Cerita di Balik Sate yang Jarang Kita Tahu

Cerita di Balik Sate yang Jarang Kita Tahu
info gambar utama

Di suatu malam usai hujan reda, sayup-sayup saya mendengar suara gemerincing khas bunyi-bunyian yang berasal dari gerobak sate. Benar saja, ketika saya keluar rumah saya dapati mamang tukang sate tengah menjajakan dagangannya. Saya kemudian memanggilnya dan memesan sate sesuai kebutuhan perut.

Ketika Si Mamang tengah membakar sate yang saya pesan, ada satu hal terbesit dalam benak saya. Bagaimana, ya sate bisa menjadi makanan ikonik Indonesia? Di beberapa negara lain kita memang masih bisa mendapati sate dengan ragam variannya. Di Jepang ada yakitori, di Tiongkok ada chuanr, dan di Perancis ada brochete. Namun, semua itu kesannya berbeda dengan sate yang dimiliki Indonesia.

Seorang penulis kuliner Jennifer Brennan tahun 1988 pernah menulis demikian: "Meskipun Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, tanah air sate yang sesungguhnya di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia. Di sini sate dikembangkan dari adaptasi kebab India yang dibawa oleh pedagang muslim ke Jawa. Bahkan India tak dapat mengakui sebagai asal mulanya karena hidangan ini merupakan pengaruh Timur Tengah."

Jadi, sate pertama kali populer di tanah Jawa. Namun, bagaimana ceritanya?

Muasal sate di Indonesia

Pedagang sate di Pasar Surabaya tahun 1930 (foto: serbajadoel)
info gambar

Konon yang mengawali adopsi masakan kebab adalah santri Sunan Gresik bernama Satah. Ia memotong daging kecil-kecil kemudian agar mudah dibakar ia menusukkannya dengan batang bambu. Tak disangka masyarakat menyukai masakan yang dibuat oleh Satah hingga menyebutnya dengan daging Satah. Lama kelamaan, sebutan makanan ini berubah pelafalannya menjadi sate. Sayangnya, tidak banyak literatur yang membahas hal ini.

Asal-usul sate yang cukup sahih adalah pada abad ke-19. Saat itu, sate di Indonesia mulai dikenal khususnya di Pulau Jawa dan menjadi menu yang paling populer di sini. Kepopuleran ini bersamaan dengan masuknya kebab, olahan daging kambing dari India, yang dibawa oleh pedagang Muslim Tamil dan Gujarat ke Indonesia. Dulu, masyarakat Jawa lebih sering menyajikan daging dengan cara direbus. Nah, lantas dari perkenalan dengan kebab tersebut, masyarakat pun makin suka makan daging sapi dan kambing dengan cara dibakar atau dipanggang. Kata 'sate' sendiri diduga berasal dari bahasa Tamil dengan sebutan catai yang artinya daging.

Dari Jawa, seiring berjalannya waktu, satepun berekspansi ke seluruh pelosok nusantara. Maka tak heran kalau hampir di setiap daerah di Indonesia ada sate yang khas seperti sate padang, sate Madura, sate lembut dari Betawi, sate pusut dari Lombok, dan lain-lain. Menurut Peta Kuliner Nusantara yang disusun oleh Bandung Fe Insitute, setidaknya ada 60 ragam sate dari seluruh pelosok nusantara.

Tak hanya di nusantara, sate juga nyatanya menyebar dari Selat Malaka hingga negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Penyebaran ini dilakukan oleh para perantau dari Jawa dan Madura yang berdagang sate di sana. Di akhir abad ke-19 sate mulai masuk ke Afrika Selatan. Masyarakat di sana lantas mengenalnya dengan sosatie.

Menyoal penyebutan sate sendiri, menurut beberapa sumber kata ini berasal dari istilah Minnan, Tionghoa sa tae bak yang artinya tiga potong daging. Namun, hal ini masih menuai banyak ketidaksetujuan karena pada kenyataannya daging yang ditusukkan pada tusuk sate berjumlah empat. Konon, empat menjadi angka simbol keberuntungan bagi kepercayaan orang-orang Tionghoa.

Jadi makanan euforia

Sate menjadi makanan yang selalu ada di setiap hajatan besar (foto: makanjogja.com)
info gambar

Menu makanan apa yang selalu terhidang di atas meja makan Kawan ketika lebaran? Yang paling sering disebutkan adalah opor ayam dan mungkin ada beberapa yang menghidangkan sate. Bagaimanapun sate memang jarang sekali absen dari meja makan kita ketika ada hajatan besar. Kalau menurut cerita sejarahnya, masyarakat Indonesia pada saat perayaan Idul Adha biasanya mengolah daging dengan cara direbus. Namun, sejak mengenal kebab, daging kurban pun dimasak dengan cara dibakar. Hal ini menjadi penanda bahwa sate merupakan hidangan yang istimewa pada setiap hajatan besar, termasuk ketika Indonesia merdeka.

Kisah yang satu ini mungkin belum banyak yang tahu. Jadi, alkisah setelah dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia, Bung Karno dalam perjalanan pulang ke rumahnya ia sempat melipir dulu ke suatu tempat. Ia melihat ada tukang sate ayam di ujung jalan. Lalu Bung Karno pun menghampirinya dan langsung memesan "Sate ayam lima puluh tusuk!" Konon, pesanan itu disebut-sebut sebagai perintah pertamanya Bung Karno sebagai petinggi negara. Hmm...

Setelah lima puluh tusuk satenya matang, Bung Karno langsung melahapnya. Menurut Bung Karno, ini adalah sebuah pesta setelah pengangkatan dirinya sebagai petinggi negara. Kisah ini dituturkan langsung oleh Bung Karno kepada penulis biografinya, Cindy Adams, yang ditulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sate bolehlah kita katakan sebagai makanan yang merakyat. Mudah ditemui di mana saja meski proses pembuatannya sebenarnya butuh tangan-tangan handal supaya cita rasa sate itu meresap ke dalam daging. Dengan sate sebagai makanan euforia, artinya sate menunjukkan sebuah kesederhanaan yang mewah bagi siapa saja yang mengonsumsinya. Bung Karno saja tidak malu jajan sate di pinggir jalan dan menyantapnya persis di tepi selokan yang kotor pasca ditunjuk sebagai pelaksana negara.

Jadi, kalau nanti malam bingung mau makan apa sepulang kerja, sate menjadi pilihan yang bijak. Setidaknya dengan makan sate kita mensyukuri apa yang sudah kita lakukan hari ini.


Sumber : diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini