Pemimpin dan Nalar Ekologis

Pemimpin dan Nalar Ekologis
info gambar utama

Tahun 2015, 2017, dan 2018 boleh dikatakan sebagai tahun Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), tiga gelombang penyelenggaraan pesta demokrasi ini bertujuan menyamakan siklus PILKADA dan periode pemerintahan kepala daerah se-Indonesia. Sekarang kita berada di tahapan PILKADA serentak 2018 yang akan dilaksanakan di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Tentu ini bukan pengalaman pertama kita melaksanakan PILKADA langsung, dan sebagaimana lazimnya, kampanye-kampanye “colongan” yang didelegasikan dalam bentuk poster, baliho, spanduk, dan lain sebagainya mulai marak dijumpai, dengan beberapa ciri yang sama, selalu ada gambar si calon dengan posisi gagah versi mereka, tersenyum, dan jargon “keakuan”.

Hiruk pikuk kancah perpolitikan sering membuat kita lupa akan ancaman yang bisa saja memupus kehidupan kita setiap saat, euforia dan senyuman calon pimpinan daerah tidak dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tertimpa bencana ekologis, mereka harus kehilangan harta benda, bahkan nyawa. Kebakaran lahan dan hutan (KARLAHUT), banjir, kekeringan, pencemaran limbah, dan lain sebagainya seakan tidak mau lepas dari kehidupan kita, mereka berkembang seiring dinamika kehidupan manusia, berdampak kumulatif dengan gejala-gejala yang terkadang luput dari pantauan. Sehingga pada akhirnya, upaya kuratif nan boros sumber daya menjadi pilihan.

Bencana ekologis semakin diperparah dengan buruknya mental pimpinan daerah, khususnya korupsi, sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. Dr. T. Jacob, Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada, bahwa kekacauan politik, tiadanya kepastian hukum, berikut penegakannya yang tidak tegak-tegak juga, membuat para pencuri (kleptokrat) bergentayangan di segala lapisan lini kehidupan, menjadi suatu tragedi yang beliau sebut “Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis”. Contoh kasus teranyar yang relevan adalah mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sulawesi Tenggara. KPK menduga Nur Alam menerima pemberian dari pihak swasta dalam setiap penerbitan izin pertambangan yang dikeluarkan tanpa mengikuti aturan yang berlaku.

Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan Institut Pertanian Bogor, dalam salah satu orasi ilmiahnya pernah menyampaikan tentang pentingnya posisi cara berpikir dalam menelusuri sebab berbagai permasalahan lingkungan dan SDA yang terjadi selama ini, karena perubahan tindakan secara mendasar hampir mustahil dapat dilakukan tanpa perubahan cara berpikir. Saya setuju dengan pendapat beliau, dalam konteks hari ini, kita bisa melihat suatu ironi, bagaimana cara berpikir yang dipadu dengan ilmu pengetahuan dan narasi kebijakan telah banyak disalahgunakan untuk menjamin kepentingan individu dan kelompok. Pada akhirnya, kembali rakyat yang harus menanggung akibatnya.

Cara berpikir yang mengedepankan prinsip-prinsip ekologis, atau nalar ekologis, dalam setiap perencanaan maupun pelaksanaan proses pembangunan mutlak diperlukan. Tantangan terbesar adalah munculnya situasi dilematis mengenai kontestasi ekonomi dan ekologi, di satu sisi kita harus menggesa proses pembangunan, tapi di sisi lain, kelestarian lingkungan hidup telah nyata dikorbankan. Diperlukan pemimpin moderat dengan keteguhan dan integritas yang kuat. Lewat bukunya yang berjudul “Curse to Blessing”, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D, guru besar manajemen Universitas Indonesia, menggugah kesadaran kita bahwa faktor kepemimpinan yang kuat mampu membawa masyarakat pada konsep pembangunan berkelanjutan. Beliau memaparkan fenomena kutukan sumber daya alam yang terjadi pada daerah atau Negara yang kaya sumber daya alam, ditandai dengan pertumbuhan perekonomian mereka yang tidak semaju daerah atau Negara yang tidak memiliki kekayaan alam. Bahkan kekayaan alam yang dimiliki justru membawa masyarakat dalam kondisi penuh konflik dan hidup miskin. Sebagai contoh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti penghasil batubara di Kalimantan, atau penghasil emas di Sulawesi dan Papua, justru berada dalam gelombang kemiskinan. Bahkan daerah yang walaupun lumbung energi, kondisi listriknya tidak bisa diandalkan untuk terus menyala 24 jam.

Oleh karena itu, dengan momentum pilkada ini, saat dimana rakyat disodorkan oleh berbagai pilihan, nalar ekologis si calon dapat digugah dan memunculkan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya. Kita sangat memerlukan pemimpin yang memiliki komitmen dan konsisten terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Pemimpin yang mampu mengakomodasi preferensi komunal yang menginginkan keharmonisan hidup, vertikal maupun horizontal. Mari kita kembali merenungkan tugas dan fungsi masing-masing kita, sesuai dengan relung dan amanat, baik sebagai insan profesi, lebih-lebih kesadaran sebagai manusia yang seutuhnya. Berbagai regulasi sudah disusun dengan niat baik, masyarakat sebagai aktor utama sudah mulai mendapat tempat di dalamnya. Tinggal bagaimana kita mampu menjaga kesucian dan niat tulus untuk berbuat sebaik-baiknya demi kelestarian lingkungan kita. Kalau kesadaran ini sudah tertanam permanen di diri kita, tentu tidak perlu kita melaksanakan saran KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang di dalam salah satu ceramahnya pernah menyampaikan sindiran bahwa “kalau Indonesia mau berubah, masing-masing kepalanya mesti dicopot, dan diganti dengan kepala yang baru”. Mari kita berbuat untuk Indonesia yang lebih baik. Salam lestari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini