Berangkat Dari Kesulitan Mencari Perguruan Tinggi, Pemuda Asal Bandung Dirikan Rumah Pelangi

Berangkat Dari Kesulitan Mencari Perguruan Tinggi, Pemuda Asal Bandung Dirikan Rumah Pelangi
info gambar utama

Akses informasi adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan setiap orang. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di Asia Tenggara telah banyak membuka akses informasi pada untuk masyarakatnya. Namun separuh dari warga negeri ini belum mendapatkan akses tersebut. Meski begitu, seorang pemuda asal Kabupaten Bandung menolak untuk berdiam diri untuk mendapatkan akses informasi demi kelanjutan jenjang pendidikannya menuju perguruan Tinggi dengan mendirikan komunitas belajar.

Pemuda itu bernama Asep Suhendar. Pemuda kelahiran Kabupaten Bandung yang saat ini menjadi pegiat pendidikan di kampung halamannya, di Sindangsari, Baleendah. Bersama beberapa relawan, Asep berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih berkualitas untuk anak-anak di kampungnya. Berangkat dari hanya bermodal sepeda angin dan buku bacaan, kini komunitas belajar Rumah Pelanginya telah ramai dan didukung banyak orang di kampungnya.

Semua cerita tersebut berawal dari perjuangan Asep untuk mencari perguruan tinggi selulusnya dari Sekolah Menengah Kejuruan di tahun 2012. Asep yang datang dari desa merasa sangat kesulitan untuk mencari perguruan tinggi bahkan dirinya sempat tidak lulus seleksi. Hingga kemudian Asep bertemu dengan sebuah sanggar belajar bernama Rumah Mentari di Bandung yang banyak mengajar anak-anak.

Tampaknya, kesempatan inilah yang mengubah hidup Asep. Asep yang sejak SMP telah bertahan hidup dengan berdagang batagor kemudian menjalani rutinitas mengajar di Rumah Mentari. Pada awal menjadi relawan dirinya mengaku diacuhkan oleh anak-anak.

"Saat saya disana, saya malah dicampakkan sama anak-anak. Mulanya saya juga tidak punya gambaran bahwa akan diminta untuk mengajar," ungkap Asep.

Setelah sekitar dua bulan menjadi relawan, Asep kemudian mengerti bagaimana cara-cara mengajar dan mendekati anak-anak di Rumah Mentari. Namun ketika dirinya pulang ke desa, dirinya merasa kehilangan sebab tidak ada lagi anak-anak yang diajar dan berinteraksi. Sejak saat itulah dirinya berusaha mendekati anak-anak di desanya dengan cara menjual batagor tetapi juga membawa buku bacaan. Tujuannya adalah untuk mendekati anak-anak agar mau belajar bersama dirinya.

Cara tersebut efektif, dan anak-anak mulai sering bertanya pada Asep tentang perkerjaan rumah (PR) mereka. Pada saat itu hanya sekitar 10 anak yang belajar bersama dan saat Asep menceritakan kegiatannya di Rumah Mentari, anak-anak Sendangsari ternyata tertarik untuk dibuat kelompok belajar yang sama. Asep bersama rekannya Rendipriaynsayh kemudian mendirikan Rumah Pelangi.

Asep saat mengajar anak-anak binaan Rumah Pelangi (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

Pada awal-awal berdirinya Rumah Pelangi, aktifitas yang dilakukan hanya berupa belajar bersama seperti tempat les. Seiring berjalannya waktu Asep mendapatkan banyak pengetahuan tentang bagaimana membuat anak-anak senang untuk belajar. Dan memutuskan untuk mengubah konsep yang lebih banyak kegiatan belajar bermain.

"Memang kita bermain tetapi engga main-main, mainan apapun itu menjadi pelajaran. Dari sana kita akan mendapat banyak pelajaran, dan akan membangun karakter mereka," jelas Asep.

Asep mengaku, sebenarnya apa yang dibutuhkan anak-anak di desanya adalah pemahaman tentang kemauan belajar. Bahwa anak-anak itu belajar bukan dengan keterpaksaan. Itu sebabnya Asep banyak mengajak anak-anak untuk beraktifitas seperti berkesenian ataupun belajar di alam. Selain itu melalui Rumah Pelangi ini dirinya berharap bisa berbagi informasi pada anak-anak di desa saat mereka ingin mencapai pendidikan yang lebih tinggi.

Anak-anak Rumah Pelangi saat berlatih gamelan (Foto: Bagus DR / GNFI)
info gambar

Lewat mengajar rupanya Asep pun banyak memperoleh pelajaran. Sebab dirinya harus dituntut untuk terus belajar. Itu sebabnya dirinya kemudian berusaha keras untuk bisa menempuh bangku kuliah meski sebelumnya dia telah berulang kali gagal.

Saat ini Asep merancang konsep pembelajaran Rumah Pelangi yang mengkombinasikan antara otak kiri, otak kanan dan kalbu yang berbentuk setir mobil. Lewat konsep tersebut, anak-anak yang belajar akan diarahkan memahami lingkungan sekitar tidak hanya secara kognitif tetapi juga spiritual. Menurut pandangan Asep, nilai prestasi yang diperoleh anak-anak dari konsep ini sejatinya adalah kesadaran tentang kembalinya hidup kepada Tuhan.

"Sebab value yang akan didapat dari Rumah Pelangi adalah karakter, sehingga karakter tersebut mampu menyetir hidup mereka," ungkap pria 22 tahun tersebut.

Hal menarik lainnya dari Rumah Pelangi adalah, kemauan Asep untuk turut serta melibatkan pemuda-pemudi di kampungnya untuk turut serta membantu. Bahkan beberapa diantaranya adalah bekas preman yang kerap meresahkan. "Ternyata tidak semua orang dilihat dari luarnya saja, ternyata di dalamnya banyak kebaikan," jelas pria yang akhirnya berhasil berkuliah di jurusan Karawitan ISBI Bandung tersebut.

Ketika GNFI bertanya tentang harapan masa depan Rumah Pelangi, Asep berharap Rumah Pelangi dapat berdiri sebagai sebuah Yayasan yang dapat bertahan dan memiliki tempat sendiri untuk beraktifitas. Dirinya juga berpesan untuk para pemuda Indonesia bahwa para pemuda harus yakin dan ikhlas dalam melakukan sesuatu. "Action dulu nanti akan diketahui evaluasinya dan bisa diperbaiki," pungkasnya.

Asep merupakan satu dari sekian banyak generasi muda yang peduli dengan lingkungan disekitarnya. Meski penuh keterbatasan, dirinya mampu untuk membuktikan bahwa seorang pemuda bisa membuat perubahan dengan kemauan dan tekad yang kuat.

Sumber : GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini