Museum Kematian di Surabaya: "Kematian Bukanlah Akhir.."

Museum Kematian di Surabaya: "Kematian Bukanlah Akhir.."
info gambar utama

Sebuah museum di kota Surabaya Jawa Timur memiliki tujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai ritual pemakaman Indonesia dan kaitannya dengan bidang lain, termasuk ekonomi dan budaya.

Museum Etnografi dan Pusat Studi Kematian terletak di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga di Surabaya.

Saat memasuki museum, orang-orang mungkin mencium aroma tertentu yang dapat mengingatkan mereka pada kemenyan. Namun Toetik Koesbardiati, kepala manajemen museum, dikutip dari Jakarta Post menyebutkan bahwa bau itu berasal dari aromaterapi. "Kami menggunakannya untuk melindungi museum dari bau busuk," kata Toetik. "Kami juga menggunakan dupa, tetapi tentu tidak untuk ritual untuk memanggil roh."

Replika pemakaman di desa Trunyan, Bali | Sumber:
info gambar

Built in 2005, the museum mostly uses infographics to enlighten visitors about funeral ceremonies. It provides replicas as well, among them are funeral rites in Trunyan village, Bali and Toraja, South Sulawesi. Some people refer to the museum as a haunted house because it has one room with an imitative pocong(shrouded ghost) in it. “People are shrouded when they are buried in the Islamic way. We added pocong as a reflection that one day we’ll be dead and treated like that,” Toetik said.

Dibangun pada tahun 2005, museum ini kebanyakan menggunakan infografis untuk mengedukasi pengunjung tentang upacara pemakaman. Museum ini juga menyediakan replika, di antaranya adalah upacara pemakaman di desa Trunyan, Bali, dan Toraja, Sulawesi Selatan. Sebagian orang menyebut museum ini sebagai rumah hantu karena memiliki satu ruangan dengan pocong imitasi di dalamnya. “Orang-orang dikafani ketika mereka dikubur dengan cara Islami. Kami menambahkan pocong sebagai refleksi bahwa suatu hari kita akan mati dan diperlakukan seperti itu, ”kata Toetik.

Di ruangan yang sama, ada buku dan penelitian tentang kematian, akhirat, dan topik terkait lainnya. "Buku-buku ini menunjukkan bahwa kematian sering dieksplorasi sebagai topik tertentu, tetapi banyak orang masih menghindari membicarakannya," kata Toetik.

Pocong imitasi yang menjadikan beberapa pengunjung menamai museum ini sebagai rumah hantu | Sumber:
info gambar

Nestled in a two-story building, the museum has mock-up crime scene, jelangkung (a traditional medium used when summoning spirits) and types of graves based on different religions in Indonesia. There is also a collection of real human skeletons kept in a glass case.

Berlokasi di sebuah bangunan dua lantai, museum ini juga memiliki tempat kriminal tiruan, jelangkung (media tradisional yang digunakan ketika memanggil roh), dan jenis kuburan berdasarkan agama yang berbeda di Indonesia. Ada juga koleksi kerangka manusia nyata yang disimpan dalam kotak kaca.

Di satu sisi bagian dinding, museum ini menampilkan koleksi kerangka manusia buatan bertema "My lifestyle determines my death style" atau diterjemahkan menjadi "Gaya hidup saya menentukan gaya kematian saya", yang berarti bahwa pengunjung dapat belajar tentang gaya hidup seseorang dari jenazah mereka. Dalam ilmu forensik, kerangka dapat mengisyaratkan tentang jenis kelamin, tinggi, penyakit, dan informasi lain tentang identitas mereka ketika mereka masih hidup. "Misalnya, kita dapat mengetahui bahwa seseorang adalah pemain saksofon dari struktur gigi mereka," kata Toetik.

Sisi dinding koleksi kerangka manusia buatan | Sumber:
info gambar

The museum has its own laboratory to support its studies and it is allowed to collaborate with other research institutions. It welcomes high school students who want to learn about forensics, children and foreign visitors as they have English-speaking guides.

Museum ini memiliki laboratorium sendiri untuk mendukung studinya dan membuka peluang untuk berkolaborasi dengan lembaga penelitian lain. Museum ini juga menyambut siswa SMA yang ingin belajar tentang forensik, anak-anak dan pengunjung asing karena mereka memiliki panduan berbahasa Inggris.

Dengan pendekatan uniknya, museum ini dianugerahi Purwakalagrha oleh Indonesia Museum Awards 2018.

Sebuah tempat kejadian perkara tiruan di Museum ini |
info gambar

“Masyarakat jarang berbicara tentang kematian, sementara mereka berusaha keras untuk tetap hidup karena mereka takut mati. Dalam biologi, kematian itu alami karena tubuh ini tidak semakin muda,” kata Toetik. “Kenyataannya, budaya kita memiliki banyak perayaan kematian. Saya menyebutnya 'perayaan' karena membutuhkan banyak uang dan orang. Ini menyiratkan bahwa kematian memiliki tempat khusus dalam budaya kita. Itulah yang kami coba gambarkan [di museum kami], meskipun lokasi kami masih belum bisa memuat [untuk semua upacara pemakaman] dari seluruh Indonesia. ”

Dikelola di bawah program Antropologi Universitas Airlangga, museum ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kematian tidak pernah sederhana. “Kematian terkait dengan aspek lain, salah satunya adalah ekonomi. Beberapa upacara pemakaman tidak murah - di Bali kita punya upacara ngaben dan di Jawa kita memiliki ritual lain setelah prosesi penguburan,” kata Toetik. “Kematian juga menciptakan aspek ekonomi lainnya, seperti rumah duka dan penata rias kamar mayat, maka kematian bukanlah akhir, tetapi ini adalah permulaan. Ini memberi ruang bagi kita untuk mempelajarinya.”

Museum ini buka dari hari Senin hingga Jumat mulai pukul 10 pagi hingga 3 sore.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini