Kampoeng Mataraman, Tempat Wisata Bernuansa Jawa Awal Abad 19

Kampoeng Mataraman, Tempat Wisata Bernuansa Jawa Awal Abad 19
info gambar utama

“Jangan tinggalkan desa, karena desa masa depan dunia”

Demikian nasihat Wahyudi Anggoro Hadi ketika saya berkunjung ke Kampoeng Mataraman, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi D. I. Yogyakarta pada Kamis (30/8/2018) malam lalu. Kata-kata itu membuat saya malu, karena sebagai orang desa, belum banyak yang bisa diberikan kepada kampung halaman.

Wahyudi yang merupakan kepala desa Panggungharjo membuktikan omongannya itu bukan isapan jempol belaka. Banyak terobosan yang telah dilakukan selama lima tahun terakhir jabatannya. Mulai dari pelayanan desa kepada masyarakat, kesejahteraan pegawai desa, hingga pengembangan ekonomi dan budaya perdesaan.

Satu dari sekian banyak inovasi Wahyudi yang menarik perhatian adalah Kampoeng Mataraman, unit usaha Panggung Lestari, Bumdes Panggungharjo. Tempat wisata yang berada di ring road Selatan Yogyakarta ini menghadirkan nuansa masyarakat agraris di awal abad 19. Sebuah wujud pemanfaatan dana desa yang sangat berhasil memanfaatkan potensi desa.

Kampoeng Mataraman dibangun di atas lahan seluas 6 hektar dengan dua konsep yakni njobo di luar dan njero atau di dalam kampung. Saat ini baru terealisasi konsep njobo kampung seluas 1,5 hektar yang menghadirkan nuansa ndeso namun masih lebih nge-pop. Ke depan, akan dibangun konsep njero kampung yang lebih menghadirkan suasana tempo dulu.

“Kehadiran Kampoeng Mataraman berangkat dari kenyataan Desa Panggungharjo tidak punya landscape yang baik, kami hanya punya lifescape berupa bentang budaya, bentang social dan bentang ekonomi,” ungkap Wahyudi.

Di Kampoeng Mataraman, terdapat dapur Tradisional yang masih mempergunakan kayu dan anglo sebagai bahan bakar untuk memasak. Menu makanannya pun sangat khas tradisional seperti sayur lodeh, oseng genjer, apem, tempe goreng garit dan menu tradisional yang lainnya. Sedangkan untuk minumannya tersedia es dawet.

Terdapat dua rumah Joglo yang bisa dipergunakan untuk menikmati makanan maupun tempat bersantai bersama keluarga dan kolega. Di belakang joglo utama ada hamparan sawah dimana para pengunjung bisa mencoba untuk ikut membajak sawah. Ada pula tempat luas untuk anak-anak memainkan berbagai macam permainan tradisional.

Sebelum hadir pada Juni 2017, pihak Pemerintah Desa (Pemdes) Panggungharjo melakukan riset yang cukup kuat selama tiga bulan dengan membongkar arsip majalah maupun pemberitaan di akhir abad 18 dan awal abad 19. Untuk diketahui, pihaknya memiliki warung arsip yang mengoleksi surat kabar dan majalah yang memotret situasi masyarakat agraris saat itu.

“Atmosfer di sini membuat para pengunjung kembali ke suasana desa, baik dari sisi tempatnya makanannya, maupun interaksi sosialnya. Pekerja di sini memosisikan diri sebagai tempat banyak orang untuk kemudian berpulang. Kembali ke rumah, ke si mbo, ke ibu, maupun saudara di kampung. Nuansa yang dibangun memang suasana pedesaan. Dimana interaksi sosial masih sangat kuat dan sangat cair. Ini menjadi oase bagi orang kota untuk kembali ke desa,” tuturnya.

Respon masyarakat baik dalam maupun luar Yogyakarta sangat positif dengan adanya Kampoeng Mataraman. Dalam 14 bulan terakhir, pengunjung yang datang lebih dari 100 ribu orang. Hal ini berbanding lurus dengan pendapatan pada semester pertama yakni sebesar Rp890 juta, dan Rp2,1 milyar pada semester kedua.

“Itu menjadi ukuran terkait bagaimana kemudian konsep Kampoeng Mataraman direspon positif. Sekarang unit usaha Bumdes ini jadi tempat bergantung 53 tenaga kerja yang berasal dari kelompok marjinal seperti perempuan kepala keluarga, lansia, disabilitas, pemuda putus sekolah, dan lain-lain. Ini jadi tempat mereka mennggantungkan hidup,” beber pria yang akan kembali maju pada Pilkades Panggungharjo tersebut.

Menurut dia, penerimaan tenaga kerja yang relatif tidak cukup diterima di pasar tenaga kerja merupakan perwujudan prinsip Bumdes dalam menjalankan fungsi Pemdes. Perilaku Bumdes harus mencerminkan perilaku negara dimana bukan bertumpu pada profit akan tetapi jauh lebih mementingkan benefit atau kebermanfaatan bagi masyarakat.

Oleh karena berprinsip seperti itu, kesempatan terbukanya lapangan kerja jauh lebih penting daripada hanya sekedar efisiensi biaya. Mereka yang bekerja di Kampoeng Mataraman, saat penerimaan tidak pernah ditanya lulusan mana, ijazahnya apa, usianya berapa. selama mereka mau bekerja, maka akan difasilitasi untuk bekerja di sana.

“Masalah kompetensi memang jadi bagian proses yang senantiasa ditingkatkan. Ini bagian dari upaya memberdayakan, menampung dan menyelesaikan masalah sosial. Pengunjung pun jadi mengafirmasi kelemahan pelayanan yang belum terstandardisasi. Malah mereka jadi apresiasi karena tidak banyak yang melakukan itu meskipun business process-nya masih kasar,” ujarnya.

Hadirnya Kampoeng Mataraman juga menjadi jawaban atas keraguan bahwa desa tidak mampu mengembangkan diri meski diberi kesempatan. Wahyudi menggunakan teori angsa hitam dimana dulu banyak orang hanya percaya bahwa semua angsa putih. Mereka kemudian baru percaya ketika hanya ada satu angsa hitam.

“Cukup satu saja untuk meruntuhkan semua teori. Harapannya Kampoeng Mataraman pun jadi bukti bahwa ketika desa diberi kesempatan untuk membangun, mereka mampu mengembangkan diri. Banyak juga kok desa yang mampu melakukan hal serupa. Persepsi bahwa desa itu bodoh, identik dengan keterbelakangan, kemiskinan dan sebagainya itu bisa gugur karena dijawab dengan banyak praktik baik yang sudah dilakukan desa-desa,” kata Wahyudi.

Sumber: Wawancara Langsung

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FG
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini