Bersama ARKIPEL Melihat Hakikat Asian Games 1962

Bersama ARKIPEL Melihat Hakikat Asian Games 1962
info gambar utama

Perhelatan olahraga akbar se-Asia masih berlangsung dengan meriah hingga hari kelima sejak pembukaan pada 18 Agustus 2018 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Membludaknya beragam dukungan masyarakat terhadap atlet-atlet mereka, khususnya masyarakat Indonesia, semakin banyak menghiasi halaman-halaman media saat ini.

Tidak hanya seputar atlet dan venue, animo di luar lapangan seperti sistem pengalihan jalan dan beragam diskon khusus berlomba-lomba diinfokan sebagai bentuk partisipasi dan dukungan terhadap jalannya Asian Games yang kedua kalinya diselenggarakan di Indonesia setelah tahun 1962.

Pertama kali ketika diselenggarakan 56 tahun yang lalu, Indonesia yang kala itu masih belum memiliki fasilitas megah dan canggih di masanya, pasti memancing keingintahuan kita mengenai bagaimana persiapan dan penyelenggaraannya ketika itu.

Melalui tema homoludens, yang diartikan secara garis besar sebagai manusia yang bermain-main, Forum Lenteng mengadakan pameran kultursinema yang pada Agustus ini merupakan kali kelima, yang disebut ARKIPEL. ARKIPEL adalah festival film dokumenter dan eksperimental tingkat internasional yang diselenggarakan di Goethe Institute dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Bertajuk Gelora Purnaraga, Kultursinema kelima ini menayangkan arsip-arsip dari penyelenggaraan peristiwa olahraga penting di Indonesia pada tahun 1960-an tersebut, dan tak lupa juga Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan pada tahun 1963 dan 1966. Arsip tersebut diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kita tidak lupa bahwa bersamaan dengan ditetapkannya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games tahun 1962 lalu, terjadi pula rentetan kejadian bersejarah Ganefo. Kultursinema kelima tersebut bermaksud melihat, menggali kembali dan merefleksikan persoalan sosial budaya ketika itu melalui sinema. “Posisi budaya bisa dilihat dari olahraga”, seru Yuki Aditya, Direktur ARKIPEL, pada malam pembukaan hari Kamis, 09 Agustus 2018 lalu.

Segala praktek-praktek tak terduga yang terjadi selama rangkaian peristiwa olahraga bersejarah tersebut, menurut Hafiz Rancajale selaku Direktur Artistik ARKIPEL dan pendiri Forum Lenteng, sangat tepat untuk menggambarkan terminologi homoludens sebagai topik utama kultursinema tahun ini.

“buat kami, kultursinema ini melihat kembali setelah lima kali penyelenggaraannya, bagaimana melihat esensi sinema atau film dalam praktek-praktek yang tak terduga yang paling manusiawi. Homoludens menurut kami adalah term yang paling pas untuk mencoba menguji kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul”.

Menilik kembali sejarah dimulainya Ganefo pada 1963, olimpiade olahraga tandingan tersebut dicetuskan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang diperuntukkan bagi negara-negara non-blok. Ir. Soekarno yang juga presiden pertama Republik Indonesia, melakukan langkah yang sangat berani tersebut usai didiskualifikasi dari daftar peserta Olimpiade Tokyo 1964, yang menurutnya sangat berpihak kepada salah satu blok negara.

Siapa yang akan menyangka bahwa negara yang bahkan belum memiliki stadion selevel kompetisi internasional, pun dengan meminjam dana dari Uni Sovyet, dapat mencetuskan kompetisi olahraga tandingan yang partisipannya setara olimpiade, bahkan dapat bertahan dalam dua kali penyelenggaraan.

Event olahraga yang bermuatan politis namun nilainya sangat tinggi bagi Indonesia tersebut, sangat kental dengan aspek kemanusiaan yang terus bermain dan belajar, sebagaimana tema yang diangkat di kurasi arsip pada kultursinema ini, homoludens.

“Melalui medium filem, ARKIPEL ingin menghadirkan kesempatan untuk belajar melihat, membaca, menuliskan kembali, dan mengorganisasikan hal-hal yang berkaitan dengan sinema”, ujar Yuki.

Malam pembukaan diawali dengan alunan piano dari Dendang Belantara dan perkenalan para juri dan kurator, dilanjutkan dengan bersama menyaksikan empat judul film dokumenter yaitu Songs of Fortune karya Veronica Burger, Good Tidings karya Sebastiano Luca Isinga, The Night Between Ali and I karya Nadia dan Laila Hotait, dan Sub Terrae karya Nayra Sans Fuentes.

Perwakilan dari tim selektor Kompetisi Internasional, Manshur Zikri, juga memberikan sambutannya pada malam pembukaan di ruang teater Goethe Institute tersebut. “Empat film yang akan disaksikan malam ini adalah yang kami anggap mewakili sebuah refleksi mengenai kultural yang terbebas dari gelombang informasi dan adinarasi ideologi-ideologi dan diktritisi melalui hal-hal yang kita anggap sebagai hubungan dalam wacana identitas, subkultur dan kontestasi geopolitik.”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini