Indonesia Merupakan Peluang Investasi Baru Bagi Perusahaan Global

Indonesia Merupakan Peluang Investasi Baru Bagi Perusahaan Global
info gambar utama

Oleh: Adrian Li, Managing Partner Konvergensi Ventures Indonesia, dan merupakan Kauffman Fellow.

Banyak investor ingin kembali ke masa Cina di tahun 2007 dan 2008, dimana mereka bisa membuat keputusan investasi besar pada perusahaan rintisan (startup) yang kini sukses mendulang keuntungan sangat besar. Bayangkan jika anda menjadi pemberi modal bagi situs jual-beli Alibaba yang kini diperdagangkan dengan nilai mencapai lebih dari $250 miliar.

Bagi investor pemberi modal usaha bagi perusahaan rintisan (venture capitalists/VC) yang mencari kesempatan seperti ini, Indonesia bisa menjadi jawabannya. Itulah alasan mengapa saya pindah ke Jakarta pada tahun 2014. Setelah bertahun-tahun menjadi pengusaha teknologi di Cina, saya mendirikan sebuah perusahaan VC di Indonesia. Saya percaya bahwa Indonesia akan menjadi masa depan teknologi dan komputer (digital frontier), tempat yang dapat menerima ledakan pertumbuhan sebagaimana Cina.

Pada tahun 2008, perusahaan VC menginvestasikan $4,2 miliar di Cina, lalu naik sebesar $ 2,8 milyar pada 2007 (berdasar data Dow Jones VentureSource). Cina di masa itu menjadi pusat bagi menjamurnya investor pemberi modal. Di tahun 2015, investasi VC mencapai 37 miliar atau dua kali lebih besar dibanding tahun 2014 (Preqin Ltd.)

Dengan populasi lebih dari 250 juta, Indonesia menjadi negara keempat di dunia dengan populasi terbanyak, dan merupakan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan Cina di tahun 2007 atau 2008. Sebagai persentase dari penjualan ritel, transaksi komersial yang dilakukan secara elektronik di internet (e-commerce) berada di angka 1,4% pada 2015, keterjangkauan (penetrasi) akses internet sebanyak 28% pada 2015, dan produk domestik bruto per kapita sebesar $3,834 pada 2015.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% per tahun, transaksi internet meningkat pesat sebanyak $10 miliar dalam setahun dan diperkirakan akan mencapai $130 miliar di tahun 2020, dan jumlah pengguna telepon pintar diperkirakan meningkat pesat menjadi 100 juta pada 2020. Indonesia juga merupakan negara dengan pengguna aplikasi berbasis telepon pintar terbesar, dengan 70% lalu lintas internet dilakukan melalui telepon pintar. Belum tertatanya infrastruktur dan sistem logistik di Indonesia, membuat kesempatan bagi pertumbuhan bisnis transaksi elektronik semakin besar.

Keadaan tersebut mendorong pebisnis lokal untuk mengembangkan tiga perusahaan baru (perusahaan swasta senilai lebih dari $1 miliar). Berdasar kebutuhan lokal, ketiganya mampu menjawab peluang. Tokopedia (didirikan pada 2009 dan sekarang bernilai $1 milyar) merupakan pasar di dunia internet yang memungkinkan orang untuk membuka toko sendiri untuk menjual apapun, mulai sepatu hingga obeng.

Traveloka (didirikan pada 2012 dan mengaku akan bernilai $1 milyar) merupakan agen perjalanan internet nomor satu, yang menggabungkan beragam cara kerja operator wisata. Gojek (bernilai $1.3 miliar yang menyatukan 200 ribu pengemudi ojek) melayani transportasi orang dan barang ke manapun diperlukan.

Ketika perusahaan ini menunjukkan, bahwa Indonesia merupakan pasar dimana VC dapat membangun bisnis berdasar contoh yang telah terbukti sukses tersebut. Hal ini dapat terjadi, sebab konsumen memiliki kebutuhan dasar yang sama di seluruh dunia. Dengan sedikit pengembangan, ide-ide ini bisa menjadi solusi bagi pasar lokal.

Ketiga perusahaan ini juga menekankan pembelajaran dari Cina: Bahwa kita tak dapat meletakkan perusahaan barat di antara budaya unik Asia, dan berharap perusahaan itu dapat berkembang tanpa melakukan perubahan. Misalnya saja Uber yang memiliki ambisi besar terhadap Cina, namun akhirnya dijual tanpa keuntungan setelah gagal mendominasi pasar akibat salah mengambil langkah terkait ‘membaca’ budaya.

Selain itu, perbedaan budaya di Indonesia mendukung perusahaan lokal yang inovatif. Perusahaan iklan dan transaksi berbasis internet misalnya, dapat menggunakan data mereka tentang perilaku pengguna internet untuk membuat layanan bagi perusahaan teknologi jasa keuangan baru. Perusahaan teknologi jasa keuangan di Indonesia tidak memiliki data kredit konsumen, sebagaimana yang tersedia di negar maju. Perusahaan raksasa global seperti Google dan Facebook juga melakukan perjuangan sama dalam memasukkan wawasan lokal ke dalam produknya.

Sebagaimana Cina, banyak perusahaan rintisan di Indonesia bergerak di bidang penyediaan jasa. Ini memberi kesempatan bagi pengembangan perusahaan di pasar lokal.

Sebagai contoh, Gojek beroperasi pada 2010 oleh pendiri sekaligus CEO Nadiem Makarim, untuk menghubungkan ojek dengan pengendara. Perusahaan ini masih kecil hingga pertengahan 2014, ketika sejumlah perusahaan VC mencari perusahaan perintis yang mengembangkan bisnis di bidang transportasi. Gojek merupakan sebuah sentuhan unik Indonesia dalam bentuk berbagi tumpangan atau nebeng.

Oleh Makarim dengan riwayatnya termasuk ketika sekolah di Harvard Business School Amerika Serikat dan ketika bergabung dengan perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company, Gojek mampu memimpin pasar. Kini Gojek telah melakukan lebih dari 22 juta transaksi dalam sebulan, hingga menarik nama besar investor seperti Sequoia Capital yang berbasis di Amerika Serikat.

Ketika kini pasar teknologi Cina telah matang, VC domestik asal Cina mencari peluang lain. Pada Juni tahun lalu, tujuh anggota yang disebut Malaikat Cina (China Angels) yang merupakan kelompok kecil pengusahan dan investor berpengaruh, termasuk Xu Xiao Ping (pendiri Zhen Fund, investor terbesar untuk perusahaan kecil) dan Kai Fu Li (pendiri perusahan VC dengan gelontoran modal bagi perusahaan pemula sebesar $1,3 miliar—datang ke Indonesia. Kelompok ini bertemu dengan pendiri Gojek dan Tokopedia yang menghasilkan berbagai rencana kerjasama. "Ada kesamaan dengan yang kita alami di Cina lima sampai tujuh tahun yang lalu, dan ini merupakan kesempatan besar untuk berinvestasi,” jelas Ketua Malaikat Cina Xu Xiao Ping.

Kabar baik bagi investor yang mencari kesempatan adalah, Indonesia belum dibanjiri oleh modal. Dalam 18 bulan sejak awal 2015 hingga Juni 2016, $ 3 miliar modal VC telah diinvestasikan pada perusahaan rintisan di seluruh Asia Tenggara. Jumlah ini meningkat, dari yang hanya $200 juta pada 2011. Jumlah itu sedikit lebih besar dibanding investasi yang digelontorkan pada 2007 di Cina, yaitu $2.8 miliar.

Jika anda sedang mencari tempat menaruh modal dalam situs kencan atau perusahaan pemrosesan pembayaran berbasis internet, Indonesia perlu dipertimbangkan.

Disadur dari artikel Venture Beat yang terbit pada 29 Januari 2017.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini