Jakabaring Palembang, Kisah Perubahan Rawa Gambut dan Harapannya

Jakabaring Palembang, Kisah Perubahan Rawa Gambut dan Harapannya
info gambar utama

Jakabaring di Palembang, Sumatra Selatan, adalah kawasan yang cukup dikenal di Indonesia maupun dunia. Di wilayah ini terdapat kompleks olahraga bertaraf international seluas 325 hektar, tempat digelarnya PON XVI 2004, SEA Games 2011 serta event bertaraf international lainnya. Saat ini, Jakabaring merupakan lokasi penyelenggaraan Asian Games ke-18.

Jakabaring dulunya satu lanskap rawa gambut yang terletak di Palembang Ulu, Palembang, yang diubah atau direklamasi di penghujung pemerintahan Orde Baru. Sebelum direklamasi, Jakabaring dijadikan persawahan pasang surut, perkebunan sayur, dan lokasi pencarian ikan warga.

Pemilik lahan atau yang menggarap lahan, umumnya warga yang menetap di Plaju dan Kertapati Palembang. Dulu, di Jakabaring masih banyak ditemukan buaya, ular, beruang, rusa, dan bahkan tahun 1950-an, menjadi wilayah jelajah Harimau Sumatra.

Luas rawa gambut Jakabaring yang direklamasi sekitar 2.400 hektar, yang terbentuk karena genangan atau aliran dari anak Sungai Musi di sebelah utaranya atau Sungai Ogan dari sebelah selatan. Beberapa anak Sungai Musi yang berada di Palembang Ulu, seperti Sungai Aur, dulunya bermuara ke Jakabaring.

Lanskap Jakabaring ini juga terhubung dengan kawasan rawa gambut di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, yang kini kondisinya juga mulai rusak sehingga hampir setiap tahun dibakar masyarakat untuk bertani dan berkebun.

Salah satu kanal di dekat kompleks olahraga Jakabaring, Palembang. Kanal ini kering saat kemarau | Foto: Nopri Ismi
info gambar

Berbagai persoalan muncul ketika proyek ini dijalankan awal 1990-an. Mulai dari permasalahan ganti rugi lahan, pelanggaran HAM, hingga terkait hilangnya kawasan resapan air sehingga Palembang Ulu terancam bencana banjir dan kekeringan. Organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi reklamasi Jakabaring diantaranya Walhi Sumsel hingga Serikat Petani Indonesia (SPI) bergerak beberapa bulan setelah jatuhnya Soeharto pada 1998.

Protes itu tidak menghentikan proyek. Tumbangnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia pun tidak mampu menghentikan reklamasi Jakabaring. Kawasan itu setelah menjadi perumahan, pasar, sarana olahraga, pusat kesenian dan pariwisata, berikutnya dibangun jalan layang dan stasiun LRT, serta sejumlah mall dan hotel.

Saat ini, sejumlah rumah panggung berdiri di sepanjang Jalan Gubernur Ahmad Bastari di atas lahan yang belum ditimbun dan didirikan bangunan permanen. Lahan rawa ini akan tergenang air saat penghujan.

Di sisi lain, Jakabaring memiliki sejumlah taman, dan banyak pohon di sepanjang jalan, sekitar venue, sehingga menjadi lokasi favorit warga Palembang untuk berwisata dan berolahraga pagi dan sore hari. Menjelang Asian Games 2018, berbagai komunitas olahraga beraktivitas di Jakabaring.

Suatu kesempatan, beberapa tahun lalu, Eddy Santana Putra, saat menjabat Wali Kota Palembang, kepada Mongabay Indonesia, pernah merencanakan kanal-kanal yang berada di kawasan Jakabaring, digunakan sebagai lokasi wisata air.

“Para turis lokal maupun luar Indonesia dapat berkeliling Jakabaring menggunakan perahu dayung. Kian indah setelah pepohonan atau tanaman tumbuh baik di sepanjang tepian kanal-kanal tersebut,” kata Eddy. “Rutenya dari Benteng Kuto Besak, menyusuri Sungai Musi, masuk ke Sungai Ogan, diakhiri menyusuri kanal-kanal di kawasan Jakabaring, sehingga kehidupan air masih dirasakan,” lanjutnya.

Namun, keinginannya tersebut belum terwujud, karena Eddy Santana Putra tidak lagi menjabat Wali Kota Palembang. Dia juga gagal menjadi Gubernur Sumsel pada pilkada 2013 lalu.

Siapa Eddy Santana Putra? Lelaki berdarah Komering-Tanjungraja (Sumsel) tapi dilahirkan di Pangkal Pinang, Bangka, 57 tahun lalu, merupakan sosok penting pengembangan kawasan Jakabaring. Selama lima tahun (1993-1998), dia menjadi pemimpin Reklamasi Jakabaring yang merupakan proyek nasional.

Guna menata air atau mempertahankan Jakabaring sebagai daerah resapan air, Eddy Santana membuat sejumlah danau dan kanal. Menariknya, kanal yang dibuat tidak lurus seperti umumnya, ada yang berkelok layaknya sungai.

Warga Palembang memanfaatkan Jakabaring yang lebih asri dibandingkan wilayah lain di Palembang untuk berolahraga. Foto: Nopri Ismi
info gambar

Eddy dikenal sebagai wali kota yang “anti kekumuhan” dan bermimpi menjadikan Palembang sebagai kota wisata air. Selama 10 tahun memimpin Palembang, dari 2003-2013, dia mengubah kawasan pasar yang dulunya terkenal kumuh dan rawan kriminalitas yakni pasar di depan Benteng Kuto Besak (BKB) dan Pasar 16 Ilir.

Pasar di depan BKB dibersihkan, para pedagangnya dipindahkan bersama para pedagang Pasar 16 Ilir ke Pasar Induk Jakabaring. Selanjutnya pasar di depan BKB menjadi Plaza BKB yang kini terdapat patung Iwak Belido.

Di seberang Pasar 16 Ilir dan BKB, yakni Kampung 7 Ulu dan 10 Ulu, juga ditata. Tepian sungai Didam, sehingga dapat menjadi ruang terbuka.

Selanjutnya, Eddy merevitalisasi sejumlah anak Sungai Musi. Beberapa anak sungai dikeruk, dilebarkan seperti semula, lalu didam tepiannya. Guna mengatasi banjir, sejumlah kolam retensi dibangun. Sungai Musi tak luput dari pengerukan. Eddy pun menyampaikan sejumlah gagasan pembangunan jembatan yang melintas Sungai Musi. Kini, gagasan itu mulai terwujud dengan dibangunnya Jembatan Musi IV dan Musi VI yang hampir selesai.

“Saya tahu, Palembang ini dulunya kawasan rawa gambut. Tapi semua sudah terlanjur dibangun berkarakter daratan sejak masa pemerintahan Belanda. Jadi yang harus dilakukan sekarang yakni menata lingkungan, sehingga dapat meminimalisir dampak lingkungan seperti banjir, kekeringan, kumuh dan kotor karena sampah,” katanya suatu waktu.

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di kampung 14 Ulu, Palembang yang merupakan bagian dari kehidupan Sungai Musi | Foto: Nopri Ismi
info gambar

Sosok penting Jakabaring

“Terlepas berbagai persoalan yang ada, harus diakui Jakabaring menjadi seperti saat ini karena kerja Eddy Santana Putra. Dia sosok penting. Meskipun proyek reklamasi itu di masa Ramli Hasan Basri sebagai gubernur Sumsel, tapi yang berada di lapangan, untuk menata dan mewujudkan Jakabaring seperti sekarang ini adalah Eddy,” kata Maspriel Aries, wartawan yang 25 tahun bertugas di Palembang, dalam sebuah diskusi tentang tema liputan Asian Games 2018, pekan lalu.

Menurut Maspriel, ketika dirinya berdiskusi dengan Eddy Santana Putra, alumni Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya itu berkeinginan kawasan Jakabaring bukan hanya sebagai lokasi perkantoran, kompleks olahraga, perguruan tinggi, pasar, juga pusat kesenian dan pariwisata.

Sosok lainnya adalah Rosihan Arsyad. Gubernur Sumatera Selatan periode 1998-2003, yang kali pertama menjadikan Jakabaring sebagai pusat olahraga. Dia berjuang menjadikan Sumsel tuan rumah PON. Dia pun membangun Stadion Gelora Sriwijaya.

“Jika tidak ada PON (Pekan Olahraga Nasional), mungkin SEA Games dan Asian Games sulit diwujudkan di Jakabaring. Ini artinya apa yang dilakukan Alex Noerdin sebagai Gubernur Sumsel dengan menggelar SEA Games dan Asian Games tidak lepas dari kerja pemimpin Palembang maupun Sumsel lainnya,” kata Maspriel.

Salah satu rumah panggung yang berada di pinggir Jalan Gubernur Ahmad Bastari, Jakabaring, Palembang. Rumah panggung ini berada di atas lahan rawa yang belum ditimbun | Foto: Nopri Ismi
info gambar

Terpisah, Conie Sema, seorang seniman, mengatakan Jakabaring sangat cocok dikembangkan sebagai pusat wisata air. Dapat dibangun miniatur kehidupan air Palembang di Jakabaring. Caranya dengan mengoptimalkan keberadaan kanal-kanal tersebut. Misalnya, mulai dari menghijaukan kawasan sepanjang tepian kanal dengan tanaman khas Sumatra, didirikan rumah-rumah panggung yang dapat dikunjungi, serta perahu-perahu jukung yang didayung. “Sangat menarik,” katanya.

“Gedung kesenian di sana juga diaktifkan dengan berbagai kegiatan bertaraf nasional dan international, sehingga Jakabaring benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat dari semua pengorbanan bentang alam,” kata Conie.

Terkait kanal yang mengalami kekeringan di musim kemarau, lanjut Conie, karena masih kurangnya tanaman di tepiannya. “Juga ditanam pohon bambu yang mampu menjaga air tanah, termasuk pohon beringin. Jika banyak tanaman, saya percaya kanal-kanal itu tidak mengalami kekeringan seperti sekarang pada saat musim kemarau,” tandasnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini