Inilah Berkah Dari Merawat Alam, Kakap Putih dan Udang Datang Lagi

Inilah Berkah Dari Merawat Alam, Kakap Putih dan Udang Datang Lagi
info gambar utama

Maret 2015, dengan merogoh kocek sendiri, Mustofa Badrun membuat plang peringatan di tepian Sungai Anak Batang, Kelurahan Sapat, Indragiri Hilir, Riau. Kini plang bermodalkan Rp50.000 itu mengubah keadaan bahkan bisa membantu perbaikan kehidupan 250 warga kampung itu.

Mustofa juga Ketua RW05, Basira, Kecamatan Kuala, Indragiri, berjarak 290 kilometer dari Pekanbaru atau satu jam via sungai. Dia banyak tersenyum ketika berbincang dengan sejumlah wartawan, termasuk Mongabay akhir Oktober 2018. Kini, Mustofa justru jadi panutan dan titik balik perubahan kondisi lingkungan dan kehidupan warga di sana.

“Pasang plang Maret 2015. Pakai dana sendiri. Belajar dari inisiatif sendiri (karena) melihat keadaan yang rusak. Modal Rp50.000. Plang itu soal dilarang meracun ikan atau udang, jagalah kami (gambar ikan) untuk kelanjutan anak cucu kita,” katanya.

Ikan dan udang sudah kembali.Sejumlah pejabat Kecamatan Kuala Indragiri menikmati suasana memancing di anak sungai Sungai Anak Batang, di Parit 18 Basira, Sapat, Riau, akhir Oktober 2018 | Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia
info gambar

Sebelum 2015, ayah lima anak ini prihatin sekaligus marah melihat kondisi kampung halaman. Kebun-kebun kelapa sebagai sumber utama ekonomi warga rusak karena abrasi dan intrusi air laut.

Sejak turun temurun, hampir semua keluarga RT13/RW05 bertani kelapa. Selain intrusi air laut karena tanggul-tanggul mandiri warga rusak diterjang air pasang, harga kelapa pun cukup lama anjlok. Kini, mereka hanya bisa menjual Rp400-Rp700 per kilogram. Kondisi ini sekitar setahun lebih.

Sungai-sungai yang membelah Sapat terus diracuni nelayan dan memancing dengan merusak. Dulu, para nelayan seperti berlomba meracun sungai. Pendapatan dari meracun cukup banyak, namun membunuh ikan-ikan termasuk anakan tanpa terkecuali. Bahkan racun yang mengalir ke hulu berdampak serius kepada habitat mangrove sepanjang tiga kilometer.

“Daripada kita tegur-tegur, (kalau) kita sendiri kan ndak mampu. Kalau kita tidak ada, ndak bisa tegur. (Makanya) Kita pasang plang,” kata Mustofa.

Racun pestisida yang dibeli di Tembilahan itu cepat menyebar. Hanya perlu 10 menit setelah racun ditabur, langsung menyebar mengikuti arus.

“Racun pestisida itu disalahgunakan. Kata pemerintah, sekali terkena racun, dampaknya selama lima tahun merusak mangrove. Maka abrasi pantai. Air laut masuk ke daratan.”

Kini, sudah banyak plang terpasang. Mustofa tak lagi sendirian, dibantu warga. Mereka urunan membuat plang-plang peringatan dan berpatroli. Mereka melawan peracunan sungai oleh nelayan terutama dari desa tetangga. Mereka juga sedang merancang peraturan tertulis.

“Kita sepakat jangan ada lagi penyalahgunaan racun. Kita sepakat di spot ini tak boleh jala, pancing saja (misal). Wilayah ini tak boleh pasang lukah. Kalau ada melanggar, diadili ketua kelompok,” kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sapat ini.

Peta hutan desa yang dipajang di acara media trip di Parit 18 Kelurahan Sapat, Kuala Indragiri, Inhil, Riau, Oktober 2018 | Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia
info gambar

Peraturan itu berdampak positif bagi warga termasuk Ahmadi. Dulu ayah lima anak ini berkebun kelapa. Dia punya 500 kelapa kini tersisa 30. Kebun rusak oleh air laut. Dulu, sekali panen bisa Rp2 juta per bulan, sekarang hanya Rp300.000-Rp400.000.

“Dulu sungai itu sampingan. Sekarang kami banyak turun ke air (sungai). Dalam satu hari paling sedikit Rp100.000. Bisa juga mencapai setengah juta per orang. Agak cepat (dapat ikan),” katanya.

Dia bilang, dulu udang galah dan kakap jarang terlihat karena tangkap ikan dengan racun masif. Kini gampang sekali menangkap ikan-ikan jenis mahal ini bahan ada pari. Sekarang setiap hari mereka turun ke sungai. Hanya dalam tiga jam, sudah banyak dapat ikan.

“Kadang-kadang 10kg-15kg per hari. Dijual ke Pasar Sapat. Per kilogram udang tenggek Rp40.000, juga udang galah. Kakap juga Rp40.000,” kata Ahmadi.

Dukungan Hutan Desa

Inisiatif Mustofa mendapat dukungan besar ketika LSM Mitra Insani memberi pendampingan penguatan warga. Abizar, pendamping warga dari Mitra Insani mengatakan, masuk pada 2015 mengadakan riset biofisik di Sungai Anak Batang, dengan empat administrasi pemerintah, Kelurahan Sapat dan tiga desa yakni Sungai Piyai, Tanjung Melayu dan Perigi Raja.

Survei itu fokus kondisi kelerengan, kemiringan, tingkat ph air, jenis kayu dan flora. Riset itu menggandeng lembaga Belukar Mangrove Club (BMC) dari Universitas Riau. Saat riset, warga juga terlibat. Hasil riset ini jadi bahan bagi Mitra Insani memperkenalkan hutan desa.

“Hasil riset jadi dasar bicarakan potensi sumber daya di Sungai Anak Batang. Kita bicara empat daerah. Kita fasilitasi ke-empat desa dan kelurahan itu ke kecamatan untuk sosialisasi,” kata Abizar, Senin (12/11/18).

Pembibitan mangrove di Parit 18 Basira, Kelurahan Sapat, Kuala Indragiri, Indragiri Hilir, Riau, akhir Oktober 2018 | Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia
info gambar

Awalnya, warga sedikit khawatir dengan status hutan desa yang menyebabkan mereka tak bisa lagi mencari penghasilan dalam kawasan. Selama ini, mereka memanfaatkan sumberdaya seperti ikan dan kayu. Setelah diberi pengetahuan soal hutan desa, warga pun mendukung.

Pemanfaatannya tergantung pada zonasi. Ada zona lindung yang memang tak bisa ada kegiatan di dalamnya. Ada zona hutan pemanfaatan terbatas, kawasan yang boleh dimanfaatkan. Ada juga hutan produksi yang bisa dialihkan. Wilayah hulu pun terjaga hingga mendukung pasokan air dan penyehatan sungai.

Keempat daerah ini pun akhirnya memutuskan mengajukan pembentukan hutan desa pada Oktober 2016. Semua lembaga pemerintahan di tingkat desa dan kelurahan menerbitkan Peraturan Desa Pembentukan Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD). Setelah tim verifikasi hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merampungkan pengecekan lapangan, Surat Keputusan Hutan Desa pun terbit akhir 2017 dengan luasan 7.664 hektar.

Desa Sungai Piyai diberi hak pengelolaan hutan desa 299 hektar, Desa Perigi Raja (1.747 hektar), Tanjung Melayu (1.369 hektar) dan Kelurahan Sapat (4.249 hektar).

“Bagaimana penyelamatan sungai ini dibungkus dengan perhutanan sosial, target awal penyelamatan sungai. Agar potensi berkembang. Inisiasi menyampaikan manfaat hutan desa. Penguatan kelembagaan LPHD terus kami lakukan. Juga memfasilitasi warga dengan sejumlah pihak termasuk pemerintah yang bisa membantu mereka,” kata Abizar.

Sejumlah peserta media trip sedang menyaksikan pameran produk olahan dari hasil hutan dan hasil sungai di Parit 18 Basira, Kelurahan Sapat, Indragiri Hilir, Riau, Oktober 2018 | Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini