Ekowisata Berkelanjutan Hiu Paus, Seperti Apa?

Ekowisata Berkelanjutan Hiu Paus, Seperti Apa?
info gambar utama

Perkembangan ekowisata, terutama di perairan laut, dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan kemajuan yang sangat cepat. Tak hanya di Indonesia bagian Timur, ekowisata bahari juga berkembang pesat di hampir semua provinsi di Indonesia. Termasuk, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sedang giat mengembangkan ekowisata seperti di Teluk Saleh, Desa Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa.

Di Teluk Saleh, setiap hari bisa dijumpai hiu paus yang menjadi ikon ikan terbesar di dunia. Di sana, hiu paus muncul untuk mencari makanan yang disediakan oleh bagan-bagan yang bertebaran di sana, yaitu masin atau ikan puri. Selama periode September 2017 hingga Agustus 2018, jumlah individu hiu paus yang teridentifikasi mencapai 49 individu.

Demikian hasil temuan Conservation Internasional (CI) Indonesia berkaitan dengan rencana pengembangan ekowisata hiu paus di Sumbawa. Kegiatan ekowisata hiu paus tersebut, menurut Senior Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw, menjadi ekowisata pertama di Indonesia yang melibatkan masyarakat secara langsung.

“Ini juga sekaligus mendorong kegiatan pariwisata di NTB yang sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas nasional,” ungkapnya pekan lalu.

Aktivitas wisata hiu paus di perairan Teluk Saleh, Desa Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa, NTB. Conservation International Indonesia melakukan pendampingan pengembangan ekowisata hiu paus yang berkelanjutan di Teluk Saleh | Foto: CI Indonesia/Mongabay Indonesia
info gambar

Victor mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam ekowisata hiu paus, menjadi penanda bahwa masyarakat adalah bagian terpenting dalam pengembangan pariwisata. Di Labuhan Jambu, keterlibatan masyarakat diperlihatkan melalui pengenalan budaya Bugi melalui tur kampung pesisir, pertunjukan seni tari dan musik tradisional.

“Tak lupa, adalah pengamatan hiu paus,” tuturnya.

Dengan adanya temuan ilmiah dan dukungan dari masyarakat, Victor menyebutkan, CI Indonesia bersama Pemdes Labuhan Jambu saat ini fokus menyiapkan dan merencanakan pengembangan potensi wisata hiu paus dengan prinsip berkelanjutan. Prinsip itu dipilih, selain tetap bisa mengembangkan ekowisata, juga tetap menjaga kelestarian ekosistem laut.

Victor menambahkan pengembangan itu menjadi bagian dari strategi besar program CI Indonesia dalam upaya melaksanakan konservasi spesies kharismatik di bentang laut Sunda–Banda.

“Kami harap kegiatan di Sumbawa ini memberikan bukti manfaat nyata konservasi bagi kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, sebagaimana telah terbukti pada sejumlah lokasi program CI Indonesia lainnya,” ujarnya.

Sedangkan Kepala Desa Labuhan Jambu Musykil Hartsah mengatakan, pengembangan ekowisata hiu paus di desanya dilakukan melalui survei persepsi masyarakat, pemetaan partisipatif dan forum diskusi terpadu. Dari situ, diharapkan bisa menghasilkan wisata pengelolaan berbasis masyarakat yang dimulai dengan kegiatan perencanaan untuk pengelolaan dan penyedia jasa penginapan, pemandu wisata, transportasi darat, laut, kuliner dan produk lokal.

Wisatawan asing saat sarapan bareng pemilik bagan ekowisata hiu paus di di perairan Teluk Saleh, Desa Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa, NTB. Foto: CI Indonesia/Mongabay Indonesia
info gambar

Musykil menginginkan ekowisata hiu paus di desanya dikelola langsung oleh masyarakat secara mandiri. Agar masyarakat merasakan langsung keuntungan pengembangan pariwisata tersebut. Untuk itu, Pemdes Desa kemudian melakukan identifikasi, mengembangkan potensi, dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengelola wisata hiu paus.

“Kami bersama CI Indonesia melakukan itu semua,” tuturnya.

Sementara, Wakil Bupati Sumbawa Mahmud Abdullah menyatakan, demi keberlanjutan, segala potensi ekowisata dan kekayaan alam yang ada di bentang alam Samota yang mencakup Teluk, Pulau Moyo, dan Gunung Tambora, harus terus dilakukan perlindungan.

“Pemerintah Kabupaten Sumbawa mendukung inisiatif masyarakat desa untuk mengembangkan wisata hiu paus berbasis masyarakat. Supaya tujuan konservasi yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan akan tercapai,” tandasnya.

Diketahui, wisata melihat hiu paus di habitatnya dengan variasi kegiatan pengamatan dari kapal, berenang/snorkeling dan menyelam bersama hiu paus. Wisata ini merupakan wisata minat khusus yang bermuatan edukasi tentang konservasi biota laut, dan budaya masyarakat terkait hiu paus dan bagan.

Untuk itu, CI Indonesia melakukan pendampingan masyarakat dalam mewujudkan keuntungan ekonomi dan konservasi yang berjalan secara sinergis untuk jangka panjang. Sebagai referensinya wisata serupa di Cagua, yang memberikan pemasukan tahunan Rp130 miliar di Maladewa.

Pemetaan Partisipatif oleh masyarakat untuk pengembangan ekowisata hiu paus di perairan Teluk Saleh, Desa Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa, NTB. Conservation International Indonesia melakukan pendampingan pengembangan ekowisata hiu paus yang berkelanjutan di Teluk Saleh | Foto: CI Indonesia/Mongabay Indonesia
info gambar

Teluk Cendrawasih

Sebelumnya, pada akhir Agustus 2018, CI Indonesia juga melakukan pendampingan untuk pengembangan ekowisata hiu paus yang ada di Teluk Cendrawasih, Kabupaten Nabire, Papua Barat. Di sana, satu individu hiu paus yang sudah mendapatkan pemasangan alat penandaan (tagging), mendapatkan nama pemberian khusus, yaitu Siti.

Nama tersebut, tidak lain adalah nama depan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, yang memberikan persetujuannya kepada CI Indonesia yang menjadi inisiator program tersebut di Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC), untuk menggunakan nama depannya untuk nama salah satu hiu paus.

Diketahui, Siti merupakan hiu paus berukuran 5,60 meter yang dipasangi tagsatelit pada 14 Agustus 2018 di Kwatisore, Bidang Pengelolaan TN Wilayah I Nabire, TNTC. Pemasangan tag satelit dilakukan oleh staf BBTNTC La Hamid dan staf Cl Indonesia Abdi Hasan, dan dikawal secara langsung oleh Kepala BBTNTC.

Penyerahan plakat penamaan Siti untuk satu individu hiu paus yang ada di Teluk Cendrawasih, Nabire, Papua Barat kepada Menteri LHK SIti Nurbaya | Foto: CI Indonesia/Mongabay Indonesia
info gambar

Dengan adanya tagging sekaligus nama untuk satu individu, Vice President Cl Indonesia Ketut Sarjana Putra berharap program pelestarian hiu paus bisa terus berjalan, bersamaan dengan pengembangan ekowisata hiu paus di Indonesia. Adapun, penandaan satelit pada hiu paus, menjadi bagian dari program konservasi satwa laut elasmobranch (hiu dan pari) yang dilaksanakan oleh Cl Indonesia sejak 2013.

“Riset dilaksanakan untuk menyediakan informasi ilmiah terkait spesies-spesies hiu dan pari terancam punah bagi kebijakan dalam pelestarian dan pengelolaan ekowisata,” jelas dia.

Menteri LHK Siti Nurbaya, mengatakan bahwa penamaan nama dan taggingpada hiu paus, diharapkan bisa memperkuat model percontohan oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK. Mandat role model yang diberikan kepada 74 Unit Pelaksana Teknis (UPT) ini, merupakan cara baru dalam kelola kawasan konservasi secara partisipatif dan didasarkan pada nilai-nilai adat budaya setempat, sosial ekonomi, serta didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Siti, keterlibatan masyarakat di TNTC dalam pengelolaan ekowisata berbasis hiu paus menjadi kunci penting kesuksesan role model yang turut didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan fasilitas riset. Dengan demikian, itu bisa mendukung pelestarian populasi hiu paus yang sangat penting sebagai aset pariwisata setempat.

“Dalam periode 2011 hingga 2017, pendapatan dari tiket masuk ke TNTC dari ekowisata hiu paus menyumbang lebih dari Rp2,5 miliar bagi Negara,” jelasnya.

Seorag penyelam memasang tag identifikasi radio di tubuh paus hiu di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto: Brent Stewart/Conservation Internasional
info gambar

Kepala Balai Besar TNTC Ben Gurion Saroy menyampaikan sejumlah langkah strategis membangun role model tersebut, salah satunya dengan pembangunan Whale Shark Center yang pembangunan tahap pertama dari tiga tahap pembangunan utamanya ditargetkan selesai pada 2019, serta akan menjadi yang pertama di Indonesia.

Sebagian besar tujuan yang dirumuskan dalam pengembangan role modelekowisata hiu paus berbasis konservasi dan kearifan lokal ini, kata Siti, membutuhkan dukungan penelitian, pengembangan pengetahuan, teknologi, dan kolaborasi. Oleh itu, Whale Shark Center dibangun dengan konsep multifungsi untuk mencapai kesuksesan ekowisata hiu paus, khususnya bagi pengembangan ekonomi wilayah dan penerimaan negara melalui PNBP.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini