Ksatria Airlangga di Pulau Terkecil Nusantara

Ksatria Airlangga di Pulau Terkecil Nusantara
info gambar utama

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah*)

Saya tentu sudah memahami sejak kecil bahwa Nusantara ini berbentuk archipelago memiliki pulau lebih dari 17.000 dan karena itu Indonesia ini besar. Itu saya juga faham. Akan tetapi karena saya “city boy” – lahir di Surabaya dan dari kecil sampai SMP masih memiliki mindset semua wilayah itu seperti datar, mudah terjangkau, dari pulau satu ke pulau lain. Mindset saya mengatakan bahwa ke satu pulau ke pulau lainnya itu seperti dari pusat kota kelahiran saya Surabaya ke kota Malang naik darat. Namun ketika terjadi konflik sosial di Maluku tahun 1999 – 2000 an, mindset saya waktu kecil itu bubar seketika melihat kenyataan luasnya Nusantara ini. Saya tanya para sahabat saya di Ambon kenapa aparat keamanan lambat datang ketika ada kerusuhan yang menelan korban jiwa – ketika saya mengajukan pertanyaan ini pikiran saya aparat keamanan itu dari Surabaya ke Sidoarjo atau Malang dan cepat sampai di tempat kerusuhan. Sahabat muda saya seorang politisi dan sarjana terkenal di Ambon mengatakan “Pak tempat kerusuhan itu berada di balik bukit, dan aparat keamanan baru bisa nyampe berjam-jam atau, dua hari karena harus naik boat”.

Ketika saya mendampingi seorang diplomat Amerika melakukan kunjungan kehormatan ke Bupati Sumenep, Madura tahun 2015 an. Bupati menjelaskan bahwa tugas di Sumenep berbeda dengan Bupati yang wilayahnya hanya daratan saja. Bupati ini mengatakan bahwa jumlah pulau di wilayahnya lebih dari 120, memerlukan energy yang banyak dan tidak mudah untuk bisa mengunjungi pulau- pulau yang berserakan sampai dekat Sulawesi.

Dua pengalaman saya diatas menunjukkan betapa luasnya nusantara ini, apalagi ketika saya secara reguler berkesempatan berkunjung ke propinsi-propinsi di Indonesia Timur, menyaksikan sendiri betapa luasnya nusantara ini dan betapa susahnya menjangkau wilayah-wilayah terkecil dan terluar. Sulit membayangkan wanita di tempat terrpencil yang menderita penyakit tumor misalnya, dan harus di operasi di Rumah Sakit di kota dan baru dua hari bisa sampai kota menemui dokter.

Karena itu saya bangga dan berdetak kagum ketika sahabat-sahabat saya alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga mempunyai ide mulia membuat Rumah Sakit Terapung agar bisa memberi pelayanan medis pada warga yang berada di tempat-tempat terpencil; karena saya menyaksikan sendiri betapa sulitnya menjangkau tempat seperti itu. Para alumni FKUA itu juga menyampaikan idenya ke pengurus Ikatan Alumni (IKA) UA tentang ide brillian dan mulia ini dan gayung bersambut. Didiskusikan segala sesuatunya agar ide ini terwujud.

Para pengurus IKAUA juga mendapat nasihat-nasihat kritis dan detail dari Dahlan Iskan salah satu tokoh Jatim dan nasional tentang dana, siapa yang mengelola, manajemen, crew kapal, kebutuhan bahan bakar (yang mahal), berapa tenaga medis nya, jangan jauh-jauh dulu berlayarnya, jangan asal-asalan mengelolanya dsb dsb.

Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlanga | Antara
info gambar

Kapal yang di beri nama Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga ini sudah jadi, dan betul-betul Indonesia, karena di buat oleh tangan-tangan ahli perajin kapal tersohor di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, memiliki bobot mati 117 Gross Ton, memiliki panjang 30 meter dan lebar lambung 7,2 meter dan memiliki fasilitas medis didalamnya. Memang Rumah Sakit Terapung (RST) Ksatria Airlangga ini bukanlah satu-satunya di Indonesia karena sebelumnya ada dua Rumah Sakit Terapung milik TNI-AL berupa kapal besar. Namun untuk ukuran kecil mungkin RST Ksatria Airlangga ini merupakan pertama kali di Indonesia.

RST Ksatria Airlangga | unair news
info gambar

Pada tanggal 15 September 2017 untuk pertama kalinya melakukan bhaktinya dan Pulau Bawean menjadi destinasinya.

Ada ide yang menarik dari para alumni FK bahwa Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga ini tidak hanya mempunyai misi untuk memberi pelayanan medis di pulau-pulau terkecil dan terluar, namun bisa dipakan untuk pengabdian masyarakat secara in inter-disiplin keilmuan, misalkan alumni dari Fakultas Ekonomi bisa melakukan penelitian tentang kondisi dan potensi ekonomi misalkan kemiskinan, ketenaga kerjaan di pulau-pulau itu. Alumni dari Fakultas lainnya juga bisa melakukan bhaktinya sesuai dengan disiplin ilmu nya masing-masing. Jadi nantinya RST Ksatria Airlangga ini menjadi tempat untuk melakukan “Integrated Social Services” bagi para alumni.

Dalam diskursus ilmu ekonomi pembangunan saat ini, mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi secara riel suatu negara tidak bisa di lihat dari sudut income per capita yang dihitung dengan US$ itu, tapi juga bisa diukur dari berapa ketersediaan listrik per kapita, berapa ketersediaan air minum per kapita, ketersediaan pendidikan termasuk ketersediaan pelayaanan kesehatan nya. Sehingga keberhasilan RST Ksatria Airlangga melakukan pengabdianya kepada masyarakat di pulau-pulau terkecil di nusantara ini adalah merupakan satu upaya untuk para alumni Perguruan Tinggi melakukan pemerataan pembangunan secara menyeluruh di bumi nusantara yang kita cintai ini.

Semoga.

*) Ahmad Cholis Hamzah, alumni Universitas Airlangga dan University of London, Ketua Departemen Kajian Internasional dan Pemberdayaan Alumni Global IKA-UA, Dosen dan authorized writer Good News From Indonesia.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini