Festival Kampung Penyengat Olak: Upaya Menjaga Tradisi Menumbuk Padi

Festival Kampung Penyengat Olak: Upaya Menjaga Tradisi Menumbuk Padi
info gambar utama

Menumbuk Padi Secara Tradisional

Kegiatan menumbuk padi secara tradisional menggunakan alu dan lesung memang kian jarang dilakukan. Orang lebih memilih menggunakan mesin penggiling. Kita tidak bisa menyalahkan kondisi ini karena memang dengan menggunakan alat yang modern pekerjaan menumbuk padi menjadi lebih praktis, sehingga bisa cepat selesai. Nah, meskipun kini aktivitas menumbuk padi secara tradisional semakin tersisihkan, tidak ada salahnya jika kita mengulasnya.

Dua alat yang digunakan untuk menumbuk padi ialah alu dan lesung. Alu layaknya tongkat yang terbuat dari kayu dan digunakan untuk menumbuk. Ukuran alat ini cukup besar dan panjang. Sementara itu, pasangannya, yakni lesung merupakan wadah di mana padi ditumbuk. Sama seperti alu, lesung terbuat dari kayu. Lesung berbentuk balok dan di bagian dasarnya diberi cekungan yang lumayan dalam. Setelah padi dipanen oleh petani, selanjutnya padi dipisahkan dari tangkainya lalu dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk dengan alu. Tujuan penumbukan ini adalah untuk melepaskan padi (beras) dari sekam (kulit). Dikarenakan ukuran lesung yang cukup besar, maka jika hanya dikerjakan oleh satu orang tentu terasa berat. Di sinilah nilai kebersamaan terjalin. Para warga akan saling bekerja sama untuk menumbuk padi. Saat itulah mereka bisa bersosialisasi dengan saling bercengkerama. Warga pun bisa lebih guyub satu dengan yang lain. Inilah manfaat yang bisa dipetik dari kegiatan menumbuk padi secara tradisional. Menariknya lagi para penumbuk tak jarang memakai kostum tradisional. Di Jawa, misalnya para wanita memakai setelah kebaya dan jarik serta mengenakan capil (topi yang terbuat dari anyaman rotan yang biasa dikenakan petani) sebagai pelindung kepala.

Para wanita mengenakan kebaya, jarik, serta capil kala menumbuk padi
info gambar

Hal menarik lainnya adalah adanya irama musik yang dihasilkan kala alu bersentuhan dengan lesung. Orang-orang yang bekerja menumbuk padi tidak secara serentak menumbukkan alu mereka, melainkan secara bergantian. Inilah yang pada akhirnya menghasilkan irama musik. Ya, bekerja sambil “bermain musik”. Dari sini kemudian lahir kesenian musik tradisional yang punya banyak sebutan, seperti kotekan lesung, gejok lesung, dan lesung jumengglung. Hanya dari kegiatan menumbuk padi lantas dapat tercipta sebuah kesenian. Hanya berbekal 2 alat sederhana, yakni alu dan lesung namun bisa menghasilkan irama musik. Sederhana sekaligus menarik! Kesenian musik tradisional ini sering ditampilkan pada festival kesenian daerah. Tentu saja tanpa mengikutsertakan padi sebab yang ditonjolkan adalah musiknya. Selain ditampilkan pada festival kesenian daerah, permainan musik alu dan lesung bisa juga kita saksikan di tempat wisata, misalnya di area wisata Gua Pindul, Gunungkidul, Yogyakarta. Di sana para wisatawan dapat bersantai setelah mengeksplorasi Gua Pindul dengan suguhan pertunjukkan kesenian musik alu dan lesung yang dibawakan oleh para wanita.

Festival Kampung Penyengat Olak

Di Propinsi Jambi aktivitas menumbuk padi dengan cara tradisional disebut dengan tumbuk tepung. Tradisi ini tumbuh di Desa Penyengat Olak. Dikatakan tumbuk tepung karena memang prosesnya berlanjut hingga menumbuk beras menjadi tepung. Setelah bulir-bulir beras terlepas dari sekam, bulir-bulir beras dan kulit tersebut kemudian disaring menggunakan alat yang terbuat dari rotan. Tujuannya adalah untuk memisahkan keduanya, sehingga didapati hanya bulir berasnya. Selanjutnya bulir beras kembali dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk hingga menjadi tepung. Sama seperti yang terjadi di daerah lain, tradisi tumbuk tepung di Desa Penyengat Olak juga lekang oleh waktu. Zaman sekarang hanya segelintir warga desa yang masih mau melakukannya. Sisanya tentu saja mengandalkan mesin penggiling padi. Agar tradisi ini tidak benar-benar hilang dan akhirnya terlupakan perangkat desa bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Nurdin Hamzah menyelenggarakan Festival Kampung Penyengat Olak. Festival tersebut baru saja diselenggarakan pada Desember 2016 lalu. Bukan hanya melestarikan tradisi tumbuk tepung, festival ini secara umum bertujuan untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Desa Penyengat Olak.

Warga Desa Penyengat Olak menyaring tepung hasil tumbukan
Warga Desa Penyengat Olak menyaring tepung hasil tumbukan

Festival Kampung Penyengat Olak diadakan selama 2 hari. Hari pertama diisi dengan diskusi mengenai sejarah desa beserta dengan kebudayaannya. Diskusi tersebut dihadiri para tokoh adat. Hari kedua diisi dengan pertunjukkan kebudayaan yang mana salah satunya adalah tumbuk tepung. Tradisi tumbuk tepung ditampilkan secara lengkap. Mulai dari memisahkan padi dari tangkainya dengan cara digilas dengan kaki hingga menyaring tepung hasil tumbukan. Adalah para sesepuh yang membawakan tradisi ini dan ketika mereka menumbuk terdengarlah irama musik yang ritmis, tek tok dug tek tok dug tek tok dug..........

Melakukan pekerjaan secara tradisional merupakan salah satu warna-warni budaya nusantara. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan zaman yang menawarkan teknologi yang jauh lebih canggih membuat cara-cara tradsional dalam bekerja semakin lama semakin ditinggalkan. Inilah salah satu dampak yang harus dirasakan. Beruntung, pekerjaan menumbuk padi tidak 100% ditinggalkan. Masih ada kelompok-kelompok tertentu, seperti warga Desa Penyengat Olak yang masih mau melakoninya, bahkan sampai dibuatkan festival.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini