Bali Democracy Student Conference, Suara Para Pemuda Kontribusi Untuk Demokrasi Dunia

Bali Democracy Student Conference, Suara Para Pemuda Kontribusi Untuk Demokrasi Dunia
info gambar utama
Bali Democracy Forum (BDF) kesepuluh yang berhasil diselerenggarakan di International Convention Exhibition, Bumi Serpong Damai (ICE BSD) pada 7-8 Desember yang lalu tidak hanya memberikan pengembangan demokrasi bagi perwakilan negara-negara delegasi, tetapi juga para generasi muda. Sebab pada forum internasional yang genap berusia satu dekade ini untuk pertama kalinya mendatangkan delegasi dari kalangan mahasiswa dari berbagai negara dalam kegiatan Bali Democary Student Conference (BDSC).

Tercatat terdapat sekitar 151 mahasiswa asing dari 61 negara yang hadir untuk saling berbagi pengalaman berdemokrasi di negaranya masing-masing sebagai delegasi BDSC. Para mahasiswa tersebut diajak untuk menjalani tiga sesi konferensi yang hasil akhirnya adalah sebuah dokumen rekomendasi bagi para delegasi negara peserta Bali Democracy Forum 2017.

Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan bahwa ia berterima kasih dengan BDF tahun ini karena selain berhasil mengundang delegasi-delegasi dari berbagai negara, even tahun ini juga mendatangkan para pemuda. "Saya berterima kasih karena diikutkan juga para mahasiswa sebagai pimpinan masa datang di setiap negara untuk juga menjalankan konferensi mahasiswa demokrasi di Indonesia. Generasi muda sejak awal adalah penggambaran demokrasi. Kemajemukan, toleransi, mereka juga menjadi generasi muda yang cinta damai menjadi agen perdamaian. Karena apabila kita tidak menjalankan demokrasi seperti itu pada akhirnya muncul radikalisme yang hampir semua radikalisme dimulai dari dari generasi muda yang diajarkan tanpa radikalisme hanya mencapai tujuan tanpa suatu proses yang baik," ujar Wapres.

Para delegasi BDSC berfoto dengan Presiden Republik Nauru, Wakil Presiden RI dan Menteri Luar Negeri RI (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

BDSC pun semakin menarik ketika pada sesi pertama seorang sosok ibu, aktivis dan aktris nasional Indonesia, Dian Sastrowardoyo hadir sebagai inspirational figure. Ia menyampaikan pertanyaan Does Democracy (Give) Power to the People or to Some? yang harus dijawab generasi saat ini. Sebab menurutnya demokrasi bisa disebut sebagai sebuah suatu kenyamanan kalau tidak bisa disebut kemewahan dalam pengalaman sejarah Indonesia. Sebab demokrasi harus dibayar mahal oleh bangsa Indonesia di tahun 1998. Namun, menurutnya peristiwa itu kemudian melahirkan dan membangkitkan kesadaran berdemokrasi Indonesia. Dian pun mengungkap bahwa Bertelsmann Stiftung's Transformation Index (BTI) menunjukkan indikasi positif perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kerusuhan Mei 1998.

Sosok yang sempat berakting dalam duologi Ada Apa Dengan Cinta tersebut kemudian menyampaikan mimpi besarnya pada anak-anak bangsa di masa depan. Dian juga mengajak generasi muda untuk bersama-sama berkontribusi meninggalkan warisan bagi generasi penerus berupa freedom, hope and peace.

Dalam sesi kedua, para delegasi mahasiswa/i disuguhkan dengan diskusi panel dengan tema "Expectation to Deliver Democracy Youth Perspective". Para anak muda diajak untuk menyampaikan bagaimanakah demokrasi yang mampu tersampaikan dan bermanfaat bagi sebuah masyarakat dalam kacamatanya masing-masing.

Diskusi diawali dengan pemaparan dari tiga narasumber, yang berasal dari tiga negara: Indonesia, Ethiopia dan Amerika Serikat. Ketiganya menjelaskan bagaimanakah praktek sebuah demokrasi yang berhasil tersampaikan pada masyarakat.

Narasumber pertama dari Indonesia, Afifah Puti Sholihat, seorang mahasiswi aktif di Universitas Udayana Bali memaparkan bahwa pemuda memiliki banyak cara-cara kreatif untuk menyampaikan aspirasinya. Ia menggambarkan bagaimana dua orang saudara, Melati dan Isabel Wijsen yang masih remaja berhasil untuk mengkampanyekan Bali bebas sampah plastik lewat Bye Bye Plastics Bags.

Afifah Puti Sholihat saat diskusi panel BSDC (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

"Mereka mulanya mencari dukungan menggunakan petisi online, namun ternyata petisi yang didapatkan sangat sedikit. Hingga kemudian mereka bernisiatif untuk mencari tanda tangan dari para turis di Bandara Ngurah Rai. Di sana setiap harinya ratusan ribu orang berlalu lalang. Dalam waktu satu minggu mereka akhirnya mendapatkan 100.000 lebih tanda tangan dan menarik perhatian pemerintah setempat. Dan akhirnya berhasil mendorong peraturan pelarangan tas plastik dimulai tahun 2018." papar Puti.

Puti pun kemudian menjelaskan bahwa inilah bukti bahwa aspirasi pemuda ingin didengarkan dan ingin terlibat dalam proses pengambilan keputusan. "Youth lack of influence but have the voice. Student wants to involved in decision making," ujarnya.

Pemaparan kedua kemudian disampaikan oleh Meaza dari Ethiopia yang rupanya aktif menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia. Ia memaparkan bagaimana demokrasi memerlukan sebuah akuntabilitas agar mampu menjadi sistem yang berkualitas. Tanpa akuntabilitas, demokrasi tidak akan mampu memberi proses yang transparan. "Akuntabilitas dan transparansi adalah dua sisi yang tidak terpisahkan dalam demokrasi," katanya.

Sementara pemateri ketiga adalah Jacob seorang mahasiswi dari Illinois University Amerika Serikat yang berbagi tentang bagaimana institusi yang baik untuk menjalankan demokrasi sehingga menciptakan suasana demokratis. Belajar dari pengalaman Amerika Serikat sebagai salah satu negara demokrasi tertua, Jacob mengungkapkan bahwa tanpa institusi yang baik, proses demokrasi tidak akan berjalan. Beberapa hal yang perlu untuk menciptakan institusi yang demokratis adalah kebebasan pers dan transparansi.

Menariknya, Jacob melihat bahwa di kalangan pemuda, tantangan sebenarnya saat ini adalah bagaimana membuat para pemuda untuk lebih peduli dengan situasi sekitarnya. Sebab saat ini para pemuda yang memiliki kebebasan malah cenderung untuk dissenggage atau tercerabut dari lingkungannya namun sangat terkoneksi dengan sesuatu yang jauh dari jangkauannya.

Sesi diskusi panel BDSC 2017 (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

Usai pemaparan, forum kemudian begitu aktif. Ada banyak perspektif demokrasi yang disampaikan oleh para pemuda yang hadir dalam BDSC. Ada yg menceritakan bagaimana pengalaman demokrasi di negaranya ataupun bias demokrasi dan nilai-nilai yang seharusnya diangkat.

Perwakilan dari Fiji misalnya yang mengungkapkan bahwa akses informasi menjadi masalah di negara kepulauan itu. Dan pemudalah yang kemudian harus mengedukasi masyarakat yg tersebar di ratusan pulau. Demokrasi menjadi penting karena negaranya harus melakukan sesuatu untuk menghadapi climate change.

Ada juga perwakilan dari Mali yang mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kesempatan yang besar dalam demokrasi dibandingkan negaranya. Itu sebabnya ia menjelaskan bahwa Indonesia harus memanfaatkan kesempatan dengan baik meskipun masih banyak terdapat masalah seperti money politic.

Perwakilan BDSC dari Mali (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

Sementara perwakilan Gambia pun mengakui bahwa food atau makanan yang menjadi unsur money politic memang masih menentukan sikap politik dan masyarakat yang demokratis. Namun menurutnya yang membuat demokrasi penting adalah demokrasi harus sesuai dengan budaya lokal. Sehingga tetap relevan dan memberikan dampak.

Dari hasi diskusi ini, para delegasi kemudian merancang sebuah dokumen hasil diskusi dan rekomendasi. Hasil diskusi tersebut telah disampaikan dalam sidang terakhir sesi Bali Democracy Forum 2017 yang disampaikan oleh Chairwoman Bali Democracy Student Conference, Marina Kirilchuk yang berasal dari Ukraina.

Marina Kirilchuk saat menjadi Chair untuk sidang perumusan Voice of Youth BDSC (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

Marina yang ternyata merupakan mahasiswa Manajemen Bisnis di Pascasarjana Universitas Padjajaran mengungkapkan bahwa dirinya sangat terhormat untuk bisa menjadi Chairwoman sebab dirinya dipercaya untuk bisa mempersembahkan Voice of Youth (Suara Para Pemuda). "Menjadi kepala konferensi dan mempersembahkan dokumen kepada orang yang lebih tua seperti para menteri dan tamu partisipan bagi saya sebagai seorang mahasiswi adalah sebuah kehormatan," ujar perempuan 25 tahun itu.

Dokumen tersebut menjadi bukti bahwa para generasi muda mampu untuk bersuara sehingga berkontribusi, terlibat dalam meningkatkan kualitas tujuan demokrasi. Yakni kesetaraan kesempatan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan.

Menariknya para delegasi yang memang kebanyakan masih muda mengaku masih ada rasa kecewa dengan dipindahnya lokasi even BDF 2017 yang dipindahkan dari Bali ke Banten. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat para delegasi mahasiswa untuk mengikuti acara. Sahara misalnya, yang merupakan mahasiswi asal Malaysia yang sedang menjalani kuliah di Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak terlalu kecewa karena ia bisa belajar banyak.

"Konferensi ini membuka wawasan yang sangat luas tentang bagaimana sebuah konferensi bagi saya. Dan saya bisa mendengar banyak opini, tidak semuanya sesuai dengan apa yang kita percaya sehingga kita harus berusaha menerima dan berusaha menciptakan solusi yang sama-sama bisa diterima," ujarnya saat bercerita pengalamannya.

Kesan serupa juga disampaikan oleh Tanti Rianti yang merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran. Ia menjelaskan bahwa BDSC berhasil membuka wawasannya tentang bagaimana demokrasi di berbagai negara dunia.

"Saya mulanya tidak tahu bagaimana demokrasi di Uganda, Jepang dan Malaysia seperti apa, namun di sini saya akhirnya tahu. Dan juga paham bahwa ternyata demokrasi tidak bisa diterapkan dengan cara yang sama di setiap negara sehingga tiap negara memiliki cara menerapkan demokrasi," ujar Tanti.

Dari sekian banyak cerita tentang BDSC, kita semua kemudian belajar bahwa para pemuda di era teknologi informasi saat ini merupakan sebuah peluang dan bukan ancaman bagi kehidupan masyarakat di masa depan khususnya dalam hal berdemokrasi. Selama para elit dan pengambil kebijakan mau untuk terbuka dan melibatkan peran para pemuda seperti mahasiswa untuk turut hadir dalam sebuah pengambilan kebijakan. Sebab mereka memiliki suara dan kontribusi yang nyata. Lalu akan seperti apakah pemandangan demokrasi dunia di masa depan setelah adanya peran serta pemuda?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini