Pelukis Difabel Indonesia yang Meraih Mimpinya di Australia

Pelukis Difabel Indonesia yang Meraih Mimpinya di Australia
info gambar utama

Dengan posisi tengkurap, ditengah dinginnya cuaca kota Adelaide, Faisal harus menopang tubuhnya dengan kedua sikunya..

Mulutnya mengigit kuas dan menggoreskan warna-warna cerah di atas kanvas, dan sesekali ia harus membuang kulit dari batang kuasnya yang terkelupas, karena terlalu lama digigit.

Musim dingin yang lalu, sekitar bulan Juni, Faisal Rusdi, pelukis difabel asal Bandung harus menyelesaikan 19 lukisan untuk pameran tunggalnya.

"Saya melukisnya hampir setiap hari dari pukul delapan pagi hingga menjelang malam, dengan hanya beristirahat untuk makan dan shalat," ujar Faisal saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC Melbourne.

Faisal Rusdi sedang melukis | AustraliaPlus
info gambar

Faisal mengaku hanya memiliki waktu kurang dari empat bulan untuk menggelar pameran tunggal, yang pertama kali dalam hidupnya, di galeri yang berada di balai kota City of West Torrens, tak jauh dari pusat kota Adelaide.

"Tawaran ini menjadi berarti bagi saya, karena pada awalnya saya ke Adelaide, sempat diragukan dengan kondisi saya sebagai difabel." Kata Faisal.

Faisal lahir dengan kondisi celebral palsy, yang menyebabkan tangan dan kakinya tidak berfungsi. Ia sudah hampir 2 tahun tinggal di Adelaide, menemani istirnya, Cucu Saidah, yang juga difabel, yang sedang menempuh jenjang S2 bidang Kebijakan Publik di Flinders University.

Faisal Rusdi (kiri) berserta Cucu Saidah, istrinya (kedua dari kanan) saat acara pembukaan pameran tunggalnya l AustraliaPlus
info gambar

"Waktu saya mengajukan visa, karena memiliki disabilitas, saya sempat disuruh membuat proposal apa yang akan dilakukan di Australia, mungkin takut dianggap merepotkan negara karena saya tidak bisa membawa asisten pribadi."

Faisal berhasil membuktikannya. Sejak 13 November lalu, 21 hasil karya yang mengambarkan pengalaman-pengalamannya sudah dipamerkan di West Torrens Auditorium Gallery dengan judul 'Colour of The Journey'.

Pameran yang hanya menampilkan hasil karyanya ini menjadi jawaban atas harapan dan cita-citanya sejak lama, yang bahkan belum pernah terwujud saat ia tinggal di Indonesia.

"Saya menggunakan teknik titik-titik dengan menggunakan bahan kanvas dan cat minyak," ungkapnya.

Faisal mengaku untuk menggelar pameran tunggal di Australia adalah hal yang sebenarnya cukup sulit, karena galeri-galeri di Australia lebih mengutamakan seniman-seniman lokal.

"Saat kami pindah kontrakan, kami bertemu dengan pemilik rumah yang kebetulan juga pelukis. Saya langsung saja menanyakan bagaimana cara menggelar pameran tunggal."

Keberanian Faisal untuk mengungkapkan keinginannya, langsung disambut baik oleh sang pemilik rumah.

Kebetulan ia memiliki hubungan dengan pihak galeri di City of West Torrens, karena pernah beberapa kali menggelar pameran disana.

"Pihak galeri kemudian menghubungi saya, permintaan saya disetujui, saya disediakan galeri untuk pameran tunggal, disedikan katalog, mereka juga yang melakukan semua publikasi, semua tanpa dipungut bayaran."

Lukisan-lukisan Faisal yang dipamerkan pun dijual dengan kisaran harga $500 hingga $2.000, sekitar Rp 5 juta dan Rp 20 juta.

"Sampai saat ini sudah ada tujuh lukisan yang laku terjual. Lukisan yang sudah terjual masih dipajang, tapi diberi tanda sudah dibeli. Saya sempat terkejut juga." kata Faisal.

Menurutnya melukis adalah tumpahan emosi dan imajinasi dan saat melukis seseorang harus dalam keadaan bahagia dan positif. bagi Faisal, kebahagiaan itu justru ia temukan saat melakukan proses melukisnya sendiri.

Pameran tunggal Faisal akan digelar hingga 3 Desember mendatang, yang bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional.


Sumber: australiaplus.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini