Membangun Peran Masyarakat dalam Membina Perdamaian

Membangun Peran Masyarakat dalam Membina Perdamaian
info gambar utama

Dunia digital seakan telah menyatu dengan aspek kehidupan bermasyarakat. Dunia tanpa batas ruang, waktu dan identitas tersebut ibarat dua mata pisau, dapat mempermudah sekaligus menyulitkan. Awalnya dunia tersebut dibuat untuk meminimalisir keterbatasan akses informasi, sekarang justru membuat masyarakat kelebihan informasi.

Beragam informasi telah mudahnya diakses. Bahkan peribahasa Indonesia “Mulutmu Harimaumu” telah mengikuti perkembangan zaman dan diperbarui menjadi “Jarimu Harimaumu” karena dunia digital telah memungkinkan hampir seluruh aspek kehidupan dikerjakan dengan beberapa gerakan jari saja.

Banyak dan cepatnya informasi yang diterima masyarakat, sayangnya hampir tidak sepadan dengan edukasi yang diterima masyarakat dalam menyaring informasi. Saat ini kita dapat menyaksikan beragam informasi di dunia digital, khususnya jejaring sosial, yang salah satunya bermuatan perpecahan dan provokasi, dan dapat diakses dan dilihat siapa saja, tak peduli kelompok umur.

Global Peace Foundation – Indonesia (GPF) menyadari fenomena ini, dan dalam kesempatan rangkaian kegiatan Millenial Peace Festival 2018 (MPF 2018), GPF bersama Convey Indonesia mengajak anak-anak muda, yang pada kesempatan ini salah satunya adalah mahasiswa-mahasiswa Universitas Gunadarma, Karawaci, untuk sama-sama memahami fenomena ironis tersebut.

Rangkaian kegiatan yang dimulai pada Jumat (28/09) lalu di Universitas Gunadarma, Karawaci, dengan penayangan film Jihad Selfie karya Noor Huda Ismail tersebut menghadirkan pembicara dari BNPT, Hamid Nasuhi dari PPIM UIN Jakarta, Ahmad Syafi’i Mufid dari Forum Kerukunan Umat Beragama dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

Rangkaian kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut ditutup di hari terakhir yaitu hari Minggu (30/09) dengan judul kegiatan MPFest in Action, yaitu mahasiswa-mahasiswa peserta kegiatan akan turun ke lingkungan masyarakat sekitar untuk memberikan kampanye edukasi mengenai toleransi dan perdamaian dalam perbedaan.

Di lingkungan RW sekitar kampus Gunadarma, Karawaci, mahasiswa telah dibagi menjadi 20 kelompok dengan membawa beberapa properti kampanye, dan dengan didampingi fasilitator yang sudah dibina sebelumnya oleh GPF, peserta mulai menghampiri masyarakat sekitar baik anak-anak yang sedang bermain mau pun bapak-bapak yang sedang beristirahat dari kegiatannya, untuk diberikan insight baru mengenai fenomena yang mengancam toleransi bernegara.

Salah satunya adalah kelompok 9 yang didampingi oleh Agnes, mahasiswi Gunadarma angkatan 2016. Menurutnya, selain memberikan dampak ke masyarakat, kegiatan ini juga menumbuhkan toleransi dan kebersamaan di antara kelompok itu sendiri, yang ternyata terdiri dari para mahasiswa baru angkatan 2018. Kini mereka saling membantu dan bersemangat dalam menginisiasi kampanye yang diberi judul “Salam Perdamaian” ini.

Agnes juga berpendapat bahwa meskipun tidak menargetkan kelompok umur tertentu dalam melakukan kampanye ini, tetapi dia merasa anak-anak usia sekolah perlu dilibatkan, sehingga mereka mendapatkan pemahaman sejak dini mengenai paham radikalisme dan ekstremisme yang mengkhawatirkan ini.

Dengan gimmick menarik yaitu bertepuk tangan bila masyarakat yang dihampiri setuju dengan ide kampanye yang diutarakan kelompok 9 ini, mereka menjadi tidak kaku dengan masyarakat kelompok usia sekolah dan dapat menyampaikan ide kampanye dengan efektif. Ide dan gimmick diinisiasi oleh mahasiwa di dalam kelompok 9 sendiri, loh.

Kelompok 9 menghampiri beberapa anak usia sekolah yang sedang bermain tenis meja di depan rumah mereka, yaitu Aim dan Epan. Mereka ternyata juga mengetahui kasus kekerasan dan ekstremisme dalam dunia supporter sepak bola, dan turut menyesal, “tidak setuju (dengan kekerasan tersebut”, katanya.

Tidak lupa juga menghampiri anak-anak yang sedang bermain di pinggir danau menyaksikan para pemancing, yaitu Banyu, Niko dan Rehan. Mereka belum mengetahui apa itu paham radikalisme dan ekstremisme, sehingga kelompok 9 berpendapat bahwa mereka harus diberi pemahaman terutama mengenai istilah yang rumit seperti itu.

Anak-anak tersebut berkata mereka memiliki teman yang berbeda suku dan agama di sekolah mereka, namun mereka tetap berteman dengan baik. Hal ini harus terus ditanamkan di dalam diri anak-anak muda terutama yang masih berusia dini, karena mereka adalah penerus penjaga persatuan bangsa ini nantinya.

Menurut Evin, mahasiswi Gunadarma angkatan 2018 dan merupakan salah satu anggota kelompok 9 yang juga telah mengikuti rangkaian acara MPFest 2018 selama tiga hari berturut, kegiatan ini menarik karena membahas dan memberikan informasi tentang paham-paham yang tabu di masyarakat, yaitu radikalisme dan ektremisme, serta cara-cara menyikapinya.

Mahasiswa sebagai anak muda penerus bangsa sekaligus agen perubahan punya tugas banyak dalam menjaga narasi perdamaian bangsa, namun mulai dari hal-hal kecil seperti tidak ikut menyebarkan hoax dan provokasi serta menjaga solidaritas dengan sesama merupakan langkah tepat dalam memulainya. Yuk, kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga keutuhan bangsa?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini