Di Rumah Inilah Bung Karno dilahirkan

Di Rumah Inilah Bung Karno dilahirkan
info gambar utama
Berwisata Sejarah dimasa-masa penuh semangat perjuangan menjelang hari pahlawan 10 November bulan depan menjadi kegiatan yang cukup menarik untuk dilakukan. Mendatangi museum ataupun tempat-tempat bersejarah lainnya akan mampu membangkitkan kembali energi perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Berwisata ke rumah kelahiran Bung Karno misalnya, yang bertempat di kota Surabaya. Tepatnya di Jalan Peneleh, Gang IV, atau biasa disebut juga Gang Pandean, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Sejak diresmikan oleh Pemerintah Kota Surabaya pada tanggal 6 Juni 2011 sebagai rumah tempat lahir Bung Karno, warga menamakan kampung di Peneleh itu sebagai ”Kampung Bung Karno”.
Baliho Kampung Pandean (Foto: rosodaras.wordpress.com) Baliho Kampung Pandean (Foto: rosodaras.wordpress.com)

Tidak hanya itu warga sekitar rumah juga memasang umbul-umbul di gerbang masuk gang. Mereka menghiasi tembok di mulut gang dengan grafiti bertema perjuangan. Ada slogan perjuangan revolusi, adegan pemuda menghunus bambu runcing. Rumah tua itu ditemukan dari hasil penelitian paling awal yang dilakukan oleh Nurinwa Ki S Hendrowinoto, peneliti sejarah LIPI. Melalui berbagai studi pustaka atas dokumen dan berbagai penelitian sarjana terhadap masa hidup Soekarno, Nurinwa mendapati informasi bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan Blitar. Penelitian Nurinwa kemudian dilanjutkan Peter A Rohi, seorang jurnalis yang juga warga Surabaya. Peter mendirikan ”Institut Soekarno” dan juga membuat situs ”Soekarnopedia.” Mereka mengejar tanda tanya, di mana sebenarnya Soekarno lahir. Setelah pemeriksaan ulang dan pelacakan berbagai sumber dokumen sejarah hingga ke Leiden, Belanda, dilanjutkan seminar sejarah, ditambah perhatian Wali Kota Surabaya Bambang DH, akhirnya tahun 2011 Pemerintah Kota Surabaya meresmikan rumah ini sebagai rumah tempat lahir Soekarno. Tahun 2013 pemerintahan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerbitkan SK 185.45/ 321/436.1/2013 yang menetapkan rumah ini sebagai Benda Cagar Budaya, dengan predikat ”rumah tempat lahir dan masa kanak-kanak Bung Karno”. Lokasi rumah ini berjarak tak sampai satu kilometer dari Tugu Pahlawan, 10 November 1945. Persis di samping rumah No 40 (tempat lahir Soekarno) adalah rumah warga asal Bali. Persis di depan rumah ada masjid tua, yang juga tampak masih memiliki gaya bangunan masa lampau, tetapi amat terawat, seperti pintu-pintu kuno dari kayu jati, plafon dari sirap papan kayu jati, beduk dari kayu dan kulit sapi. Warga etnis Tionghoa, Madura, Jawa, berbaur di gang ini.
Prasasti Rumah Lahir Soekarno (Foto: sekarjepun.com) Prasasti Rumah Lahir Soekarno (Foto: sekarjepun.com)

Jika benar Soekarno lahir di tempat ini, bayi Soekarno tampaknya lahir di salah satu kawasan urban miskin Surabaya pada 1901 (tahun kelahiran Bung Karno). Sebab tempat ini berada di pusat kota dekat alun-alun Surabaya tempo dulu atau sekarang menjadi Tugu Pahlawan, dan pusat ekonomi pecinan, tetapi rumah tersebut berada di perkampungan dekat kuburan Belanda. Sejak 1990 rumah tersebut dihuni Siti Jamilah (50) dan kakak kandungnya, Mahmud (60), ahli waris dari almarhum Ny Aliyah. Mahmud, penghuni saat ini, menjelaskan, sebelum ia tinggal di rumah ini bersama ibunya, ia mendapat informasi bahwa rumah ini dulu pernah menjadi usaha percetakan. ”Masa saya kanak-kanak dulu ada bekas besi mesin cetak yang disemenkan ke lantai rumah. Seperti keadaan rumah tetangga masa itu, rumah ini mungkin tadinya berdinding bambu dan lantai tanah. Mungkin Pak Karno lahir dalam keadaan rumah masih berdinding bambu dan lantai tanah,” katanya. Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya, pada 2008 menulis bahwa ia sudah mendesak tiga wali kota Surabaya agar menetapkan rumah di Peneleh itu sebagai rumah kelahiran Bung Karno. Dirinya sempat menulis, ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo yang seorang guru, sempat mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali, lalu di sana menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan kemudian memutuskan pindah ke Surabaya. Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, kemudian menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota dan berhenti di Dermaga Peneleh, tepi Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya. Jalan Raya Anyer-Panarukan belum selesai dikerjakan waktu itu, hubungan Surabaya-Bali lebih mudah lewat laut. Masa itu, Kampung Peneleh sudah menjadi tempat tinggal orang asal Bali sehingga sempat disebut Kampung Bali. Bahkan, kini pun masih ada Hotel Bali, yang masih beroperasi. Di kampung itu lahir bayi bernama Koesno, yang kelak berubah nama menjadi Soekarno. Masih menurut Yousri, Koesno kecil diajak pindah ke Blitar, hingga Koesno duduk di bangku SD. Kemudian saat Koesno sekolah SMP dirinya pindah lagi ke Mojokerto. Artinya, rumah Peneleh ini tempat lahir dan masa kecil Soekarno saja. Informasi bahwa Soekarno masa kecil yang juga berada di Kediri dan Mojokerto, kini membuat warga Kediri dan Mojokerto masa kini juga sibuk melacak rumah bekas ”petilasan” Soekarno lainnya. Soekarno juga pernah indekos semasa mahasiswa di rumah HOS Tjokroaminoto, juga di Jalan Peneleh, Surabaya, yang kini sudah diresmikan oleh Pemkot Surabaya sebagai ”Rumah Tjokroaminoto”.
Tampak Depan Rumah Kelahiran Soekarno (Foto: Fedrik Tarigan / Jawa Pos) Tampak Depan Rumah Kelahiran Soekarno (Foto: Fedrik Tarigan / Jawa Pos)

Dinding tembok, tegel teraso, pintu kayu jati, tangga kayu menuju lantai dua, balai-balai di rumah tempat lahir Soekarno masa kini mungkin tidak persis seperti saat ditinggali Soekarno bayi di awal abad 20. Kondisi fisik rumah Kampung Pandean saat ini masih tampak tua dan antik, meski saat Soekarno tinggal jelas lebih tua lagi. Tata letak ruangan rumah itu sama seperti rumah hunian sederhana. Berupa kotak, yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak yang lebih kecil sebagai sub-unit atau ruangan. Satu kapling rumah dibagi menjadi ruang publik dan ruang pribadi. Ruang publiknya cukup lengkap untuk kesederhanaannya karena ada ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Ruang pribadi berupa dua kamar tidur. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini beberapa waktu lalu sudah berupaya berunding dengan ahli waris Ny Jamilah untuk membeli rumah itu dengan biaya APBD dan meresmikannya sebagai benda cagar budaya agar mendapat perlindungan dan perlakuan yang layak dari pemerintah. Namun sepertinya belum diperoleh kesepakatan sampai saat ini. kompas.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini