Wanita Poso Mempromosikan Perdamaian Melalui Makanan dan Kopi

Wanita Poso Mempromosikan Perdamaian Melalui Makanan dan Kopi
info gambar utama

Meskipun telah bertahun-tahun sejak kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah 1998 silam yang berlangsung hingga 2001, banyak masyarakatnya yang belum benar-benar terlepas dari bayang apa yang terjadi pada saat kerusuhan tersebut berlangsung.

Saya menyaksikan banyak rumah dibakar, orang-orang diculik, serta bunyi ledakan bom,” disampaikan oleh Nengah Susilawasi, seorang Hindu asal Bali berumur 41 tahun.

Nengah dan keluarganya pindah ke Poso pada tahun 1988 sebagai dampak dari perubahan peraturan pemerintahan Orde Baru.

Nengah masih belum melupakan ingatannya mengenai pengeboman yang terjadi. “Saya mudah sekali ketakutan ketika mendengar suara nyaring," ungkapnya.

Selain itu, Reflin Mandala yang saat ini berumur 24 tahun, menyebutkan bahwa keluarganya yang beragama kristen selamat dari tiga bentrokan besar dalam konflik yang terjadi pada 1998 hingga 2000.

Pada sebuah bentrokan besar yang terjadi di 1999, rumah tempat ia dan keluarganya tinggal di Tentena dibakar, mengharuskannya untuk kembali ke desa Pantende.

Tidak hanya menghancurkan bangunan, hubungan sosial, konflik Poso juga menghancurkan sistem mata pencaharian.

"Lahan pertanian kita dibiarkan tak tersentuh dan berubah menjadi hutan. Kami baru bisa memulihkan tanah kami dalam lima tahun terakhir," kata Nengah.

Selama konflik, militer juga melarang orang-orang untuk melakukan kegiatan berkebun setelah pukul 3 sore, yang berujung kurangnya penghasilan, jelas aktivis sosial Lian Gogali dari Institut Mosintuwu. "Mereka bilang kalau kita ditembak karena kita mengabaikan peringatan mereka, mereka tidak akan bertanggung jawab," jelasnya.

Bahkan sayur mayur dan ikan memiliki afiliasi keagamaan pada saat itu. Tomat diasosiasikan dengan Kristen, sedangkan ikan dengan Muslim. Mayoritas petani disini beragama Kristen dan kebanyakan dari nelayan beragama Muslim,” tambah Lian.

Lian memiliki restoran yang memiliki metode efektif untuk mengobati luka dari kerusuhan tersebut, gerakan tersebut bernama Dodoha Mosintuwu.

Ilustrasi wanita Poso dan Kopi Kojo | Foto: Sintuwu Raya
info gambar

Terletak di sebuah rumah bambu, restoran tersebut tidak hanya menyediakan kuliner lokal dan kopi, tapi juga menjadi sebuah wadah bagi masyarakat dengan latar belakang agama manapun untuk bisa berinteraksi dengan satu sama lain.

Tempat terbaik untuk membicarakan kedamaian adalah di meja makan malam. Makanan itu universal. Semua manusia, tidak penting apapun llatar belakang agama atau sukunya, semua butuh makanan,” Lian menyebutkan.

Kopi Kojo | Foto: Mosintuwu
info gambar

Restoran ini menyediakan kopi khas bernama Kopi Kojo, yang dipanen langsung oleh wanita lokal asal Desa Bancea di Poso.

Kopi robusta tersebut memiliki rasa kecokelatan yang lezat dengan tekstur yang halus, cocok untuk menjaga percakapan berlangsung berjam-jam.

“Menjadi pelengkap makanan, kopi tersebut telah berhasil menyatukan masyarakat dari latar belakang agama yang berbeda, serta memberdayakan perempuan secara ekonomi.” ucapnya.

Lian menambahkan ia memilih perempuan sebagai kunci utama perubahan karena tradisi lokal menempatkan wanita di atas tumpuan spiritual, sebuah praktik budaya yang digantikan setelah Kekristenan diperkenalkan.

"Dulu, wanita adalah pendeta agung di Poso dan satu-satunya yang diperbolehkan untuk menengahi antara manusia dan penciptanya. Selain itu, karena wanita dekat dengan alam, mereka adalah satu-satunya yang diizinkan untuk menentukan waktu panen. Kekristenan mengubahnya secara terbalik dengan memprioritaskan pendidikan bagi pria dan mengajari wanita bagaimana melayani suami mereka, keluhnya.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini