Warna Warni yang Bergerak di Bawah Rintik Hujan

Warna Warni yang Bergerak di Bawah Rintik Hujan
info gambar utama

Ada yang pernah ke Bali? Di balik image yang populer sebagai destinasi selancar dan wisata kelas dunia, tahukah Kawan bahwa Bali terlebih dahulu dikenal karena keunikan budayanya? Kehidupan di Bali adalah sebuah potret budaya autentik yang mengakar kuat di kehidupan sehari-hari warganya. Barangkali, hingga kini Bali merupakan satu-satunya pulau sekaligus provinsi di Indonesia yang masih sangat kental mempertahankan tradisi zaman peradaban Hindu dan Bali di bumi Nusantara.

Mayoritas warga Bali memeluk agama Hindu Dharma. Dalam perspektif Hindu, ada ajaran yang mengajarkan kesatuan sosial. Solidaritas dan kebersamaan biasanya tercermin dalam wujud ngayah. Apa itu ngayah? Secara konseptual, ngayah bisa diartikan sebagai bentuk kegotong-royongan. Mirip dengan sikap gotong royong yang bisa kita temukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Yang membedakan yaitu bahwa ngayah di Bali termasuk ketika warga Bali melakukan persiapan hingga pelaksanaan rangkaian upacara adat. Selain sebagai bentuk rasa solidaritas, ngayah juga memiliki tujuan mulia yaitu saling berbagi, tolong menolong hingga bersosialisasi antar sesama dalam masyarakat, lho!

Satu yang menarik yang masih bisa dijumpai di Bali adalah kebiasaan warganya yang naik mobil pick up terbuka untuk sembahyang. Januari 2017 yang lalu, penulis pergi ke Bali. Dalam perjalanan dari Candidasa ke Ubud menggunakan bus, tiba-tiba hujan rintik-rintik mulai turun. Samar-samar, dari kaca depan bus, penulis melihat warna-warni kebaya di atas sebuah mobil pick up. Wah, rupanya ada sekelompok ibu-ibu di sana! Ada dua sisi dalam melihat fenomena ini, ya Kawan. Di sisi pertama, kita harus mengapresiasi perjuangan mereka untuk ikut upacara adat. Ada sekitar 30 menit lebih penulis memperhatikan ibu-ibu itu. Berarti, lokasi upacara adat cukup jauh, bukan? Penulis kagum dengan kesungguhan ibu-ibu warga Bali tersebut karena jarak yang jauh tidak menyurutkan semangat mereka untuk ngayah. Namun, di sisi lain, menggunakan mobil pick up terbuka mungkin bukan ide yang bagus. Selain melanggar Undang-undang Lalu Lintas dan berpotensi ditilang polisi, jenis angkutan ini juga berbahaya bila digunakan untuk mengangkut orang di kala musim penghujan. Akibatnya bisa kecelakaan. Semoga selanjutnya ibu-ibu itu bisa tetap mengikuti upacara adat dengan naik kendaraan yang lebih aman ya, Kawan!

Di samping ngayah, ada satu hal lagi yang unik. Kebaya yang digunakan ibu-ibu tersebut beraneka ragam warnanya. Apa ya makna warna kebaya yang dikenakan wanita Bali? Tahukah Kawan bahwa kebaya Bali baru mulai berkembang sekitar tahun 1919-1931? Kebaya secara tidak langsung sudah disahkan sebagai bentuk identitas kultural oleh adat; tidak hanya untuk kegiatan sosial namun juga untuk kegiatan keagamaan. Ketika nguopin, yaitu kegiatan untuk mempersiapkan kebutuhan upacara, misalnya, wanita dari Ubud akan mengenakan kebaya sederhana dengan warna-warna yang variatif. Di acara lain, seperti upacara nelu bulanin atau upacara tiga bulanan untuk mendoakan bayi supaya tumbuh sehat, warna kebaya yang digunakan yaitu yang berwarna cerah. Sedangkan saat melakukan sembahyang ke pura atau ritual keagamaan lain, warna putih atau kuning cenderung dipilih karena melambangkan kesucian. Lain halnya dengan upacara yang bersifat duka seperti upacara kematian ngaben, kebaya yang digunakan cenderung berwarna gelap seperti hitam atau biru tua. Mengapa? Karena warna gelap identik dengan kesedihan.

Menarik, bukan? Jadi, bila Kawan-kawan nanti melihat wanita Bali memakai warna kebaya tertentu, coba tebak ada acara apa ya!


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini