Peresean, Adu Kekuatan Pria Untuk Meminta Hujan

Peresean, Adu Kekuatan Pria Untuk Meminta Hujan
info gambar utama

Pertarungan identik sebagai bentuk perlawanan terhadap hal yang tidak kita sukai. Namun, lain halnya dengan yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Peresean, ajang tarung yang dimiliki oleh suku Sasak dianggap sebagai simbol kejantanan pria. Pertarungan yang dilakukan antara dua lelaki ini tidak dilakukan dengan tangan kosong, namun menggunakan prenjalin, rotan sepanjang 1,5 meter yang dilapisi dengan pecahan kaca.

Sebagai tameng untuk melindungi diri, petarung yang disebut pepadu ini mengandalkan ende, sebuah perisai pelindung yang terbuat dari kulit kerbau yang tebal.

Para pepadu siap mengadu kejantanan dengan membawa prenjalin di tangan kanan dan ende di tangan kirinya. Uniknya, pepadu yang bertarung di tengah-tengah penonton ini tidak dipersiapkan sebelumnya. Siapapun dapat memamerkan kelihaiannya dalam bertarung, karena peserta ditarik secara langsung dari barisan penonton.

para pepadu bertarung ditengah-tengah ratusan penonton (lombokbaratkab.go.id)
info gambar

Selain dilindungi oleh ende sebagai perisai, masing-masing pepadu juga dilindungi dengan bebadong, jimat kesaktian yang dipercayai sebagai penghilang rasa sakit juga dapat membangun karisma dan kekuatan magis.

Alunan musik gending merupakan unsur penting dalam permainan yang dilakukan saat musim kemarau panjang ini, sebagai penyemangat dan penyemarak pertarungan. Sambil menari-nari diiringi tabuhan gendang beleq, kedua pepadu berusaha saling mengalahkan tanpa adanya rasa takut.

Aturan main

Tidak seperti perkelahian biasa, peresean ini memiliki aturan main. Peserta hanya boleh memukul bagian perut ke atas. Jika kepala salah satu pepadu terkena sabetan rotan hingga berdarah, maka ia sudah dianggap kalah walaupun merasa dirinya masih bisa melanjutkan pertarungan.

Pertarungan dimulai dengan iringan musik, kemudian pekembar tengaq, wasit pertandingan, mengundang dua orang untuk menjadi pepadu. Keduanya lalu memasuki arena pertarungan dengan membawa ende dan prenjalin.

Kedua, pepadu memasuki arena dengan posisi berhadapan, pekembar tengaq yang berdiri diantaranya pun menjelaskan peraturan, dilanjutkan dengan aba-aba untuk memulai pertarungan. Di sisi luar arena, pekembar sedi, wasit lapangan, mengawasi jalannya pertarungan dan memastikan tidak adanya kecurangan.

pepadu yang terkena sabetan rotan di kepalanya hingga berdarah dianggap kalah (youtube.com)
info gambar

Dengan bertelanjang dada dan mengenakan capuk, penutup kepala khas suku Sasak, serta kain sarung khusus, kedua pepadu bertarung selama lima ronde.

Pertandingan di akhiri oleh tiupan panjang peluit dari pekembar tengaq. Kedua pepadu kemudian bersalaman dan berpelukan, sebagai simbol jika di antara keduanya tidak saling menyimpan dendam, mengingat peresean merupakan sebuah permainan dan hiburan.

Kepercayaan masyarakat

Tetap eksisnya adu kekuatan fisik yang diiringi lantunan musik ini tidak terlepas dari keyakinan masyarakat tentang berkah yang akan didapatkan setelahnya. Mereka beranggapan, semakin banyaknya darah yang menetes dari peserta peresean, maka semakin besar pula peluang terjadinya hujan.

Masyarakat Sasak menganggap darah manusia sangat mulia, maka apabila darah manusia tertumpah ke bumi, tentu Yang Maha Kuasa akan membasuhnya dengan menurunkan air hujan.

Budaya ini menjadi sebuah tradisi yang memiliki keunikan tersendiri. Meskipun memiliki unsur kekerasan, namun peresean sangat menjunjung tinggi sportivitas. Dengan bentuk perkelahian sekalipun, adu kekuatan fisik ini dinilai dapat menguatkan persahabatan dan silaturahmi. Para pepadu tidak menaruh dendam di luar pertandingan dan menganggap Peresean sebagai ajang untuk mencari teman, bukan lawan.


Sumber : diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini