"Dokter Indonesia Bagus-bagus"

"Dokter Indonesia Bagus-bagus"
info gambar utama

Tak jarang kita mendengar berita-berita negatif tentang dunia kedokteran di negara kita dari pasien yang di tolak oleh Rumah Sakit sampai meninggal dunia, atau mal praktek yang dilakukan oknum dokter dan sebagainya. Bukan berarti fakta itu tidak pernah terjadi, namun berita-berita yang negative saja tentang kinerja dokter atau Rumah Sakit di Indonesia ini sepertinya hanya terjadi di negeri ini sehingga menjadi stereotype bahwa mutu kedokteran di Indonesia itu jelek bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal kejadian-kejadian seperti diatas juga terjadi di beberapa negara lain bahkan di negara maju sekalipun. Tentu alasan ini bukanlah merupakan pembenaran akan sesuatu yang salah.

Saya bukanlah seorang dokter, akan tetapi bisa merasakan persoalan yang dihadapi para dokter ini. Misalnya ada pasien yang terlantar di RS maka yang salah pasti dokternya, ada obat anastesi palsu, yang disalahkan juga dokternya meskipun soal peredaran obat palsu bukan sepenuhnya domain nya dokter. Sampai-sampai ada yang menyamakan kinerja seorang dokter dengan kutipan: “Being a good person is like being a goal keeper: no matter how many goals you save, some people will remember only the one that you missed”.

Kondisi seperti itu menyebabkan adanya menurunnya kepercayaan kepada dokter Indonesia yang di perparah dengan banyaknya orang kaya, celebrities yang cenderung lebih “nyaman” berobat ke negara-negara tetangga karena teknologinya lebih maju (padahal beberapa dokternya ada yang alumni Fakultas Kedokteran di Indonesia)

Tapi apakah memang benar kinerja dokter Indonesia jelek?

Kalau iya, kenapa banyak mahasiswa luar negeri yang ingin menempuh kuliah kedokteran di Universitas-Universitas di Indonesia seperti UNAIR, UI, UGM dll, atau kenapa para ahli kedokteran Luar Negeri juga ingin belajar banyak dari kasus-kasus kesehatan di Indonesia?

Saya bertemu dengan senior saya di Universitas Airlangga, Prof. DR. dr. Teddy Ontoseno, Sp.Ak, SP, Jp, FIHA yang kebetulan menjadi salah satu pembedah buku saya yang berisi artikel-artikel saya di Good News From Indonesia (GNFI) berjudul “Renungan Tentang Inspirasi Bangsa” (Pembedah satunya adalah Sdr. Akhyari Hananto - Founder GNFI) yang di bedah di kampus C Universitas Airlangga. Beliau berbicara dengan serius tentang kemampuan brillian dari para dokter di Indonesia

Prof. Teddy, yang merupakan ahli jantung anak mengatakan memang dari segi teknologi kedokteran Indonesia masih tertinggal (dan bukan berarti tertinggal selamanya) dibanding dengan negara-negara maju. Akan tetapi dengan adanya kelemahan dibidang teknologi kedokteran ini bagi Prof. Teddy memunculkan kelebihan. Dibidang penyakit jantung anak yang ditanganinya misalnya sering kali dokter-dokter Indonesia menangani kasus yang sangat komplek. Di Luar Negeri dimana penyakit jantung itu ditangani secara segera sejak awal- karena teknologinya yang sudah maju.

Sementara dokter-dokter Indonesia menanganai kasus penyakit jantung yang pasiennya sudah sakit lama dan baru di bawah ke Rumah Sakit. Karena itu para dokter Luar Negeri mengakui kehebatan dan kelebihan para dokter di Indonesia, karena para dokter luar negeri itu tidak pernah menemui kasus seperti itu, seperti kasus jantung bawaan yang sudah biru, dan menangani pasien yang sudah mengidap lama penyakit jantung itu.

Prof Teddy
info gambar

Prof. Teddy ketika menjadi Ketua Ikatan Dokter Ahli Jantung Anak se Indonesia (2005-2011) dan banyak kolega-kolega nya melakukan banyak penelitian dan membuat buku-buku berdasarkan pengalaman mereka yang menangani kasus penyakit jantung yang kompleks. Dan dokter-dokter Luar Negeri tidak memiliki data tentang kasus-kasus seperti itu, mereka bahkan banyak yang ingin belajar dari Indonesia. Apalagi mereka ingin tahu dan belajar lebih lanjut tentang bagaimana dokter-dokter Indonesia melakukan pengobatan yang terintegrasi atau “Integrated Treatment Approaches” misalnya proses operasi,, pemberian obat-obat, pengobatan paliatif, bahkan dengan pemberian obat-obat herbal tradisional yang kesemuanya itu menyebabkan penambahan “Quality of Life” si pasien.

Prof. Teddy yang sering mengikuti seminar atau pertemuan-pertemuan ilmiah di bidang kedokteran sering mendapatkan apresiasi dari para ahli kedokteran Luar Negeri tentang kehebatan dokter-dokter Indonesia.

Prof. Teddy dengan mimik serius menjelaskan pada saya yang awam soal kedokteran, bahwa meskipun dokter-dokter Indonesia tertinggal dibidang teknologi dibanding dengan di luar negeri, namun dokter-dokter Indonesia lebih memiliki keunggulan di ketrampilan atau skill dan pengetahuan atau knowledge.

Tentu kita tidak bisa menafikan bahwa Indonesia harus mengejar ketertinggalan dibidang teknologi kedokteran dari luar negeri. Potensi Perguruan Tinggi di Indonesia dan para anak-anak muda yang kreatif di negeri ini pasti mampu menemukan teknologi baru di bidang kedokteran. Dan kalau faktor teknologi ini bisa dikuasai, maka kita yakin bahwa dunia kedokteran di Indonesia akan menjadi hebat karena memiliki data dan pengalaman yang tidak dialami oleh dokter luar negeri.

Jadi jika ada oknum dokter di Indonesia yang melakukan kesalahan, atau manajemen Rumah Sakit yang masih perlu diperbaharui, maka kita tidak perlu men-generalisasi atau membuat stereotype bahwa dokter di Indonesia jelek. Sangat naïf kalau para ahli di luar negeri memberi apreasiasi terhadap kinerja dokter-dokter kita, sementara kita sendiri men-“downgrade” potensi hebat para anak-anak bangsa yang berkarya di bidang kedokteran ini.

Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang memberi apresiasi pada bangsa sendiri.

*) Ahmad Cholis Hamzah, Alumni Universitas Airlangga, University of London dan penulis GNFI, serta Ketua Departemen Kajian Internasional dan Pemberdayaan Alumni Global, Ikatan Alumni Universitas Airlangga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini