Mulanya, Hari Ibu Tak Sekadar Ungkapan Kasih Sayang...

Mulanya, Hari Ibu Tak Sekadar Ungkapan Kasih Sayang...
info gambar utama

Kita tentu familiar dengan pepatah "di samping lelaki sukses pasti ada perempuan hebat yang mendampinginya". Sosok perempuan memang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau diingat lagi jauh ke belakang, kita sadar diri ini tidak mungkin ada di sini jika tidak ada sosok perempuan yang biasa kita panggil dengan sebutan Ibu.

Hari ini 22 Desember 2016 Indonesia memperingati Hari Ibu yang ke-63 sejak pertama kali ditetapkan pada 22 Desember 1959 melalui Dekrit Presiden RI No 316 Tahun 1959. Yang kita pahami, hari Ibu ini adalah hari peringatan ungkapan dan penghargaan kepada para ibu di Indonesia. Namun, jauh sebelum kita memahami hal itu, hari Ibu pada mulanya ternyata tidak dimaksudkan untuk sekadar memperingati peran perempuan sebagai seorang ibu. Semua ini bermula dari Kongres Perempuan yang dilaksanakan pada 22 Desember 1928.

Kongres Perempoean I pada tahun 1928 menjadi penanda ditetapkannya Hari Ibu Nasional (Foto: Kabar Malang)
info gambar

Malam itu, di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodiponegoro di Yogyakarta sekitar 600 orang perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia berkumpul. Mereka saling berkenalan satu sama lain dan berbincang mengenai masalah perempuan yang mereka alami.

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, hadir juga dalam acara itu. Setelah acara itu usai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”.

Ya, hari itu adalah hari pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Kongres ini dilaksanakan mulai 22-25 Desember. Tidak cuma perempuan, kongres ini juga dihadiri oleh Mr. Singgih dan Dr. Soepomo, wakil dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi wakil dari PNI, Soekiman Wirjosandjojo wakil dari Sarekat Islam, juga wakil-wakil dari pekrumpulan Pemuda Indonesia, PSI, Jong Jaba, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond.

Selama empat hari tersebut, para perempuan yang hadir diberikan panggung untuk berpidato di hadapan para peserta dengan isu tentang perempuan. Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—tentu saja istri dari Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.

Kongres ini pun jadi panggung bagi para perempuan untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-haknya terutama dalam rangka bela negara. Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan. Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Pelaksanaan Kongres Perempuan pada tahun 1950
info gambar

Kita tentu ingat pada masa kolonial dulu, pendidikan hanya wajib diperuntukkan bagi laki-laki. Sementara, stigma yang terbangun bagi kaum perempuan adalah kaum yang tempatnya di rumah. Djami dalam pidatonya menentang keras pandangan itu dan ia memperjuangkan pentingnya sosok perempuan yang berpendidikan demi generasi yang lebih baik.

Katanya, jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkan akan terancam. Maka, penting adanya pembangunan sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini, dan Sartika. Ia menegaskan, ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Anak-anak yang pandai di masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat akan lebih baik. Pergerakan Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-ibu yang pandai juga.

Kongres Perempuan inipun berhasil mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan bersatu menjadi Perserikatan Perempuan Indonesia. Lantas setahun kemudian mereka bergnati nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia. Tak hanya itu, dua tahun setelah kongres, para perempuan ini menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Kita tak ingin lupa dengan perjuangan para pahlawan perempuan di abad ke-19 seperti Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Meutiah, Dewi Sartika, R.A. Kartini, Nyai Achmad Dahlan, dan lain-lain.

Kongres Perempuan tahun 1950 dihadiri oleh Presiden Soekarno
info gambar

Dan Kongres Perempuan ini setelah kemerdekaan akhirnya dianggap penting karena menjadi penanda bahwa di Indonesia kaum perempuan juga punya tempat untuk berjuang memajukan bangsa. Soekarno mengenang semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial itu. Oleh karenanya, pada 22 Desember 1953 bertepatan dengan peringatan Kongres Perempuan ke-25 ditetapkanlah tanggal ini sebagai hari Ibu.

Kini, perempuan-perempuan Indonesia sudah semakin aktif dan produktif untuk turun tangan memajukan bangsa. Maka, peringatan Hari Ibu Nasional ini sejatinya tak cuma untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada ibu melainkan kepada sebuah penghormatan kepada seluruh perempuan di Indonesia yang telah rela dan berani menjadikan Indonesia sebagai negara yang semakin keren.

Selamat hari ibu, terima kasih Perempuan-perempuan Indonesia!


Sumber : tirto.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini