Tak Disangka! Ada Cerita Mengharukan Dibalik Ayah Hamish Daud dan Sumba Timur

Tak Disangka! Ada Cerita Mengharukan Dibalik Ayah Hamish Daud dan Sumba Timur
info gambar utama

David Wyllie adalah salah seorang Warga Negara Asing asal Australia yang sudah hidup di Nusa Tenggara Timur selama lebih dari 40 tahun. Beliau juga dinobatkan sebagai warga kehormatan di Sumba Timur. David Wyllie tak lain adalah ayahanda dari aktor Hamish Daud Wyllie. Bersama dengan ayahnya, Hamish bukan lah artis lahir dari kehidupan nyaman dan mapan. Hamish mengaku kerap hidup serba kekurangan dan penuh perjuangan.
"Saya pernah hidup susah di hutan 2 tahun dan enggak sekolah, makan harus jalan kaki 4 jam untuk petik kangkung sambil mancing,ya hidup sederhana," kata Suami dari Raisa Andriana, Senin (27/7/2015) dikutip dari merdeka.com

Kendati demikian, bagi Hamish tidak ada yang lebih berarti dari kehidupan seperti itu bersama ayahnya tercinta. David Wyllie sejak dulu dikenal sebagai orang asing yang terdepan membantu masyarakat NTT meski hidup Hamish dan keluarga juga sulit.

sumber : instagram/hamishdw
info gambar

Kepedulian ayah Hamish yang begitu besar, walau dia adalah orang asing, membuat hati masyarakat NTT, khususnya Sumba tersentuh. Sedikit demi sedikit, keberadaan David Wyllie diterima oleh masyarakat dan bahkan kerajaan di NTT, seperti Sumba Timur, Ende, Waengapo, Waejelo dan lain-lain.

"Masih kita dibedakan, mungkin ada orang kepala desa polisi enggak kenal bapakku, lalu ada raja ciuman hidung jadi orang-orang langsung nunduk. Dia punya banyak info sejarah dia sudah tinggal 40 tahun dan itu hidupnya dia kenal raja-raja sebelumnya.”

Keadaan keluarga Hamish membaik saat ayahnya bekerja di perusahaan semen di Jakarta. Dia dan keluarga pindah ke kota tersebut, namun ayah Hamish merasa tidak betah lalu meninggalkan semuanya demi hidup bersama dengan masyarakat Sumba.

"Hatinya di alam jadi dia milih hidup sederhana di alam tinggalin semua yang bikin dia happy yang dia bisa enjoy life dia tahu caranya hidup. Hidup itu cepet lho. Dia sangat menjaga masyarakat situ sampai dia meninggal,"ucap Hamish penuh haru.

Tidak heran, saat meninggal, masyarakat Sumba begitu hangat melepas ayah Hamish. Sejumlah upacara dilakukan dan David Wyllie dilepas ke haribaan tuhan oleh ribuan orang Sumba.

"Aku beruntung aku merasa I have right to be there karena besar di sini. Bapakku meninggal banyak yang bantu mereka enggak mau dibayar, sampai aku ke pasar untuk beli makanan 3500 orang selama 5 hari. Saya ke pasar dan beli sayuran tapi mereka enggak mau terima uang. Orang situ sampai segitunya bagi mereka lebih penting temenan daripada uang," lanjut Hamish bangga.

Bule Australia pertama yang menjual dan mencintai kain ikat NTT

David Wyllie (1951 - 2012), peselancar legendaris dan pemerhati kain tenun khas Sumba. Menjadikan bumi Nusa Cendana sebagai kediamannya (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)
info gambar

Perhatian David terhadap tenun Sumba juga telah mengantarnya menjadi narasumber penulisan buku tentang ragam kain tradisional Nusa Cendana dan ia mengungkap pulau ini adalah salah satu destinasi pariwisata terlengkap di Indonesia. Mulai budaya sampai alam dapat dieksplorasi para pejalan dalam negeri sampai mancanegara. Kalau pun si pejalan tidak berminat terhadap dunia selancar, Sumba tetap penting untuk dikunjungi.

Kini sepeninggal ayah Hamish, banyak hal yang harus dia teruskan termasuk meneruskan hubungan baik dengan kerajaan. "Aku jualan kain ikat raja bukan buat cari untung tapi meneruskan hubungan dengan kerajaan dan dia mau cucunya sekompak itu sama kerajaan," ungkap lelaki berbadan tegap ini.

Hamish pun memiliki misi agar terus menjaga rasa cinta tanah air di dalam dirinya lalu disebarkan ke orang lain. Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengumpulkan uang agar bisa terus hidup berpetualang seperti ayahnya.

Mengenang seorang Peselancar kelas dunia di Sumba

Nama David James Wyllie juga tak dapat dilepaskan dari salah satu lokasi selancar di Indonesia, khususnya di Kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda Islands). Beliau juga peselancar Australia yang telah bermukim sekitar 40 tahun di Indonesia dan menjadikan Pantai Kallala di Sumba Timur sebagai kediamannya. Di sini pula ia membuka sebuah resor, ditujukan bagi para peselancar yang ingin mencoba Baing—lokasi selancar dekat Pantai Kallala.

East Sumba Resort, demikian Mr David—begitu ia disapa oleh masyarakat setempat—memberi nama penginapannya. Berlokasi di tepi pantai dan dikelilingi pepohonan lontar, tempat ini terdiri dari beberapa bungalo: berbentuk rumah panggung serba kayu, satu rumah terdiri dari dua kamar, setiap kamar memiliki dua tempat tidur dilengkapi kelambu pencegah nyamuk. Dua ekor anjingnya, Fan (berbulu hitam pekat) dan Dompet (putih bak salju) gemar menemani tetamu di bungalo.

Di East Sumba Resort, para tamu diperlakukan layaknya seperti anggota keluarga oleh beliau. Saat itu, penulis (tim National Geographic) duduk bersama di ruang makan terbuka dari bahan serba kayu, berpemandangan langsung menuju pantai. Konon, David juga ikut menyiapkan hidangan yang kami santap. Paling favorit adalah salad avokad dengan dressing thousand islands serta ikan bakar berukuran super. “Jangan takut kehabisan ikan, nanti kita bakarkan lagi,” komentarnya kebapakan.

Di waktu senggang atau usai makan malam, perbincangan dengan beliau selalu berlangsung seru. Papan selancar koleksinya menghuni sebuah pondok kecil dekat ruang tamu dan di meja ruang tamu terdapat beberapa album foto lama yang memuat potret dan kliping tentang kiprahnya sebagai peselancar dunia asal Australia. Banyak kisah dituturkan pria asal Benua Kanguru ini, seperti kedatangannya di Bali, lantas pencarian tempat berselancar yang menggugah semangatnya sampai ke Nusa Cendana dan persahabatannya dengan kerajaan Sumba.


“Selain ombak untuk berselancar, saya juga mengagumi Sumba, mulai manusia sampai kebudayaan mereka, terutama hasil karya berupa kain tenun,” ungkapnya sembari menunjuk tenunan berukuran tidak kurang dari dua meter yang dipajang di dinding serta disampirkan di teras. “Setiap kain memiliki makna khusus. Coba, apakah kamu dapat memahami mengapa gambar kuda satu ini berbeda arah kepalanya dibandingkan yang lainnya? Unik, bukan?”

Sayangnya, pertemuan dan perbincangan dengan beliau merupakan yang pertama sekaligus terakhir oleh penulis dari Tim National Geographic, karena ia telah berpulang pada November 2012. Tulisan ini dimaksudkan sebagai ungkapan ikut berduka cita dan selamat jalan bagi peselancar legendaris David James Wyllie (1951 – 2012).

Sumber :

National Geographic

Merdeka

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini