Didik Nini Thowok Menjelaskan Sejarah Tari Lintas-Gender

Didik Nini Thowok Menjelaskan Sejarah Tari Lintas-Gender
info gambar utama

Didik Nini Thowok memamerkan keahliannya sebagai penari lintas gender untuk penonton di Jakarta selama akhir pekan, saat maestro berusia 64 tahun itu berusaha untuk melestarikan tradisi genre pertunjukan seni.

Selama satu jam, Didik mengenakan kostum tradisional Indonesia dan gerakan yang dimainkan yang biasanya ditujukan untuk karakter lawan jenis, mengenakan kebaya, sanggul, dan riasan wajah penuh, bersamaan dengan masker yang berganti-ganti dan hiasan kepala.

Penampilannya, berjudul "Dua Wajah: Tradisi Peran di Istana dan Masyarakat", adalah salah satu daftar pertunjukan yang dijadwalkan selama tema satu bulan tarian di Galeri Indonesia Kaya ( GIK) di pusat perbelanjaan Grand Indonesia di Jakarta Pusat.

Dikutip dari Jakarta Post, Didik menjelaskan akar dari tarian lintas gender. Di berbagai daerah di seluruh Indonesia, katanya, tradisi lintas-gender adalah genre tari yang berdiri sendiri, yang dapat dilihat dari Pawestren di Jawa Timur, Tari Bebancihan di Bali dan Bissu di Sulawesi Selatan ke Randai di Padang, Sumatra Barat.

Wayang Wong, atau Wayang Orang di Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII-VIII, jelas Didik, semuanya dimainkan oleh laki-laki. Alasannya, katanya, adalah karena nilai-nilai agama, karena Kesultanan Yogyakarta telah memeluk Islam.

Penari Didik Nini Thowok menarikan tarian berjudul
Penari Didik Nini Thowok menarikan tarian berjudul "Dua Wajah: Tradisi Peran di Istana dan Masyarakat" | Foto: Wienda Parwitasari / Jakarta Post

"Dalam tarian ada adegan dimana antar karakter akan berpelukan dan menyentuh. Nah, jika itu dimainkan oleh wanita, maka itu tidak diperbolehkan, karena menyentuh [seseorang] lawan jenis yang bukan anggota keluarga tidak diperbolehkan. Jadi itu dimainkan oleh laki-laki, "kata Didik.

Selain itu, keselamatan dan keamanan adalah salah satu alasan bagi istana untuk tidak menampilkan putri mereka dalam tarian kapan pun mereka akan menghibur tamu Belanda selama era kolonial seperti yang kadang-kadang terjadi pada larut malam.

Tari lintas gender, dalam berbagai bentuk, terus dipentaskan di seluruh negeri, tetapi popularitasnya memudar.

"Menari adalah salah satu upaya yang saya lakukan untuk melestarikan tradisi leluhur kita. Tradisi tari ini sudah ada sejak lama, tetapi tidak banyak anak muda yang tertarik untuk mempelajarinya," kata Didik.

Dia menyatakan harapan bahwa pertunjukan akan memicu minat untuk belajar tentang sejarah tradisi tari ini dan melestarikan budaya.

Lahir di Jawa Tengah, di Kabupaten Temanggung, Didik telah pergi berkeliling dunia atas nama seninya, termasuk perjalanan belajar untuk mendapatkan pengetahuan global tentang budaya dan tradisi daerah lain, serta memperkenalkan tari lintas gender Indonesia untuk pemirsa di seluruh dunia.

Baru-baru ini, Didik mengatakan ia telah tampil di Universitas Yale di Connecticut, universitas Ivy League bergengsi di Amerika Serikat, atas undangan. Bulan depan, dia juga dijadwalkan untuk melakukan perjalanan ke Jepang untuk tampil.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini