Frankfurt Book Fair 2016 dan Bangkitnya Buku Indonesia dalam Format Digital

Frankfurt Book Fair 2016 dan Bangkitnya Buku Indonesia dalam Format Digital
info gambar utama

Zaman boleh berubah, generasi boleh berganti, tetapi buku akan tetap ada. Yang berubah hanyalah mediumnya, dari lembaran kertas menjadi ribuan download e-book dan keduanya akan ada secara berdampingan.

Hal itu disampaikan CEO Penerbit Bentang, Salman Faridi di depan para pelaku bisnis dunia di Frankfurt Book Fair 2016. Salman berbagi cerita bagaimana Indonesia merintis bisnis e-book, dan menyarakan optimistis bahwa buku Indonesia bergairah dalam platform baru yaitu e-book yang laku di pasaran.

Salman Faridi, CEO Penerbit Bentang. Foto: Andi Saputra, Detikcom
info gambar



"Saya ingin memberikan hal yang menarik di Indonesia kepada peserta tentang pengguna kita yang rata-rata orang muda yang menggunakan smartphone pra bayar. Ini fenomena yang menarik, saya ingin menunjukan bahwa dengan ini, kita ingin melihat potensi bisnis digital yang selama ini stagnan," kata Salman.

Indonesia dengan pengguna HP/gadget mencapai 80 juta orang menjadi pasar besar e-book. Buku yang dulunya berupa lembaran kertas, nantinya akan berubah menjadi e-book paperless. Generasi baru Indonesia yang lahir setelah tahun 2000-an nyaris tidak pernah membaca buku dalam lembaran kertas.

"Saya melihat potensi pengguna yang muda ini besar sekali," ucap Salman di hadapan peserta yang harus merogoh kocek senilai jutaan rupiah untuk mendengarkan sesi itu.

Nah, tapi pasar yang besar itu masih terkendala hal teknis yaitu pembayaran pembelian e-book. Selain itu juga media e-book belum dibangun secara maksimal.

"Mempunyai kendala pada payment gateway dan platfor-nya tidak ada," ucap Salman.

Di sisi lain, banyak penulis yang memiliki literatur yang layak diterbitkan tetapi kebingungan dengan media e-book yang belum dibangun dengan cukup bagus.

"Kalau bikin sendiri kan mahal sekali," ujar Salman.

Untuk itu, Bentang telah merintis kerja sama dengan Google untuk menjual e-book dengan model potong pulsa. Namun setelah cara pembayaran dibuat mudah, tantangan kedua apakah ada orang yang kuat membaca e-book 1.000 halaman.

Indonesia di Frankfurt Book Fair. Foto: Andi Saputra, detikcom
info gambar



"Lebih nyaman membaca cetaknya kalau sudah sebanyak itu halamannya," tutur Salman.

Oleh sebab itu harus dibuat konten yang relevan yaitu menjual e-book dengan mencicil atau per bab. Dampaknya, pembaca juga akan mencicil membaca e-book per download, sesuai kesempatan ada waktu. Dalam bayangan Salman, per bab akan dilepas Rp 5 ribu sehingga cukup terjangkau.

"Ini seperti iTunes yang menjual lagu per judul," ujar Salman.

Dengan menjual satu album musik, orang enggan membeli karena umumnya konsumen mendengarkan satu atau dua lagu dalam satu album sesuai yang disuka. Dengan menjual e-book seperti di atas, maka diharapkan bisnis buku di Indonesia semakin pesat.

Setali tiga uang, Seno Gumira Ajidarma meyakini buku tidak akan tergerus dengan internet. Yang ada adalah saling bersinergi antara keduanya.

"Nyatanya (buku) kan tidak mati. Misalnya sebelum ada internet, buku best seller hampir tidak ada. Sekarang dengan adanya sosmed, buku-buku digital tetap, malah tambah, buku tambah banyak, penerbit makin banyak. Dulu penerbit cuma dua, apa tiga, atau empat. Sekarang di mana-mana penerbit. Biarkan saja. Zaman boleh berubah, tapi buku tidak akan mati," kata Seno Gumira.


Sumber : detikcom

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Indah Gilang Pusparani lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Indah Gilang Pusparani.

Terima kasih telah membaca sampai di sini