Meyelesaikan Masalah Tanpa Kekerasan

Meyelesaikan Masalah Tanpa Kekerasan
info gambar utama

Ketika seorang anak melakukan kesalahan, tak jarang orangtua memberinya hukuman fisik untuk tujuan pembelajaran. Dengan menerapkan hukuman-hukuman fisik secara ketat, perilaku anak diharapkan dapat lebih terkendali, dan anak menjadi lebih patuh kepada orangtua. Hukuman fisik dinilai sebagai suatu sarana agar anak dapat merenung dan tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan. Tapi, benarkah hukuman fisik itu efektif bagi pendidikan anak?

Dalam menjalani kehidupan bersama anak, orangtua kerapkali dihadapkan pada situasi untuk bersikap atau merespon secara tepat terhadap kesalahan-kesalahan anak.

Respon orangtua terhadap kesalahan anak, disadari atau tidak, sering menggunakan kekerasan fisik maupun non-fisik sebagai bentuk hukuman. Kekerasan fisik dilakukan dengan memberi rasa sakit pada tubuh anak agar ia jera. Kekerasan non-fisik dilakukan dengan cara memberi anak rasa takut dan ketidak-nyamanan pada anak.

Ketika seorang anak kedapatan memukuli adiknya, ada orangtua yang merasa perlu untuk memberi pukulan kepada si anak sebagai hukuman. Tujuannya, ingin memberi pelajaran bahwa memukul orang lain itu tidak boleh, karena bisa menyakitinya. Atau ketika seorang anak bersikap kurang ajar atau kasar kepada orangtua, pukulan kadang juga digunakan. Pesannya, agar anak tak lagi mengulangi perbuatannya.

Ancaman dan kekerasan verbal juga kerap digunakan sebagai cara mendidik anak, dan digunakan sebagai sarana efektif bagi orangtua untuk meraih kewibawaan dan kekuatan dari rasa takut anak. Banyak orangtua beranggapan, bahwa ketakutan anak pada hukuman fisik, akan berdampak pada sikap anak hingga mudah dikendalikan. Selain itu, agar anak juga tunduk kepada keinginan orangtua.

Sayangnya, sadar atau tidak, para orangtua cenderung lebih banyak menuntut anak untuk melaksanakan sikap maupun keterampilan-keterampilan yang sebenarnya tidak mereka miliki. Anak lebih banyak diminta melakukan apa yang orangtua ‘katakan’, bukan apa yang mereka ‘lakukan’.

Misalnya, untuk menghentikan teriakan anak yang mengganggu, orangtua lantas membentak anaknya untuk diam. Atau, seorang ibu yang tangkas merampas mainan yang sedang diperebutkan kedua anaknya sambil berkata, “Kan ibu sudah bilang, jangan berebut mainan. Sekarang, mainan ini Ibu ambil!” Atau, seorang bapak yang memukul anaknya yang tidak sopan karena memukuli ibunya.

Dengan contoh kejadian-kejadian ironis di atas, manakah yang akan mudah direkam dan dicontoh oleh anak, apakah perkataan atau perilaku (sikap) orangtuanya? Apakah anak akan berhenti melakukan kesalahan-kesalahan dengan kesadaran, ataukah karena alasan ketakutan? Adakah manfaat yang diperoleh ketika orangtua menghukum anaknya dengan cara kekerasan?

ketika seorang anak bersikap kurang ajar atau kasar kepada orangtua, pukulan kadang juga digunakan. Pesannya, agar anak tak lagi mengulangi perbuatannya.

Ancaman dan kekerasan verbal juga kerap digunakan sebagai cara mendidik anak, dan digunakan sebagai sarana efektif bagi orangtua untuk meraih kewibawaan dan kekuatan dari rasa takut anak. Banyak orangtua beranggapan, bahwa ketakutan anak pada hukuman fisik, akan berdampak pada sikap anak hingga mudah dikendalikan. Selain itu, agar anak juga tunduk kepada keinginan orangtua.

Sayangnya, sadar atau tidak, para orangtua cenderung lebih banyak menuntut anak untuk melaksanakan sikap maupun keterampilan-keterampilan yang sebenarnya tidak mereka miliki. Anak lebih banyak diminta melakukan apa yang orangtua ‘katakan’, bukan apa yang mereka ‘lakukan’.

Misalnya, untuk menghentikan teriakan anak yang mengganggu, orangtua lantas membentak anaknya untuk diam. Atau, seorang ibu yang tangkas merampas mainan yang sedang diperebutkan kedua anaknya sambil berkata, “Kan ibu sudah bilang, jangan berebut mainan. Sekarang, mainan ini Ibu ambil!” Atau, seorang bapak yang memukul anaknya yang tidak sopan karena memukuli ibunya.

Dengan contoh kejadian-kejadian ironis di atas, manakah yang akan mudah direkam dan dicontoh oleh anak, apakah perkataan atau perilaku (sikap) orangtuanya? Apakah anak akan berhenti melakukan kesalahan-kesalahan dengan kesadaran, ataukah karena alasan ketakutan? Adakah manfaat yang diperoleh ketika orangtua menghukum anaknya dengan cara kekerasan?

ketika seorang anak bersikap kurang ajar atau kasar kepada orangtua, pukulan kadang juga digunakan. Pesannya, agar anak tak lagi mengulangi perbuatannya.

Ancaman dan kekerasan verbal juga kerap digunakan sebagai cara mendidik anak, dan digunakan sebagai sarana efektif bagi orangtua untuk meraih kewibawaan dan kekuatan dari rasa takut anak. Banyak orangtua beranggapan, bahwa ketakutan anak pada hukuman fisik, akan berdampak pada sikap anak hingga mudah dikendalikan. Selain itu, agar anak juga tunduk kepada keinginan orangtua.

Sayangnya, sadar atau tidak, para orangtua cenderung lebih banyak menuntut anak untuk melaksanakan sikap maupun keterampilan-keterampilan yang sebenarnya tidak mereka miliki. Anak lebih banyak diminta melakukan apa yang orangtua ‘katakan’, bukan apa yang mereka ‘lakukan’.

Misalnya, untuk menghentikan teriakan anak yang mengganggu, orangtua lantas membentak anaknya untuk diam. Atau, seorang ibu yang tangkas merampas mainan yang sedang diperebutkan kedua anaknya sambil berkata, “Kan ibu sudah bilang, jangan berebut mainan. Sekarang, mainan ini Ibu ambil!” Atau, seorang bapak yang memukul anaknya yang tidak sopan karena memukuli ibunya.

Dengan contoh kejadian-kejadian ironis di atas, manakah yang akan mudah direkam dan dicontoh oleh anak, apakah perkataan atau perilaku (sikap) orangtuanya? Apakah anak akan berhenti melakukan kesalahan-kesalahan dengan kesadaran, ataukah karena alasan ketakutan? Adakah manfaat yang diperoleh ketika orangtua menghukum anaknya dengan cara kekerasan?

Hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak yang akan mempengaruhinya di kemudian hari yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak yang berimbas terhadap masa depan indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini