Setiap peradaban di masa lampau selalu melahirkan sejumlah bukti peninggalan. Tidak terkecuali peradaban di Nusantara. Sejak dahulu, Nusantara merupakan rumah bagi sejumlah peradaban yang memiliki budaya yang beragam. Kekayaan budaya dari segala zaman itulah yang kemudian dipelajari dan dilestarikan. Museum Nasional Indonesia adalah salah satu pihak yang berperan dalam tugas mulia tersebut.
Bertempat di Jakarta Pusat, Museum Nasional Indonesia merupakan museum sejarah, arkeologi, hingga geografi. Hingga kini, Museum Nasional memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 140.000 benda dari zaman prasejarah hingga kolonial. Museum ini juga mendapat predikat sebagai salah satu museum nasional tertua dan terbesar di Asia Tenggara.
Bermula dari Semangat Abad Pencerahan di Eropa
Berdasar keterangan dari situs resminya, cikal bakal Museum Nasional tersebut muncul dari keinginan sejumlah ilmuwan di Batavia (sekarang Jakarta) untuk mendirikan sebuah perkumpulan ilmiah. Keinginan tersebut dipengaruhi oleh semangat zaman yang berlangsung pada saat itu. Bagi bangsa Eropa, khususnya kalangan akademisi, abad ke-18 merupakan masa-masa perkembangan revolusioner ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada Abad Pencerahan (Age of Enlightenment) itulah, sejumlah ilmuwan dan pemikir mulai mengembangkan ilmu pengetahuan melalui metode-metode ilmiah. Serta gagasan-gagasan yang lahir bersifat lebih kritis dan terbuka bebas. Sejumlah perkumpulan-perkumpulan cendekiawan mulai dibentuk menjadi wadah dialog yang lebih terbuka untuk umum.
Sejumlah ilmuwan Eropa di Hindia Belanda juga turut merasakan semangat dari Abad Pencerahan tersebut. Tepat pada tanggal 24 April 1778, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia)didirikan. Tanggal itulah yang hingga kini ditetapkan sebagai hari ulang tahun Museum Nasional Indonesia. Bergerak secara independen, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menjadi wadah sejumlah peneliti di bidang-bidang seperti kesenian, ilmu biologi, hingga sejarah.
Pendirinya adalah Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher, seorang ahli botani yang tinggal di Batavia. Ia menyumbangkan rumah di Jalan Kalibesar dan sejumlah koleksi miliknya untuk lembaga tersebut. Sumbangan-sumbangan dari Radermacher itulah yang kelak menjadi cikal-bakal terbentuknya museum di tengah kota Batavia.
Dalam perkembangannya, terhitung sebanyak dua kali Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen membangun museum baru dengan alasan gedung lama yang tak mampu memuat koleksi. Pembangunan gedung baru pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles di Jalan Majapahit. Pembangunan kedua dilaksanakan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1862. Museum baru dibangun di Jalan Koningsplein West (kini Jalan Merdeka Barat, lokasi Museum Nasional sekarang). Pada tahun 1868 museum tersebut mulai dibuka untuk umum.
Kemudian, pemerintah Belanda pada tahun 1923 memberikan penghargaan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atas jasa-jasanya dalam membantu pemerintah pada saat itu di bidang ilmu pengetahuan. Gelar “Koninklijk” disematkan pada nama lembaga tersebut, menandakan afiliasinya terhadap pemerintah Kerajaan Belanda. Kemudian pada tanggal 26 Januari 1950, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berubah nama menjadi Lembaga Kebudajaan Indonesia.
Sejak tanggal 17 September 1962, museum yang dikelola oleh Lembaga Kebudajaan Indonesia berpindah tangan kepada pemerintah Indonesia. Nama museum tersebut berubah menjadi Museum Pusat. Hingga pada tahun 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional. Sekarang, Museum Nasional berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Patung Gajah dari Negeri Siam
Museum Nasional Indonesia memiliki sejumlah julukan lain. Salah satunya adalah Museum Gajah. Nama tersebut memang melekat pada museum tersebut sejak abad ke-19. Patung Gajah yang berdiri di halaman depan museum menjadi alasan mengapa masyarakat menjuluki museum tersebut Museum Gajah. Terdapat kisah tersendiri dari asal-usul Patung Gajah yang ternyata berasal dari negeri Siam.
Berdasarkan penuturan dari Djulianto Susantio, asal usul Patung Gajah bermula dari kunjungan Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Kerajaan Siam (sekarang Thailand) ke Hindia Belanda. Raja Chulalongkorn singgah di Hindia Belanda pada tanggal 9 Maret hingga 15 April 1871. Kota Batavia tak luput menjadi destinasi utama dari raja yang berhasil mereformasi negeri Siam tersebut.
Sair Kedatangan Radja Siam di Betawi merupakan naskah yang mendokumentasikan kunjungan Raja Chulalongkorn di Batavia. Setiba di Batavia, Sang Raja disambut dengan meriah. Bendera Kerajaan Siam dipasang berdampingan dengan bendera Belanda di setiap gedung. Komunitas Tionghoa mengadakan atraksi semeriah perayaan Cap Go Meh.
Raja Chulalongkorn mendatangi sejumlah tempat seperti barak, rumah sakit, biara, hingga museum. Keinginan Raja Chulalongkorn untuk menghibahkan sebuah kenang-kenangan muncul tatkala beliau mengunjungi museum di dekat Koningsplein (kini Lapangan Merdeka). Raja Chulalongkorn terkesan dengan kekayaan dan keragaman koleksi milik museum. Hingga patung gajah dipilih sebagai hadiah yang menandakan hubungan diplomatik antara Siam dengan Hindia Belanda.
Selain Museum Gajah, julukan lain dari Museum Nasional adalah Museum Arca. Nama tersebut berasal dari banyaknya koleksi patung yang dikelola oleh Museum Nasional. Salah satu koleksi arca yang terkenal adalah Patung Adityawarman yang digambarkan sebagai Bhairawa. Patung dengan tinggi lebih dari 4 meter tersebut ditemukan di Sumatera Barat.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Attribusi gambar utama: CEphoto, Uwe Aranas (via Wikimedia Commons)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News