Tiga Fakta Tersembunyi di Balik Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia

Tiga Fakta Tersembunyi  di Balik Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia
info gambar utama

Oleh : Bhaskara Adiwena,

Asisten ManajerKantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara

(Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja)

Saya ingat betul dengan ungkapan idealisme di bangku kuliah dahulu, "Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia!". Sayangnya, jargon ini sering disalahgunakan, sering diteriakkan tanpa analisis mendalam.

Pada tahun 2012, segerombolan mahasiswa berjaket kuning bersiap-siap untuk melakukan demonstrasi, menggugat pemerintahan SBY atas rencana kenaikan harga BBM. Hal yang saya ingat, hanya sedikit mahasiswa dari fakultas saya, Fakultas Ekonomi, yang kemudian turun ke jalan. Kami tahu betul, kebijakan itu diambil dengan alasan logis, dikarenakan harga minyak dunia yang sudah terlampau tinggi.

"Lo ga usah ikutan demo itu lah, Dek. Ngapain?", ujar saya kepada junior kuliah. Untungnya, para mahasiswa di dalam lingkungan kami punya pemikiran yang sepaham.

"Mending kita bikin diskusi saja, diskusi pencerdasan", ujar seorang kawan.

Ide ini pun kami eksekusi dengan segera. Ketimbang bergerak tanpa landasan, kami memilih untuk melihat akar permasalahan. Dibandingkan terlihat mentereng, kami lebih memilih untuk percaya pada hal yang kami anggap benar.

Meskipun pada akhirnya kenaikan BBM ini tidak terealisasi karena ditolak oleh DPR, sebagai mahasiswa kami belajar satu hal: memasyarakatkan budaya diskusi.

Opini Masyarakat

Pada saat saya dulu kuliah, media sosial belum seramai seperti saat ini. Ajakan rapat masih menggunakan SMS jaringan komunikasi yang berantai, dari satu orang ke orang lain. SMS itu pada akhirnya harus kembali ke pengirim pesan pertama. Jika tidak sampai ke pengirim awal, akan diketahui putusnya informasi ada di siapa. Kala itu, aliran informasi tidak mengalir secepat dan sederas sekarang.

Sekarang, media sosial seperti tak lepas dari kehidupan. Karena dekatnya dengan keseharian, keriuhannya pun jadi makin terasa. Salah satu isu yang santer didengar adalah Indonesia ingin menambah utang. Untuk itulah, Managing Director IMF, Christian Lagarde konon hadir jauh-jauh ke Indonesia. Padahal, kedatangannya memiliki agenda terkait IMF-WB Annual Meetings.

Tidak berhenti sampai disitu. Warganet dalam berbagai postingan di media sosial kemudian menjatuhkan pemerintah dengan bilang bahwa acara tersebut hanya menghabiskan uang, mendukung kapitalisme, dan komentar negatif senada. Tidak sedikit kemudian ujaran kebencian ditujukan kepada pemerintah.

Saya jadi teringat, perilaku ini tak ubahnya mahasiswa pada zaman saya dahulu, yang penting eksis dan berteriak saja. Masalah utama seringkali karena minim informasi yang diketahui. Untuk itu, kita yang lebih tahu perlu menyebarluaskan informasi yang benar. Memasyarakatkan atmosfer diskusi, tak ubahnya seperti saya dan teman-teman lakukan ketika mahasiswa. Ini penting, sebab hal yang selanjutnya kita diskusikan adalah tentang masyarakat.

Tiga Fakta Sesungguhnya

Masyarakat Indonesia perlu mengetahui fakta sebenarnya yang perlu diluruskan. Berikut adalah tiga fakta tentang IMF-WB Annual Meetings 2018 yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada Oktober mendatang.

  1. Indonesia tidak sedang berutang kepada IMF.

Ada sebuah foto legendaris yang kerap digunakan di berbagai artikel IMF di Indonesia. Dalam foto tersebut, ditampilkan Michel Camdessus, Managing Director IMF pada tahun 1998, tengah bersedekap sambil memandang Presiden Soeharto. Mayoritas intrepretasi yang terbentuk mengerucut ke satu hal: sosok IMF arogan sedang menunggu Indonesia yang membutuhkan bantuan dana siaga. Benarkah seperti itu?

Camdessus dan Soeharto dalam Penandatanganan Perjanjian | Sumber: Republika.co.id (2018)
info gambar

James Boughton, mantan sejarawan IMF, menjelaskan realita aslinya amat berbeda dengan persepsi yang terbentuk. Boughton menuturkan, saat itu Camdessus masuk ke dalam ruangan yang besar bersama Soeharto. Ternyata, protokoler hanya menyediakan satu bangku utama: untuk Presiden Soeharto. Karena tidak ada kursi, Camdessus berdiri di samping Soeharto yang duduk. Soeharto kemudian berdiri untuk menandatangani dokumen.

Ketika Camdessus sedang berpikir dan melipat kedua tangannya di depan dada, fotografer langsung mengabadikannya. Padahal, sebagaimana diungkapkan Boughton, kala itu Camdessus yang tanpa tendensi apapun tengah berpikir, "apa yang harus saya lakukan kemudian?" Meski hanya beberapa detik, jepretan foto ini kemudian menjadi foto yang amat bersejarah. Karena foto itulah, persepsi IMF sebagai pemberi utang lekat sampai sekarang di benak masyarakat Indonesia.

Dua puluh tahun kemudian, IMF yang dikomandoi oleh Christine Lagarde datang ke Indonesia. Suara negatif bahwa Indonesia akan kembali berutang kembali terdengar, terutama di media sosial. Faktanya jelas, IMF tidak datang ke Indonesia untuk memberi utang. Lagarde hadir dalam konferensi tingkat tinggi IMF-WB Annual Meetings 2018, sekaligus melihat kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah konferensi tahunan akbar yang akan dihadiri oleh sekitar 15.000 partisipan dari 189 negara.

Presiden Jokowi Bersama Christine Lagarde Sumber: Foto Setkab dalam Industry.co.id (2018)
info gambar

Pada tahun 1998 silam, Indonesia memang pernah berutang USD 9,1 miliar ke IMF karena kondisi krisis keuangan mendesak pemerintah untuk meminjam ke lembaga internasional. Namun, utang tersebut sudah lunas pada tahun 2006, lebih cepat empat tahun dibandingkan jadwal yang ada. Kini, Indonesia tidak lagi memiliki utang dengan IMF. Perekonomian Indonesia menunjukkan tren membaik dan resilien. Cadangan devisa juga terjaga di atas USD 120 miliar. Persepsi positif dari masyarakat dunia pun semakin kuat. Pada tataran dunia internasional, Indonesia menunjukkan hubungan bebas aktif dengan banyak negara dan lembaga internasional, termasuk IMF. Indonesia semakin berdaulat dan tangguh. Sudah sewajarnya jika Indonesia tidak menutup diri dengan masyarakat dunia.

  1. Indonesia tumbuh lebih baik dan berbeda. Begitu pula dengan IMF.

Christine Lagarde menyadari stigma negatif IMF di mata masyarakat Indonesia. Dalam dialog interaktif bersama presenter berita kenamaan, Rosianna Silalahi (1/3/2018), Lagarde kemudian menyampaikan pandangannya. Ia menyatakan IMF kini sudah berubah, sama seperti dengan Indonesia yang semakin tangguh. Ia menegaskan, institusi yang dipimpinnya tumbuh berbeda dibandingkan 20 tahun lalu saat krisis.

Pernyataan Lagarde tentang Ekonomi Indonesia | Sumber: Kasakusuk.com (2018)
info gambar

Mantan Menteri Keuangan Perancis ini kemudian menambahkan, seiring berjalannya waktu, IMF menjadi lembaga internasional yang lebih kuat. Saat ini, fokus kerja IMF menjadi lebih luas, yang secara tradisional bukan menjadi tugas pokok IMF. Institusi ini juga berfokus pada sejumlah isu global; antara lain kesetaraan gender, ketimpangan sosial, pemberdayaan perempuan, lingkungan, dan pemberantasan korupsi.

Ini terlihat dari pelaksanaan IMF-WB AM 2018 di Bali mendatang, dengan pembahasan yang tidak hanya terpaku pada aspek makroekonomi semata. Indonesia telah menyusun program kerja yang terstruktur dan komprehensif, sebagai bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka menuju penyelenggaraan IMF-WB AM 2018 yang diberi nama "Voyage to Indonesia". Kampanye Voyage to Indonesia disusun dalam lima tema besar, yaitu: 1) Reformed and Resilient Economy, 2) Digitalized Economy, 3) Towards a Modern and Inclusive Sharia Economy, 4)Women Empowerment, dan 5) Inclusive Growth.

Pesan yang ingin disampaikan dalam lima tema ini selanjutnya dikemas dalam berbagai bentuk acara, seperti seminar, kegiatan outreach, eksibisi/pameran, kegiatan pariwisata maupun budaya.

  1. Biaya penyelenggaraan IMF-WB AM 2018 masuk akal.

"Buang-buang uang". Ini ucapan warganet yang paling sering terdengar. Faktanya, biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan konferensi internasional yang mencapai Rp 880 miliar ini terbilang wajar, bahkan lebih rendah dibandingkan penyelenggaraan hajatan yang sama di tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2006, Singapura mengeluarkan dana Rp 994 miliar untuk menjadi tuan rumah IMF-WB AM. Adapun Turki mengeluarkan dana Rp 1,25 triliun untuk menjadi tuan rumah pada tahun 2009. Selanjutnya pada tahun 2012, Jepang mengalokasikan dana Rp 1,1 triliun. Terakhir, Peru pada tahun 2015 mengalokasikan dana Rp 2,29 triliun, termasuk untuk pembangunan Lima Convention Center.

Tak pelak, Pemerintah Indonesia telah berupaya menggunakan anggaran seefisien mungkin.

Sebagai perbandingan pula, hajatan internasional Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang di bulan Agustus membutuhkan dana lebih besar, yakni sekitar Rp 6,6 triliun. Baik Asian Games maupun Pertemuan Tahunan IMF-WB ini akan meningkatkan promosi Indonesia kepada masyarakat dunia, terutama sektor pariwisata.

Apalagi saat ini sektor pariwisata Indonesia amat diminati investor, antara lain Timur Tengah, Korsel, AS, Jepang, Taiwan, Australia, dan Eropa. Tercatat investasi asing maupun domestik mengalami pertumbuhan yang signifikan, yakni mencapai 31% atau USD 1,7 miliar pada tahun 2017 (Kemenpar, 2018).

Alhasil, devisa dari wisatawan mancanegara diperkirakan akan terus mengalir dan menambah pundi cadangan devisa nasional.

Lebih jauh, dari keseluruhan biaya Rp 880 miliar tersebut, sebagian dana sesungguhnya akan kembali ke masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk. Dana tersebut akan kembali ke masyarakat, melalui sewa kendaraan, akomodasi hotel, konsumsi, suvenir khas dari UMKM di Bali, dan lainnya. Dampak dari pertemuan tahunan ini akan menciptakan efek pengganda yang mendorong ekonomi masyarakat.

Menjadi Masyarakat

Beberapa pekan yang lalu, di awal bulan Ramadhan, saya bertemu dengan kawan organisasi semasa kuliah. Kami berbuka puasa bersama sembari bernostalgia soal kehidupan kampus. Lebih banyak update cerita masa kini, seperti "Ya ampun perut gede amat, kaga pernah olahraga ente, Bro?" atau "Gimana Sis, sekarang baby udah bisa ngapain?". Kami sekarang lebih dewasa (jika tidak mau disebut tua hehehe) dan lebih realistis dalam menghadapi hidup.

Kami tidak bicara sedikit pun soal ekonomi dan politik, ada hal fundamental yang lebih penting dibahas ketimbang kenyinyiran warganet hehehe. Namun, masing-masing dari kami tahu bahwa ada idealisme yang masih perlu dipegang, di mana saja kami berada. Kami harus bermanfaat serta bermakna. Dan, itu bukan hanya sebatas kata-kata. Kami perlu memasyarakatkan diskusi, serta mendiskusikan masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini