Melihat Nasionalisme dari Seorang Cina

Melihat Nasionalisme dari Seorang Cina
info gambar utama

Mungkin sudah banyak artikel yang menulis tentang tokoh satu ini. Salah satu aktivis mahasiswa angkatan ’66 dan salah satu pendiri dari sebuah organisasi pencita alam Universitas Indonesia atau yang biasa kita kenal dengan nama Mapala UI. Soe Hok-gie, seorang mahasiswa sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang meninggal pada saat melakukan pendakian di Gunung Semeru.

Terlahir sebagai seorang yang berdarah Cina, lantas tidak membuatnya menjadi seorang yang apatis terhadap permasalahan yang ada di negeri ini. Soe Hok-gie adalah salah satu dari mereka yang menjadi arsitek gerakan-gerakan mahasiswa pada awal tahun 1966. Dia yang mengusulkan agar mahasiswa-mahasiswa sastra mengadakan protes kepada pemerintah dengan berjalan kaki antara Salemba-Rawamangun dengan tujuan menarik perhatian umum dan sebagai pernyataan solidaritas terhadap “mereka yang tidak mampu membayar bus.” Intinya aksi ini ditujukan untuk memboikot kendaraan umum. Karena pada waktu itu harga bensin mengalami kenaikan yang sangat drastis, sehingga berdampak pada kenaikan harga-harga lainnya. Dengan begitu mahasiswa juga merasakan dampak dari kenaikan itu, karena tarif bus umum juga ikut naik. Tetapi lebih dari itu, menurutnya perjuangan ini adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran.

Dia sendiri bukan orang yang ahli memimpin gerakan di lapangan, tapi dia sering menjadi auctor intellectualis dibaliknya. Dia ingin agar mahasiswa-mahasiswa menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan dia ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan-pimpinan patriot universitas, dengan demikian rakyat juga tahu bahwa mahasiswa tidak hidup dalam menara gading, seperti yang diduga orang.

Seorang teman Amerika pernah menulis kepadanya, “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tetapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan.”

Dengan idealismenya dia bertahan dan memegang teguh akan prinsip-prinsipnya. Menurut dia lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan. Pernah pada saat sebelum berangkat ke Semeru, dia menyempatkan diri mengirim bedak dan lipstik untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik dimuka penguasa. Mungkin dia merasa kecewa kepada teman-teman seperjuangan yang dianggapnya telah melupakan perjuangannya membela rakyat. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi.

Kecintaannya terhadap Indonesia tidak hanya ditunjukkan dari perlawanannya terhadap ketidakadilan di negeri ini. Tapi juga dia tunjukkan dengan mencintai alam bangsanya. Dia adalah seorang yang senang dengan kegiatan alam terbuka, terutama mendaki gunung. Seperti sebuah kutipan dari tulisannya yang berjudul “Menaklukkan Gunung Slamet” yang pernah dimuat dalam harian kompas bulan September 1967, “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan disamping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi.”

Sudah 47 tahun lalu semenjak kepergiannya, tetapi semangatnya mungkin tidak akan pernah padam dan akan selalu terus menjadi inspirasi bagi siapa saja yang mengenalnya baik secara langsung maupun tidak. Mungkin dia adalah satu dari ribuan orang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, secara berani dan tegas memperjuangkan keadilan dan hak-hak orang yang tertindas dan berjuang dengan pemikiran-pemikirannya untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsanya.


Sumber :

Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok-gie...sekali lagi : Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini