Kengerian dari Negeri di Tengah Afrika, dan Pelajaran Darinya

Kengerian dari Negeri di Tengah Afrika, dan Pelajaran Darinya
info gambar utama

Negeri ini memang tak begitu populer di Indonesia, selain karena letaknya yang jauh di tengah Afrika, namanya jarang kita dengar, Rwanda juga bukan destinasi utama para traveler Indonesia. Tak banyak yang kita ketahui darinya, kecuali mungkin negeri adalah penghasil kopi dan teh yang enak.

Jika kita sedikit melihat ke belakang, Rwanda pernah menjadi berita besar di paruh kedua 1990-an, dimana genoside terbesar di era modern terjadi. Kejadiannya begitu cepat, menyetak, mengerikan, brutal, dan secara tiba-tiba selesai, dengan korban dan dampak yang tak terperikan.

Kejadiannya di mulai pada bukan April, 23 tahun lalu.

Pada siang hari, 6 April 1994, sebuah pesawat yang ditumpangi Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana dan Presiden Burundi (tetangga Rwanda) Cyprien Ntaryamira ditembak jatuh tepat saat akan mendarat di bandara Kigali, Ibukota Rwanda. Keduanya terbunuh beserta seluruh kru dan penumpang. Kedua presiden itu kebetulan berasal dari etnis Hutu yang mayoritas di Rwanda. Etnis Hutu, dari sejak era kolonial, selalu disetting untuk selalu berkompetisi (dan cenderung bermusuhan) dengan etnis Tutsi yang minoritas. Tensi kedua etnis memang selalu tinggi di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, militer, hingga angkatan bersenjata.

Jatuhnya presiden dari etnis Hutu itu menjadi katalis dan pemicu dimulainya era tergelap dalam sejarah Rwanda. Pada 2012, sebuah investigasi yang dilakukan oleh pemerintah Rwanda yang didukung komunitas internasional menyatakan bahwa pelaku penembakan pesawat tersebut justru berasal dari ekstrimis Hutu yang seetnis dengan dua presiden terbunuh, yang mempunya agenda besar, yakni menyingkirkan seluruh individu etnis Tutsi dari Rwanda.

Dan hari-hari penuh darah pun dimulai di negara berjuluk “Negeri Berjuta Bukit” itu.

Pembantaian besar-besaran terhadap suku Tutsi dimulai secara massif, terstruktur, dengan tujuan menghapuskan keberadaan etnis Tutsi. Pembantaian dimulai dari orang-orang tutsi yang terpelajar, dan keluarganya, dan kemudian pembersihan total di badan-badan pemerintahan, dan akhirnya semua orang Tutsi menjadi target pembantaian yang oleh perencananya disebuat sebagai “the Final Solution”.

Tak hanya mereka yang berdarah Tutsi, mereka yang berkeluarga maupun berbisnis dengan etnis Tutsi pun tak luput dari pembantaian yang dilakukan dengan menyerbu rumah-rumah mereka, pun dibunuh beramai-beramai di jalanan.

Selama 3 bulan ke depan sejak April 1994, horror ini berlangsung sepanjang waktu. Bayangkan kengeriannya, tak hanya 1 juta orang terbunuh (penduduk Rwanda waktu itu 5.9 juta orang), namun cara mereka dibunuh pun bukan main kejamnya. Orang tua, anak muda, anak anak, bayi, perempuan, dibunuh dari jarak dekat dengan menggunakan pedang, parang, ataupun tongkat yang ditajamkan. Tujuannya adalah agar sang korban melihat wajah-wajah pembunuhnya.

Kengerian terjadi di seluruh negeri | Pinterest
info gambar

Kekejaman ini terjadi di seluruh penjuru Rwanda. Para pembantai bukan hanya berasal dari tentara Rwanda, namun juga milisi-milisi Hutu yang didukung pemerintah, yakni Interahamwe dan Impuzamugambi. Orang-orang yang mereka bantai pun adalah orang yang sepenuhnya mereka kenal,; tetangga dekat mereka, teman kerja, kawan sekolah, guru atau murid mereka, atau pun teman bermain bola bersama.

Pembantaian ini dirancang dan disusun secara rapi dan teliti oleh penguasa, para korban dieksekusi dengan efisien dan korban pun jatuh secara cepat. Senjata ternyata sudah dibeli, diimpor, dan ditimbun sejak lama, termasuk ratusan ribu parang yang diimpor dari luar negara. Target-target utama pembunuhan juga sudah disusun, dikumpulkan, dan didistribusikan kepada milisi-milisi lokal. Kampanye dan dorongan untuk membantai setiap individu suku Tutsi dilakukan oleh radio-radio di seluruh Rwanda.


Radio-radio ini bahkan menyiarkan secara langsung instruksi pembunuhan, tempat-tempat persembunyian etnis Tutsi, dan bagamana cara efektif menangkap dan membantai mereka secara cepat. Ceita-cerita hoax dan berita palsu disebarkan untuk menebarkan kebencian terhadap suku Tutsi.

Ketika pembantaian mulai berhenti pada bulan July 1994, kengerian jumlah korban pun tersingkap. Tiga dari setiap 4 orang Tutsi terbunuh!

Para pengungsi Tutsi | The Irish Times
info gambar

Kengerian yang hanya bisa disampai oleh kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi pada Perang Dunia II, dan kebrutalan Khmer Merah terhadap rakyat Kamboja pada pertengahan 70-an. Bedanya, baik Nazi maupun Khmer Merah melakukannya dalam 2-3 tahun, sedangkan di Rwanda, korban begitu banyak hanya dalam waktu yang relatif singkat, 100 hari.

Kita perlu sejenak merenungkan, bagaimana kebrutalan massal tersebut bisa terjadi di era modern? Sebuah episode kemanusiaan yang membangkitkan rasa ngeri, malu dan jijik, dan bagaimana dunia membiarkannya terjadi di depan mata mereka.

Kita mungkin akan berpendapat bahwa genosida di Rwanda adalah sebuah kejadian yang disebabkan oleh kegilaan kolektif di sana yang disebabkan oleh hal-hal yang takkan pernah akan terjadi di sekitar kita. Mungkin benar, namun pernahkah kita menyadari bahwa latar belakang terjadinya horror dahsyat yang tak terbayangkan di Rwanda itu adalah adanya segregasi “us” and “them”. Dan rasanya, di era informasi yang begitu cepat saat ini, termasuk penggunaan sosial media yang kita gunakan sehari-hari, “us” and “them” ini makin sering kita dengar dan kita rasakan. Sindiran, olok-olok, caci maki, saling menyudutkan, adalah hal yang tak jarang kita temui sepanjang waktu di timeline kita.

Satu pelajaran penting dari bencana kemanusiaan di Rwanda yang bisa kita petik adalah betapa mudahnya ketakutan dan kebencian disebarkan dan menjalar ke berjuta orang dalam waktu singkat, betapa efektifnya perpecahan bisa dibangun dan dimanipulasi, betapa cepatnya ikatan-ikatan sosial yang selalu taken for granted, terurai dan runtuh.

Kita perlu kembali Indonesia sebagai bangsa dengan masyarakat yang mempunhyai ikatan sosial yang begitu kuat, gotong royong, saling berkorban untuk membantu orang lain, pun mendahulukan kepentingan bersama, di atas kepentingan kita, dan golongan kita. Bangsa yang ramah, bangsa yang tak suka beradu mulut, tak suka berdebat untuk hal-hal tak perlu, bangsa pekerja keras, bangsa yang visioner.

Karena sejatinya, itulah DNA Indonesia.

==

Sumber dan referensi :

Wikipedia : Demographics of Rwanda

TheConversation.com : Why it’s important that the world still reflects on Rwanda’s genocid

MassHumanities.org : Othering: Lessons from Rwanda for Our Schools

Abdul Latief Mohammad: Genocide in Rwanda : the interplay of human capital, scarce resources and social cohesion

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini