidak menemukan cadangan yang secara ekonomi mengunungkan, betapa mahalnya. Jangan lupa juga, teknologi yang digunakan pun begitu canggihnya, hingga menurut kawan saya tersebut, Pertamina belum mempunyai teknologi serupa, terutama untuk eksplorasi di laut dalam.

Jangan dibayangkan bahwa Pertamina kalah di segala lini, tidak juga. Pertamina juga melakukan eksplorasi dan eksploitasi di lading-ladang minyak di luar negeri, dan ini adalah hal yang mulai banyak di lakukan oleh korporasi-korporasi Indonesia, “menjajah” luar negeri.

Di dunia perbankan juga, saya mau tidak mau harus setuju dengan investasi asing di perbankan dalam negeri, meski dengan catatan bahwa kepemilikannya harus dalam ambang batas yang wajar, dan tidak merugikan Indonesia. Kenapa saya setuju?

Bank-bank nasional saat ini memiliki permodalan (dana yang bisa dipinjamkan ke nasabah) yang sudah sangat bagus, namun masih jauh dibawah bank-bank di negara-negara tetangga kita. Di sisi permodalan dan kapitalisasi pasar, Bank Central Asia hanya menempati peringkat ke-5 di Asean, sementara Bank Mandiri di posisi-6. Bank dengan kapitalisasi pasar dipegang oleh DBS Bank, disusul OCBC, lalu UOB (ketiganya bank dari Singapura), disusul Maybank dari Malaysia. Sementara dari sisi modal, posisi Indonesia justru masih di bawah, dengan urutan DBS, OCBC, UOB (ketiganya dari Singapura), Maybank, CIMB (keduanya dari Malaysia), dan Bankok Bank (Thailand). Dan ketiga ada dana segar mengalir ke bank di Indonesia melalui pembelian saham, tentu hal tersebut adalah penambahan modal yang bagus bagi bank yang bersangkutan, sekaligus bagus bagi nasabah, secara sederhana adalah..makin banyak uang yang tersedia untuk kredit.

Tentu perlu disepakati bersama, bahwa investasi luar negeri di bidang apapun, share kepemilikan modal tetap harus menguntungkan Indonesia, dan perlu dibentuk aturan-aturan yang memungkinkan otoritas Indonesia mengatur dan monitor mereka, agar negeri ini tidak hanya menjadi ladang mencari untung, tapi juga menguntungkan masyarakat, aman, dan berkelanjutan.

Jadi, menurut saya, mereka bukan penjajahan terselubung, melainkan kebutuhan kasat mata bagi ekonomi kita. Bukan begitu?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini